AHLAN WA SAHLAN

Puisi adalah jiwa. Luapan perasaan. Dalam puisi ada cinta, nostalgia, ideologi, dan rasa syukur.


Tulislah apa yang ada di pikiranmu. Luapkan dalam coretan-coretan indahmu. Dan sepuluh tahun lagi mungkin kau akan tertawa atau bahkan mungkin coretan itu akan menjadi sebuah memori yang mahal. menjadi sebuah cerita tersendiri yang bisa dikenang. Yups, selagi kita masih bisa menulis, kenapa kita tidak meluapkannya dalam coretan-coretan? Meskipun coretan itu hanya bisa kita nikmati sendiri (hehe... menghibur diri ni?)

Pernah frustasi gara-gara karyamu gak pernah diterima? Nasiiib... nasiiib. Kalo iya, berarti kamu senasib dong ma aku. Asiiik ada temen senasib nih! Ceritanya aku lagi frustasi nih lianna (kan biasanya pake coz, sekarang ganti lianna ja biar lebih..... apa ya? lebih bernuansa kearaban gitu deh! Biar ga English mulu!) puisiku ga diterima di majalah yang pernah kukirim, akhirnya bikin blog sendiri ja deeeh. Yaah, nikmati sendirilah.

Selasa, 28 Desember 2010

Biarkan Aku

Biarkan aku menjadi pemeran
Lintasi pelangi skenario terjal-Nya
Renungi samudra hibroh-Nya
Tuk temukan sebentuk mutiara-Nya

Biarkan luka menganga
Tuk rasakan tajam hembusan angin-Nya
Agar jiwa ini dewasa
Berani menatap tajam deras arus-Nya

Biarkan aku tenggelam
Dalam lautan garam membara
Agar ruh ini kuat
Jika tenggelam dalam lautan api menyala

Puisi ini Karya Afifah Afra (bagus banget kata-katanya)

Ada yang telah terbunuh
Saat tubuh tak mengucurkan peluh
:Nurani

Ada yang telah tersita
...Saat tubuh tak tergores luka
:Jiwa

Maka
Peluh kubiarkan menari
Luka kubiarkan menganga
Sebab
Tuhan mencipta peluh untuk berkaca
Mencipta luka untuk bercerita

Minggu, 26 Desember 2010

Poem...

Aku membaca puisi-puisi mereka.... Kapan ya aku bisa berkarya menuliskan puisi-puisi yang luar biasa mempesona seperti karya mereka. Kata-katanya itu lho.... so beautiful! Amin... yups, harus banyak latihan nih!

The Ideal Mother and Wife (hehe...)

Beberapa hari yang lalu aku melihat sosok seorang ibu.
Subhanallah......
Jilbab lebarnya.....
Bajunya yang syar'i....
Kaos kakinya....
Sikapnya yang lembut dan penyayang.....
Tutur katanya......
Wawasannya juga luas.....
Subhanallah... that's the real of mother.
I want to be like her. Amin...

Kamis, 23 Desember 2010

For The Rest Of my Life-Maher Zain

I praise Allah for sending me you my love
You found me home and sail with me
And I`m here with you
Now let me let you know
You`ve opened my heart
I was always thinking that love was wrong
But everything was changed when you came along
OOOOO
And theres a couple words I want to say
Chorus:
For the rest of my life
I`ll be with you
I`ll stay by your side honest and true
Till the end of my time
I`ll be loving you.loving you
For the rest of my life
Thru days and night
I`ll thank Allah for open my eyes
Now and forever I…I`ll be there for you

I know that deep in my heart
I feel so blessed when I think of you
And I ask Allah to bless all we do
You`re my wife and my friend and my strength
And I pray we`re together eternally
Now I find myself so strong
Everything changed when you came along
OOOO
And theres a couple word I want to say
*Repeat Chorus
I know that deep in my heart now that you`re here
Infront of me I strongly feel love
And I have no doubt
And I`m singing loud that I`ll love you eternally

Jumat, 03 Desember 2010

Darah?

"Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Yang menciptakan manusia dari segumpal darah." Terjemahan surat Al-Alaq ayat 1-2.

Darah? kenapa dengan darah? Ada apa dengan darah? Apa yang ada di dalam darah? Mengapa Allah menyinggung tentang darah? Seberapa pentingkah darah bagi manusia? Apa fungsi darah bagi manusia? Yups, Al-Qur'an memang penuh dengan sains.

Kamis, 02 Desember 2010

Mati

Mati adalah terpisahnya jasad dan ruh. Kala itu jasad tak bisa berfungsi lagi. Mata tak mampu melihat. Otot dan tulang tak mampu bergerak.

Kita ambil satu pemikiran yang lebih mengerucut lagi. Kornea mata. Orang yang telah meninggal dunia, jelas tak mampu menggunakan kornea matanya. Tapi ketika kornea mata tersebut dipindahkan ke organ penglihatan orang lain yang masih hidup, kornea mata tersebut dapat berfungsi.

Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah apakah sebenarnya yang membuat orang bisa melihat terang dan gelap? Indera mata ataukah karena keberadaan ruh dalam jasad?

Lanjut...!!

