AHLAN WA SAHLAN

Puisi adalah jiwa. Luapan perasaan. Dalam puisi ada cinta, nostalgia, ideologi, dan rasa syukur.


Tulislah apa yang ada di pikiranmu. Luapkan dalam coretan-coretan indahmu. Dan sepuluh tahun lagi mungkin kau akan tertawa atau bahkan mungkin coretan itu akan menjadi sebuah memori yang mahal. menjadi sebuah cerita tersendiri yang bisa dikenang. Yups, selagi kita masih bisa menulis, kenapa kita tidak meluapkannya dalam coretan-coretan? Meskipun coretan itu hanya bisa kita nikmati sendiri (hehe... menghibur diri ni?)

Pernah frustasi gara-gara karyamu gak pernah diterima? Nasiiib... nasiiib. Kalo iya, berarti kamu senasib dong ma aku. Asiiik ada temen senasib nih! Ceritanya aku lagi frustasi nih lianna (kan biasanya pake coz, sekarang ganti lianna ja biar lebih..... apa ya? lebih bernuansa kearaban gitu deh! Biar ga English mulu!) puisiku ga diterima di majalah yang pernah kukirim, akhirnya bikin blog sendiri ja deeeh. Yaah, nikmati sendirilah.

Jumat, 11 September 2009

Rasa di Hati



Kembali rasa mengusik
Coba tawarkan kerinduan di hati
Apakah ini fitrah manusiawi?
Atau nafsu bahimi?
Apakah ini hakiki?
Membawa perjuangan abadi.
Atau permainan sedetik?
Yang berbekas memori tak berarti?

Bingung dengan diri sendiri
Tepatnya membingungkan diri
Coba jalani alur ini
Entah sampai mana dan dimana
Cerita ini kan berhenti.

Alhamdulillah.......

Alhamdulillah
Atas akal yang masih ada
Atas nikmat sehat yang mahal
Atas setiap hembusan nafas
Tiap detik detakan jantung
Tiap detik aliran darah
Nikmat penglihatan
Pendengaran
Perasa
Alhamdulillah
"Wain ta'uddu nikmatallahi laa tuhsuha"

Bintang

Biarkan bintang-bintang itu
Berlari tanpa alas kaki
Berkejaran
Tertawa lepas
Nikmati masanya

Jangan kotori kepolosan mereka
Biarkan tumbuh alami
Dengan satu tongkat pasti
Tongkat sakti dari Ilahi

Pagi Ini



Seperti kapas yang beterbangan
Mengisi pagi abu-abuku
Mana hangat sang surya
Kenapa tak jua tampakkan diri
Hmmm.... bayu pagi dingin
Ternyata mampu juga goyahkan daun-daun itu
Semua gersang
Seperti terbakar
Hanya tampak sorot tanah merah
Kalahkan rumput-rumput yang selalu meraja.

Maha Suci Allah



Kulangkahi batu-batu terjal dan licin itu
Turuni bukit
Subhanallah
Maha Suci Allah
Yang melukis alam dengan begitu indahnya

Satu Sosok


Kudengar suara itu
Dari balik jajaran kayu
Merdu...
Penyanyi manapun tiada kan mampu tandingi
Dan lagu manapun......
Tiada mampu tandingi ayat itu
Subhanallah.....

Nikmati suaranya di setiap gerak menghadapNya
Semoga indah suara meresap dalam jiwanya
Dalam setiap geraknya
Karena itulah
Esensi sosok yang dicari
Bukan mata bukan saku

Manusia.......



Manusia...
Begitu mudah ia salahkan orang lain
Untuk sebuah tembakan yang meleset
Coba telusuri pembenaran
Di balik sikap pengecutnya

Manusia...
Tataplah noda di matamu
Setumpuk gunung
Tapi...
Mengapa tiada juga kau sadari?
Atau sebenarnya kau sadari
Namun rasa gengsi merajai?

Tangan Ini.......



Tangan ini ingin terus bergerak
Goreskan lekukan-lekukan
Namun kepala membisu
Dan pena pun mematung
Terus telusuri
Huruf demi huruf
Gambaran warna yang tersembunyi
Abu-abu sendu
Di bingar suara....

Siang Ini....


Alam membisu
Sepi sekali siang ini
Hanya suara getaran daun mengisi
Ikuti aliran irama bayu
Tiada terdengar dengungan mesin
Juga bising kendaraan itu

Aku duduk di depan masjid ini
Menanti....
Dan terus menanti....
Hingga mata ini lelah.

Dari Alam Hingga Masjid



Pandanglah ke arah timur
Hamparan sawah meluas
Menangga...
Pohon-pohon hiasi alam
Di ujung sana gunung menjulang
Dan di atas sana mentari menyinar

Tak usah jauh-jauh
Tinggal duduk di beranda masjid ini
Ah, sayang sekali
Masjid tak berpenghuni
Tak terawat.......
Kosong........
Jasad dan jiwa.......
Masjid terlupakan

Malam Itu.........