Ketika kita sedang tidur. Jelas kita sama sekali tidak sadar. Entah diri kita kala itu dimana. Tiba-tiba saja kita terbangun dan jam menunjukkan pukul 4 pagi. padahal ketika kita masih terbaring hendak tidur, jam dinding baru menunjukkan pukul 11 atau 12 malam. Kemana diri kita selama empat jam tersebut? Ketika itu kita tidak sadar. Namun organ-organ tubuh kita masih bergerak. paling tidak sistem pernapasan dan peredaran darah dalam tubuh kita masih jelas bekerja TANPA KITA RASA dan JELAS BUKAN KITA YANG MENGONTROL.

Kesimpulannya:
Pasti ada Sang Pengatur di balik itu semua.

Kematian

Sejenak aku berpikir tentang hakekat kematian. Mau sok jadi filosof nih.

Kematian adalah ketika ruh kita terpisah dari jasad. Kala itu jantung dan seluruh pembuluh darah tak berdenyut lagi. Jantung tak lagi memompa darah. Darah diam tak bergerak. Tak ada lagi kiriman oksigen maupun sari-sari makanan yang diantar darah untuk seluruh anggota badan. Sel-sel dalam tubuh mungkin tak berkembang lagi. Begitu juga sel-sel darah itu sendiri. Lama-lama organ tubuh membusuk.

Subhanallah, begitu pentingnya arti denyutan jantung. Betapa berartinya aliran darah. Mungkinkah jantung berdetak dengan sendirinya? jelas TIDAK! Pasti ada Sang Pengatur di balik itu semua.

Sistem pernapasan pun mati. Siapa yang mematikan kerja sistem pernapasan dalam tubuh? Siapa yang mematikan kerja sistem peredaran darah? Siapa yang membuat sistem saraf tak bekerja lagi? Siapa yang menjadikan panca indera ini tak berfungsi lagi? Siapa yang membuat sistem kerja otot tak mampu bergerak? Mampukah manusia menghidupkannya kembali? Jelas TIDAK!

Subhanallah
Allahu Akbar

Bagaimana bisa ada yang bersikap atheis dan tidak mengakui adanya Allah?

Ryo VS My Cousin


Liat Video Klip Konayuki (One Litre of Tears). Ryo Nishikido lagi take action. Tatapan matanya itu lho... sayu banget. Cool abies...... di film........

Aku coba mengingat-ingat temen-temenku. Gak ada tuh yang gayanya mirip Ryo di film itu. Gak ada yang cool dan menyendiri kayak gitu. Adanya juga rame-rame n banyak temen.

Eh, ada deng! Aku! Kalo lagi bengong n ngelamun. Wah, tatapan mataku kayak Ryo tuh. Hehee.... Boong..... Kayak Ryo kalo dilihat pake sedotan dengan jarak 100 meter. Kikikiiiiiiiii......

Ets, bentar-bentar! Kalo model rambut Ryo.... mirip banget tuh sama dedek Wazudi, adek sepupuku yang lebih tua setahun dariku. Eh, mukanya juga mirip tau. Wah, ternyata aku punya adek sepupu yang bertampang artis juga yak. Kayak Ryo lagi! Hehee..... Apa jangan-jangan dedek Wazudi sengaja niru-niru gayanya Ryo kali ya?

Bedanya... kalo Ryo gak punya tato di bahunya. kalo adek Wazudi punya tato di bahu. Ryo di film itu juga gak pake anting. Kalo adekku yang satu ini bertindik..... berapa ya tindikan di telinganya? Ku gak pernah ngitung sih. Hmm..... menyerupai perempuan nih pake anting-anting segala. Pengaruh pergaulan budaya barat yang gak jelas.

"Kamu itu sebenarnya ganteng lho Dek. tapi ada tatonya ya gak jadi ganteng." Comenku waktu aku tahu dia bertato. hmmm... bandelnya ni anak.....

Minggu, 28 November 2010

Konayuki - Remioromen (Lirik Lagu One Litre of Tears)

Bagus banget lagu ini. Sedih... hiks hiks..... apalagi filmnya.......

Konayuki mau kisetsu wa itsumo sure chigai
Hitogomi ni magirete mo onaji sora miteru no ni
Kaze ni fukarete nita you ni kogoeru no ni

Boku wa kimi no subete nado shitte wa inai darou
Soredemo ichi oku nin kara kimi wo mitsuketa yo
Konkyo wa naikedo honki de omotterunda

Sasaina ii aimo nakute
Onaji jikan wo ikite nado ike nai
Sunao ni nare nai nara
Yorokobi mo kanashimi mo munashii dake

Konayuki nee kokoro made shiroku somerareta nara
Futari no kodoku wo wake au koto ga dekita no kai

Boku wa kimi no kokoro ni mimi wo oshi atete
Sono koe no suru hou he sutto fukaku made
Orite yukitai soko de mou ichi do aou

Wakari aitai nante
Uwabe wo nadete itano wa boku no hou
Kimi no kajikanda te mo nigirishimeru
Koto dakede tsunagatteta no ni

Konayuki nee eien wo mae ni amari ni moroku
Zara tsuku asufaruto no ue shimi ni natte yuku yo

Konayuki nee toki ni tayori naku kokoro wa yureru
Soredemo boku wa kimi no koto mamori tsuduketai

Konayuki nee kokoro made shiroku somerareta nara
Futari no kodoku wo tsutsunde sora ni kaesu kara

Rabu, 24 November 2010

Burlian



Baca novel "Burlian" lumayan seru. Hampir mirip sama Laskar Pelangi gitu. Suasana pedesaan yang tenang. Jauh dari hiruk pikuk dan ramai kendaraan. Novel kehidupan. Pemain utamanya anak-anak. Sedih banget pas baca Ahmad ninggal. Kasihan.... Terus sedih juga waktu baca perjuangan mamak Burlian mengorbankan dirinya disengat lebah-lebah untuk melindungi anaknya.

Ujung-ujungnya jadi inget my Mom nih. Kalo disitu Burlian ngambek coz gak dibeliin sepeda sama mamaknya. kalo aku... ngambek coz gak diizinin ikutan acara reonian bareng temen-temen waktu liburan (bukan maksudnya nyama-nyamain lho ya...). Padahal waktu itu aku dah janji bakal menghubungi temen-temen yang lain untuk datang. Begitu Bapak denger kalo tempat reoniannya di WBL, wuih negatif thinking deh. Apalagi waktu beliau tau kalau acara itu kita sendiri yang mengadakan. Barengan sama anak-anak cowok lagi. Wets! non Muhrim... tempatnya gak jelas. Hura-hura itu! Walakhir gak diizinin. Ngambek deh aku. Diemmm..... aja gak ngomong sepatah kata pun. Kekanak-kanakan banget..... Waktu itu aku bener-bener muaraaah banget. "Over Protecktif!". hampir tiga hari aku diem terus kayak orang bisu. Ujung-ujungnya aku gak tega melihat ibuku nangis di tempat sholat sampe tertidur disitu. Hiks Hiks... Luluk Tega! Jahat! Kejam! Yups, aku bener-bener nyesel dah bikin ibuku menangis, sedih, kecewa. Pasti terluka banget. Aku egois banget. Melihat ibuku yang terlelap di tempat sholat, aku gak berani membangunkan. So, aku mengambil selimut menyelimuti ibuku. Maafkan daku mom.........

Ets, balik lagi ke cerita Burlian. Salut sama Ibu Burlian waktu dia memberikan hukuman kepada Burlian dan kakaknya yang bolos sekolah. benar-benar hukuman yang menjerakan dan.... bisa memberikan pemahaman kepada anak-anaknya. Juga ketika ibu Burlian tetap memegang teguh kebenaran ketika ia merobek kertas undian Burlian. Padahal Burlian menang undian.

Andaikan semua ibu memegang prinsip seperti itu... mungkin tidak akan ada Korupsi, karena setiap istri tidak mau menerima uang haram dari suaminya.

Minggu, 21 November 2010

Si Blunker



Yups, now we are going to talk about fish. Kalo kemaren di DEMA ada Arie yang sayang sama Ozie, ikan hias kesayangannya. Kali ini kutemukan dedek Padm yang cuayaang juga sama si Blunker, ikan hiasnya. Sengaja ia diberi nama Blunker coz warnanya yang ngeblue abies. Biru maskulin gitu deh. (eh, emang ada ya biru maskulin?). Awalnya sih si Blunker punya temen yang bernama Blacky. Tapi... hiks hiks... si Blacky meninggal... tempatnya terlalu kecil kali ya. Di toples kecil gitu lho... apa gak penyiksaan tu buat ikan. Yang liat sih seneng-seneng aja. Lha, ikan yang di dalem? menderita banget deh kayaknya.

Melihat si Blacky yang meninggal di dalem toples, so si Blunker dimasukin di bak mandi deh. Luas deh lapangan renang dia. Wah wah... keenakan nih si blunker bisa liat orang mandi terus. Kikikkikiii........ Tapi... kasihan juga sih dia sendirian di bak. Ets, ada yang mau nemenin dia? (hehe... Luluk error....!!!)

Minggu, 14 November 2010

Istighfar

Istighfar

أستغفر الله العظيم

Indah sekali ucapan itu. Asli bikin hati lebih sabar, tenang.

Yups, tentunya pernah kan kamu dihadapkan pada situasi yang bikin kamu geram, marah, meledak-ledak, sebel, gitu deh! Biasanya kalau seseorang dalam kondisi seperti itu, kebiasaan buruk yang biasa dilakukan seseorang adalah gebraak-gebrak, banting-bangting, ancurin semua yang ada dech. (Wah.. gawat nih!). Habis itu... teriak-teriak ato.. sampek misuh-misuh. Nama-nama semua binatang disebutin semua. Mulai dari kusing, kecoa, kambing, anjing, semut, laba-laba, ulat, dinosaurus etc.. Wkwkwkkk.....

Ternyata kita umat Islam memiliki sebuah ucapan yang luar biasa dahsyat. Yups, ucapan istighfar.

أستغفر الله العظيم

"Aku memohon ampun kepada Allah Yang Maha Agung".

Ucapkan istighfar dengan pelan dan mantap sambil dihayati maknanya berkali-kali ketika kamu sedang dalam keadaan marah, sebel atau emosi kamu sedang labil. Insya Allah kamu jadi lebih tenang, lebih menguasai diri dan tidak terpancing emosi. Lebih dewasa.

So, tinggalkan nama-nama binatang dan misuh-misuhmu. Ganti dengan berdzikir dan beristighfar.
أستغفر الله العظيم

Masuk Penjara? Ah, Siapa Takut......