Malam itu.......
Allah menegurku
Agar aku lebih bersyukur
Atas nikmat tangan
Hingga aku bisa bertakbir dengan mudah
Atas nikmat kaki
Hingga aku bisa ruku, sujud, i'tidal dan duduk
Seperti selayaknya

Malam itu....
Allah menegurku
Atas kekufuranku

Malam itu....
Aku sadar
Bahwa apa yang tampak di mata
Bukanlah segalanya

Seperti Batang Tua


Meluruskan suatu kesalahan bukanlah hal mudah
Seperti menegakkan batang tua
Lama.....
Pastinya menguji kesabaran
Dan mungkin bisa mematahkan batang
Karena batang terlalu lama bengkok
Ada banyak duri perbedaan menusuk
Semoga ukhuwah tetap terjaga
Taklukkan duri-duri itu

Malam Ini


Malam ini aku ditemani bulan
Dan dingin angin malam
Ramai
namun aku kesepian
Seakan berada di lautan kebodohan
Atau...
Apakah aku terlalu sombong?

Rasa syukur terlintas
Atas cahaya di jiwa
Hingga ku mampu buka jendela dunia
Hingga ku mampu bandingkan
Dan membuatku semakin tertunduk
Meski dalam rasa.

Seperti Katak



Jiwaku di sini......
Hampa.....
Hati berontak
Sesak!
Tak ada nikmat.
Menyiksa.
Bukannya sok atau sombong
Namun.....
Entahlah.....

Seperti katak dalam tempurung
Raja katak di antara para katak
Karena katak tak pernah melihat singa.

LukisanNya



Lukisan nyata
Subhanallah
Karya Sang Maestro Seni
Mempesona....
Tiada yang mampu tandinginya
Lukisan seindah apapun takkan mampu samainya

Walaupun seluruh air samudera
Menjadi tinta
Tuk lukiskan keagunganNya........
Takkan mampu.

Bukankah......



Bukankah sesama muslim itu bersaudara?
Bukankah umat muslim itu laksana bangunan yang saling menguatkan?
Bukankah umat muslim itu seperti satu jasad?
Bukankah tidak dikatakan beriman seseorang sampai ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya?
Bukankah tidak halal seorang muslim yang mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari?

Tapi......
Mengapa permusuhan itu begitu kuat?
Mendalam.....
Mendarah daging....
Seakan tiada termaafkan.
Penuh kedengkian

Tiada kelapangan dada
Tiada kejernihan hati
Juga tiada kesucian jiwa.

Panas Siang.........



Semua terlelap
Terdiam lelah
Ah, tidak
Angin masih berhembus riang
Tunjukkan tawanya
Mmeski panas menjerat
Coba buat dedaunan menari
Agar tiada bersedih
Meski panas mendera
Dan angin pun menyapaku
Menghiburku
Dengan bahasa sejuknya
Ingatkanku tuk tetap bersyukur padaNya
Dan tetap tersenyum
Meski cuaca panas
Dan haus menyiksa
Karena ada mutiara di balik itu semua.


Gunung Boto, Sine
16 Ramadhan 1430 H

Kapal



Naiki kapal
Dan biarkan kapal terus melaju
Jaga keseimbangan
Jangan biarkan terkalahkan ombak
Jangan terlena di pelabuhan
Pulau abadi menanti di sana
Jadikan kapal bak istana
Nikmati keteduhan di sana
Dalam tawa dan duka

Nahkoda,
Pastikan kapalmu kuat
Dan anggotamu bahagia
Terjaga dalam lintasan-Nya

Diana

Anak itu..........
Hitam legam kulitnya
Tersenyum manis membalas senyumku
Polos........
Diana Namanya
Begitu ia perkenalkan
Mungkin dulu aku pun begitu

Diana dalam potretnya sekarang
Detik ini
10 tahun lagi.....
20 tahun lagi.....
Siapa tahu.....

Akar

Rasa tumbuh tanpa akar
Terus melayang ikuti angin
Mungkin juga buih pengekor ombak
Berganti-ganti tanpa arti
Karena....
Tiada akar
Hanya dunia
Dan nikmat fatamorgana
Temukan akar
Agar jejak ini kuat
Tapi dimana?

Mentari Pagi



Mentari pagi sinariku
Menyorotku tajam silaukan mata
Di cerah pagi biru
Terdengar obrolan para petani
Semua tampak jelas
Mempesona....

Sayang kau tiada di sini
Temaniku
Ingin kuungkap rasa
Namun lagi-lagi aku hanya terdiam