Beberapa hari ini baca berita di koran harian Republika (yaah... bacaannya koran mulu, ketahuan banget gak punya buku). Indonesia dihebohkan lagi oleh Gayus, Sang Mafia pajak. Ets, ada julukan baru lagi yang ditulis do Tajuk Republika hari ini. Sang penyihir Penjara. Tajuknya keren banget bahasanya.

Lucu, ketika membaca beberapa verssi pendapat yang berbeda. Hukum dan aparat-aparatnya ternyata begitu mudah dipermainkan oleh sosok yang bernama Gayus. Dahsyat sekali kekuatan uang hingga mampu membeli kejujuran dan harga diri aparat-aparat kemanan tersebut. Sumpah yang dulu diikrarkan pun masuk ke tong sampah. Ets, ini uangnya yang dahsyat atao... harga diri mereka yang terlalu murah?

Seperti itukah potret aparat hukum di Indonesia? Hukum bisa dibeli. Gak usah takut korupsi. Gak usah takut masuk penjara. Penjara tak ubahnya seperti rumah sendiri kok. Hotel malahan. Mau jalan-jalan keluar dari penjara atau berakhir pekan di Bali juga boleh.... Tinggal bayar ongkos, selesai dah! Mau dianter ke luar negeri juga boleh..... yang penting ognkosnya ada.

Hmmm kalau aparat hukum Indonesia seperti ini? Untuk apa keberadaan mereka? Untuk apa ada POLRI jika kerjaan mereka hanya petentang-petenteng pamer seragam dan jabatan sambil kongkow-kongkow menikmati uang suap?

Senin, 08 November 2010

Dalam Canda

"Loeksemawe, Anti tau gunung Slamet ga?", tanya Arie, my plen. (Wah, aku dapet nama baru lagi nih dari Arie. Loeksemawe. Setelah ini apa lagi ya?)
"Gunung Slamet? Gak tau. Dimana tu?", Aku balik nanya.
"Kok gak tau sih... di Jateng..."
"Gak tau. Napa emangnya?", Tanyaku.
"I... Kok gak tau sih... Ana kan maunya Anti tau...", rengek Arie.
"Ya emang gak tau i.", ujarku.
"Tapi Ana kan maunya Anti tau...", Arie masih merengek.
"Iya iya... Ana tau...", cewek-cewek... (padahal aku gak tau. Dan dia juga tau kalau aku gak tau. Baru juga kali ini aku denger.)
"Kabarnya sekarang dalam kondisi awas. Mau meletus.", lapor Arie padaku.
"Baguslah... bia cepat meletus." Gurauku. kikkkikikiii. " Tinggal tunggu... wadow!" Belum sempat aku melanjutkan ucapanku, Arie menimpukku dengan kipas yang dipegangnya.

Selasa, 02 November 2010

Ditipu Tukang Becak

Pernah ditipu orang? Kalo pernah berarti kamu senasib ma aku.

Waktu itu aku kena tipu sama bapak-bapak tukang becak. Entah si bapak yang jahat n penipu atoo... aku yang terlalu oon yak?

Ceritanya waktu itu aku ke Sragen. habis transfer uang buat bayar uang muka sewa bus konsulat. Waktu itu aku sendirian. Dan baru dua kali itu aku ke Sragen. Yups, selesai dari bank aku berniat ke pasar. Mau beli sepatu kuliah gitu lho....

Ya udah, aku naik becak deh. "Kok jalan yang kulewati kayak mutergini ya?" batinku. Jangan-jangan aku muterin pasar aja?!.

Pas turun dari becak aku menatap ke ujung jalan "Lho, itu kan bank danamon yang tadi aku masuki waktu transfer uang.", ujarku. Ya elaa... ternyata sebenarnya tadi itu aku sudah berdiri di depan pasar. Tinggal masuk. Eeh.... malah naik becak muterin pasar. Oon banget aku.

Ni bapak tukang becak gak jujur lagi. Ah, sukanya memanfaatkan orang. Termasuk memanfaatkan kebodohanku. "Luluk Ditipu Tukang Becak." please deh.... malu ihh.... enggak banget....

"berapa Pak?", aku masih berbaik hati.

"Dua ribu", jawab si bapak.

Aku mengulurkan uang dua ribu kepada bapak tersebut. Huff... Ikhlas gak nie? Ikhlas-ikhlas....

Aku Kebablasan

Kapok dah diajak ngobrol orang di bus. Huff! Yups, ceritanya waktu itu aku dalam perjalanan pulang ke rumah. Liburan gitu lho... Ngawi-Lamongan. Tepatnya di pelosok ndeso Lamongan. kalo gak salah waktu itu untuk kedua kalinya aku naek bus sendiri. "pokoknya gak boleh tidur di bus!", ucapku dalam hati. Soalnya pernah aku tertidur di bus waktu berangkat ke Ngawi sendirian. Untung aja gak kebablasan. Sampe di terminal aku kebingunagan gak tau arah. "Waduh, ni bus udah masuk peron belom ya?", tanyaku dalam hati. So, aku ngeloyor aja jalan gak tau arah mana timur n barat. Ujung-ujungnya ada bapak tukang ojek nanya "Mau kemana Mbak?",

"Ngawi Pak.", jawabku oplos.

"Ngawi ya ke arah sana!", si bapak menunjuk ke arah belakangku. kikikikiiii... maluuu...!!! pengen cepet-cepet kabur aja deh.

Ternyata bus yang kutumpangi tadi udah masuk peron. Eh, aku malah keluar peron. Balik kanan lagi dah aku. Asli malu banget. Makanya, besok lagi tidur aja di bus, biar bingung lagi. Untung aja barang-barangnya gak hilang.

Ets, kembali ke ceritaku yang pertama. Aku menaiki Bus jurusan Surabaya. Masih banyak kursi kosong di bus. Aku duduk di kursi nomor dua di belakang supir. Perjalanan nyaman-nyaman aja. Eh, sampe di pasar Babat, Lamongan (biasalah... bus berhenti cari penumpang) seorang bapak-bapak berjaket hitam duduk di sampingku. "Waduh, ada yang gak beres nih!", batinku. Aku menengok ke belakang. Beneran. Kursi-kursi di belakangku banyak yang masih pada kosong. Kok bapak ini malah duduk di sampingku sih. Dalam hati aku membaca do'a-do'a memohon perlindungan kepada Allah. Tapi, waktu itu aku bodoh banget. Kok aku gak pindah tempat duduk aja ya?! Entahlah. Sebenernya waktu itu sempat terpikir juga sih untuk pindah tempat duduk.

Si bapak bertanya-tanya dan terus bertanya. Asli gak mutu banget pertanyaannya. Tapi... kok aku selalu menjawab pertanyaannya ya?

Berulang kali aku menengok ke jendela untuk mengetahui sudah sampai dimana aku. Hingga kondektur bus menanyaiku "Turun dimana Mbak?"

"Pertigaan Semlaran Pak.", jawabku polos.

"Ya sudah lewat dari tadi!", jawab pak kondektur. Gubrak deh!

Aku segera berdiri menuju pintu depan bus. "trus kalo mau balik ke Semlaran naek apa dong Pak?", tanyaku super polos.

"Naek angkot bisa.", jawab sang kondektur.

Aduh, Luluk... Luluk. Kok bisaa kayak gitu. Malu-maluin. Huff... Gak hati-hati sih. Gara-gara diajak ngobrol terus sampe gak teliti dah nyampe mana. Apa jangan-jangan kena hipnotis?! Asli waktu itu aku bener-bener marah banget. Marah dalam hati. Malu juga. Sampe-sampe aku berdo'a jelek buat bapak yang duduk di sampingku tadi "Ya Allah, jika memang bapak yang duduk di sampingku tadi orag jahat, berikanlah balasan yang setimpal padanya." etc....

Turun dari bus aku lalu menyeberang jalan. Kutunggu angkot lewat sambil terus jalan. Kok gak lewat-lewat ya? Mana uangku tinggal dua ribu lagi. Cukup gak ya buat bayar angkot? Habis naik angkot kan harus naik ojek lagi sampe rumah. Hehe... maklum, gak ada yang jemput. Dah kayak anak ilang aja nih. jalan kaki menyusuri pinggiran jalan raya sambil bawa ransel. Cewek lagi!. ets, pake jilbab lagi.

Hampir 15 menit lebih aku jalan kaki diterpa terik matahari,. Bayangin aja. jam dua siang brow... Ada angkot lewat. Yaah... telat... aku gak liat tadi.

Kulihat seorang bapak-bapak lagi ngambil rumput di pinggir jalan. "Pak, maaf mau nanya, pertigaan Semlaran dari sini masih jauh gak Pak?", tanyaku kepadanya.

"Ke Barat terus Neng.", jawabnya.

"Jalan kaki bisa gak ya Pak?", tanyaku.

"O... bisa.", jawabnya lumayan membuatku tenang sedikit.

Aku terus jalan tanpa berniat lagi menghentikan angkutan yang lewat. Tapi... kok jauh banget ya? Dari jauh aku melihat papan merah bertuliskan HONDA. "Wah, bentar lagi nih.", batinku senang. Huuff... akhirnya sampai juga aku.

Aku pun menyeberangi jalan raya terus naik ojek. Hmmm capek banget. pengen nagis deh. Tapi... kan di tempat umum. Malulah.

Nyampe rumah, minta uang buat bayar tukang ojek, terus.... Whaaaaa........!!! eh, bukan gitu deng, Heeeeeee.......... aku nagis juga deh akhirnya. Yups, air mataku yang tertahan sejak tadi keluar juga. Aku terus nangis sambil curhat ke ibu n bapak. Dan ibuku terus mencoba menenangkanku. Love You Mom.....

Sampe waktu mau jamaah maghrib di rumah pun aku gak jadi qomat.

"Qomat!", perintah bapak kepadaku. Aku dan ibuku memakmum di belakang bapak.

"الله أكبر الله أكبر أشهد أن لا إله إلا الله " waduh, aku nangis lagi. Inget perjalananku tadi siang. Akhirnya ibuku yang qomat.

Hmm.... kesimpulannya, Buat kamu-kamu yang sering melakukan perjalanan naik bus, awas! hati-hati! waspada! banyak penjahat di bus!.

Trus buat kamu para pencuri, penipu dan penjahat yang suka beroperasi di bus-bus or di terminal-terminal... asli barang atau uang hasil curian n penipuanmu gak akan memberikan berkah. malah akan jadi darah haram yang mengalir dalam tubuhmu. Tega nian... kamu ngasih anak istrimu barang haram. Kasihan atuh.....!

Luluk Faidah (Wuiih, Narsisnya...)

Luluk Faidah or لؤلؤ فائدة. Lengkapnya Luluk Faidatun Niswatin Hasanah. Wuiih...... panjangnya melebihi rel kereta api. Itu sih yang tertulis di surat kelahiranku. Tapi di ijazah TK sampe sekarang tinggal Luluk Faidah. Mungkin waktu daftar masuk sekolah cuman ditulis Luluk Faidah. Kepanjangan kalee. Trus yang di akte? Jangan-jangan beda lagi nih. Baru bikin akte tahun 2010 buat syarat wisuda kemarwn. Jadi ya... nama ngikut yang di ijazahlah.

Tapi dari kecil temen-temen manggilku dengan nama Lulek. Lulek itu singkatan dari Luluk Elek ato... Luluk jelek. Hmmm... menghina ciptaan Allah nih. Sering juga sih diejekin dengan panggilan "jaliteng" coz aku supeer item. Udah gitu sukanya manas-manas, nyebur sungai, manjat genting. Wadow! apa gak tambah gak kelihatan tuh...!

Kalo kepribadian...waah... ku orangnya lucu banget (Lugu and Culun maksudnya), polos, serius, galak, keras, sensitif, garing (campur aduk kayak es campur). Yang jelas garing and gak humoris blas. Persis kayak Bapak. Beda banget sama Emak yang humoriss n kocak. Sampe-sampe ada tetanggaku yang bilang " Ini anak sama ibu kok beda 180 derajat (hehe... bingung nyari simbul dejarat gak ketemu-ketemu. wal akhir pake tulisan huruf. Aduh... gapteknya...). Ibu'e kocak, anaknya pendiem."

Anak Kos Dodol Book


Barusan baca buku Anak Kos Dodol yang kedua. (Biasa... minjem ma Ririn... Paling males beli novel ato buku-buku cerita. Hehe... ngeles... bilang aja gak punya uang.) Kocak banget. Gokil abis deh. Dan aku ngakak sendiri kayak orang gila.

"Ya elaa kak Luluk nih kirain baca buku sains ato apa gitu. E... ternyata...", coment dedek Ajeng.

"Abis gak ada buku yang lain sih.", kilahku. "Jangan salah dek, ni nambah inspirasi lho...", Wkwkwkk..... boong....

Hormat… Grak!


Mematung aku menghormat
Pada merah putihku tercinta
Lagu Indonesia Raya menggema
Haru…
Ada semangat membara.

Senin, 01 November 2010

Dirundung Masalah

Pernahkah engkau dirundung banyak masalah hingga membuatmu stress, pusing tujuh keliling, bête abis, gak mood, sebel, geram, sedih, kecewa, murung, ato… bawaannya pengen maraaah….. terus? Atau pernahkah engkau mengalami kegagalan atau patah hati (waduh, mati dong kalau patah hati?) dan terus berduka and menangis tujuh hari tujuh malam? (wuiiiih… lebay banget..)

Kalau kamu pernah mengalai hal kayak gitu… atau… jangan-jangan saat ini kamu sedang mengalaminya?! Cup cup cup… gak usah nangis… Buang jauh-jauh sedihmu fren. Gak usah galau and murung. Gak usah takut. Yakin kau tidak sendiri. Bukankah ada Allah yang Maha Memahami dan Mengetahui segala masalahmu?! Yakin… di dunia ini bukan hanya kau saja yang mendapat masalah. Semua orang pasti punya masalah. Tergantung bagaimana kita menyikapinya. So, jangan kau jadikan masalahmu sebagai suatu masalah. Hadapi semua dengan senyuman, sabar, dan sholat. Emang sih… ngomong doang gampang… ngejalaninya yang susah. Yakin fren, kamu bisa. Pasti semua akan selesai.

Jadi inget nih waktu ibuku sedang sakit. Ceritanya ibuku kena diabetes. Kadar gula beliau tinggi banget sampe 650. Padahal kadar gula yang normal kan 100-120an. Coz kadar gula beliau yang 5 kali lipat lebih tinggi dari kadar gula normal, beliau hanya boleh makan nasi jagung tanpa campuran nasi putih sedikit pun. Sedih banget waktu aku lihat beliau makan. Hiks…….. Ibuku yang dulu lumayan gemuk jadi kurus. Jari telunjuk beliau juga bengkak akibat luka yang tak jua sembuh karena kadar gula yang tinggi. Mungkin pancreas beluai tidak normal dalam memproduksi insulin hingga kadar gula dalam darah beliau menumpuk. Ginjal beliau juga sempat kambuh. Ditambah lagi tekanan darah beliau yang kurang. Huff… gak kebayang deh kalau beliau sedang sakit perut. Hiks… sedih….

Sedih banget aku waktu itu. Suer. Apa-apa jadi gak enak. Jadi mikir terus. Bener-bener gak konsen. Bingung, sedih, campur aduk deh. Jasad disini tapi jiwa dan pikiran di rumah. Lalu aku mendengar cerita dari temanku kalau ibunya di rumah juga sedang sakit. Struk. Hanya terbaring di tempat tidur.

Mendengar cerita temanku aku jadi tahu bahwa masalah yang kulalui bukanlah apa-apa. Harusnya aku tetap bersyukur ibuku masih bisa jalan dan beraktifitas.

Oiya, ku punya tips nih kalo kamu lagi dirundung masalah, coba deh tatap langit dan awan di atas. Langit yang luas. Bener-bener membuat dada lapang. Satu lagi, jadikan sabar dan sholat sebagai penolongmu.

Jadi inget nih aku pernah membaca sebuah kata bijak. Gini nih
“Ketika kau berputus asa karena tak mendapatkan jalan keluar, kau kemanakan Allah?”

Indonesiaku

Beberapa hari ini media massa begitu gencar memberitakan bencana alam yang melanda Indonesia. Mulai dari Tsunami di Mentawai, Sumatra Barat, Gempa di Papua, hingga gunung Merapi yang terus mengeluarkan asap panas bercampur debu. Itu baru asap plus debu panas. Gak kebayang gimana kalau lava panasnya yang keluar.

Kasihan… Gak kebayang kalau rumahku hancur terus aku tinggal di tenda-tenda pengungsian. Belum lagi baju-baju yang tertinggal plus gak ada makanan. Namun… aku hanya bisa duduk disini dengan rasa kasihanku tanpa bisa berbuat yang berarti.

Disisi lain aku merasa bersyukur atas kondisiku saat ini. Allah masih memberikanku tempat tinggal, pakaian, dll. Sebuah kenikmatan yang kadang kita anggap kurang dan belum cukup.

Melihat asap plus debu yang keluar dari gunung Merapi membuatku bertanya “Apa ya yang menyebabkan asap, debu, dan lava itu keluar?” (sebab biologi yang kutanya).

Pernah dulu ketika pertama kali aku melihat globe. Kelas berapa ya waktu itu? Lupa. Aku membayangkan kalau saja dibuat sebuah sumur yang dalam di pulau Jawa hingga menembus ke benua Amerika, waah… jadi kayak di film Lorong Waktu yang pernah kutonton dulu. (Ketika itu aku belum tahu kalau di dalam inti bumi berisi magma dan lava yang super panas).

Hujan…

Aku duduk mematung di depan sebuah iatana yang tak terurus dengan sepenuh ruh. Istana yang idhuni oleh orang-orang ynag tanpa cinta. Guyuran air membasahi terasnya. Tetesan air menerobos masuk. Kuletakkan sebuah kotak di bawahnya, agar air tak menjalar ke lantai. Ada rasa tak puas dengan apa yang terekam di mata. Ah, aku hanya bisa membatin dalam bahasa bisu tak berarti. Dan semua pergi. Tinggal aku duduk sendiri disni. Menatapi hujan yang membasahi. Sejenak aku terhibur.

Subhanallah, alangkah indah aliran air itu. Mengalir… mencari tempat yang lebih rendah. Subhanallah, Maha suci Allah yang memberikan insting bagi atom-atom air untuk terus mencari jalan ke dataran yang lebih rendah untuk selanjutnya berkumpul dan mejarut benang samudra.

Subhanallah, Maha suci Allah yang membentangkan tanah dengan lapisan-lapisan yang mempesona. Sebuah teknologi penyaringan raksasa yang dahsyat. Menghasilkan kejernihan air yang tiada duanya untuk seluruh makhluk.

Hembusan bayu membelai lembut dedaunan dan bunga-bunga hijau. Memaksa dedaunan untuk menari. Bertekuk lutut terkulai di hadapan sang bayu. Subhanallah, Maha suci Allah yang mengarahkan molekul-molekul udara bergerak berhembus dengan irama dan nuansa yang sungguh mempesona.

Gerimis

Gerimis mencair dari gumpalan awan
Mengguyur bumi
Melesat di sela-sela terpaan bayu

Burung-burung menari lintasi atmosfer
Rayakan rintik hujan
Entah melandas dimana
Ataukah burung-burung itu kehilangan rumah
Tak tahu kemana hendak berlindung

Dalam dingin terpaan bayu
Dan deras air mengguyur
Burung-burung tetap terbang warnai atmosfer bumi.

Jumat, 29 Oktober 2010

Biarkan Jiwaku Menghilang


Mematung disini
Hidup dalam hampa jasad
Entah kemana jiwa sirna

Jasad masuk dalam ruang berasap
Membuat ruh tertinggal
Seakan melayang dalam ruang hampa udara

Biarkan jiwa ini terbang dan terus terbang
Membuang sesak udara
Dan temukan sebutir suci tawa di sanubari terdalam
Hingga terlukis bunga senyuman

Biarkan ruh ini melayang
Tuk sejenak raih ceria yang hilang
Agar batin ini tenang

Bukan maksud hati untuk menghilang
Namun hanya ingin sirnakan mendung yang meraja
Mencoba mengganti dengan secercah sinar senyuman di jiwa
Yang telah lama lenyap dalam aus gerakan hampa
Dan hanya bertopeng paras kepalsuan

Biarkan hati raih kembali senyuman hakiki
Tuk hapus kelabu hampa yang menyiksa.

Rabu, 27 Oktober 2010

Panggung Sandiwara

01.00, Rabu, 27 Oktober 2010

Firda duduk mematung di depan komputer. Sebuah headset terpasang di telinganya. Ia sedang asik dengan dunianya sendiri. Ya, seakan dunia miliknya sendiri. Ia nikmati lagu-lagu kesukaannya di playlist GOM player dengan tatapan mata kosong. Bukan tulisan-tulisan di layar komputer tua di depan matanya yang ia lihat. Entah kemana perginya jiwa dan sorot matanya.

Bunyi jam beker yang sengaja ia pasang membuyarkan lamunannya. Ia meraih jam beker di atas meja tepat di samping monitor dan menekan tombol off. Sudah jam satu dini hari namun ia tak jua mengantuk. Bukan insomnia yang menyerangnya, namun bayangan dan tatapan mata seseorang yang ia temui siang tadi yang mengganggunya. Seorang pria yang sempat membuatnya kelelahan karena mengejarnya. Ia hampir saja bergulat dan beradu tinju dengan pria tersebut jika saja pria tersebut tidak menyerahkan tas yang ia ambil. Ya, Firda kenal betul pemilik muka dan sorot mata itu. Namun sayangnya ia tak sempat bertatap muka lama ataupun berbincang dengannya. Bahkan ia menemuinya dalam situasi yang sungguh di luar dugaannya.

Firda mematikan komputernya. Ia rapikan kertas-kertas print out hasil laporan yang esok harus ia serahkan kepada atasan tempat ia bekerja. Ia segera beranjak ke kamar mandi untuk berwudhu dan menggoosk gigi setelah teringat bahwa ia belum menunaikan sholat Isya’. Sebuah mukenah putih ia ambil dari hanger yang tergantung di kamarnya. Mukenah kesayangannya, hadiah dari ibunya karena ia berhasil menyelesaikan skripsi S1nya tepat waktu. Ibunya yang tinggal jauh darinya. Di sebuah pelosok desa di kabupaten Lamongan ibunya berada. (“Kok Lamongan mulu sih?”. “Hehe…sayang daerah… cinta tanah air… suka-suka yang nulislah”). Sementara Firda tinggal di sebuah rumah kecil kos-kosan di kota Surabaya, kota tempat ia bekerja.

13.00, Rabu 27 Oktober 2010

Firda keluar dari tempat makan siangnya. Tempat makan siang yang selalu menjadi langganannya tiap hari, karena selain tempatnya yang lumayan dekat dengan kantor tempat ia bekerja, juga sederhana dan terjangkau oleh isi kantongnya. Di tempat itu juga disedikan kamar mandi dan tempat sholat, sehingga Firda tidak perlu jauh-jauh pergi ke masjid maupun musholah untuk menunaikan sholat Dhuhur.

Firda melangkah seorang diri menuju kantor tempat ia bekerja. Baru saja ia melangkah keluar dari pintu rumah makan tersebut, matanya merekam sosok pria di seberang jalan yang bergerak cepat sambil menarik sebuah tas milik seorang ibu usia 40 tahunan. Reflek sang ibu tersebut berteriak minta tolong. Tanpa berpikir panjang, dengan gerakannya yang cepat dan gesit ia berlari menyeberang jalan dan mengejar pria yang mencopet tas sang ibu tersebut. Firda memasuki lorong-lorong jalan yang asing baginya. Ya, sosok pria tersebut tampat tak jauh darinya. Dan pria tersebut tak mau kalah. Ia sadar seseorang sedang mengejar di belakangnya. Ia semakin mempercepat larinya, hingga sampai tepat di sebuah lorong pertigaan, pria tersebut menghentikan langkahnya. Ia berbalik ke belakang. Dan alangkah terkejutnya Firda menatap sosok pria yang berdiri di depannya. Dalam jarak sekitar tiga meter mereka berdiri. Untuk sejenak mereka berdua saling mematung terheran satu sama lain.

Firda tersadar dari lamunannya setelah sebuah tas terlempar tepat mengenai dirinya yang sengaja dilempar oleh pria tersebut. Firda segera menangkap tas tersebut, disusul kepergian pria tersebut. Entah kemana larinya. Firda tak lagi bersemangat mengejarnya. Ia masih shock dengan apa yang ia lihat barusan. Ia tau betul sosok pria tersebut. Sosok pria yang hampir lebih dari delapan tahun tak pernah ia temui. Pria yang dulu pernah duduk di bangku tepat di depan Firda ketika ia masih berada di bangku SMP.

Firda tersadar ia harus segera mengembalikan tas tersebut kepada pemiliknya. Ia segera berlari ke arah jalan raya tempat sang ibu tadi berada. Ia menatap kerumunan orang-orang mencoba menenangkan sang ibu tersebut.

“Permisi, ini tas ibu?”, Firda menyerahkan tas tersebut.

“Iya betul.”, jawab sang ibu tersebut nampak senang. “Trimakasih banyak dek.”, lanjut sang ibu yang segera memeriksa isi tasnya.

“Ada barang yang hilang buk?.”, tanya Firda.

“Alhamdulillah, semua masih utuh.” Jawab sang Ibu. “Kemana tadi larinya pencuri tadi?”, lanjutnya.

“Gak tahu Buk, gak terkejar. Cuman bisa keambil tas ibu aja. Lari. Gak tau kemana.”, ujar Firda.

“Makasih Dek…”.

“Sama-sama Buk.”, Firda tersenyum. “Lain kali Ibu hati-hati.”

“Iya, makasih dek.”

“Saya pamit dulu Buk.”, Firda berpamitan. “Permisi…”.

“Iya, makasih dek…”, Ucap sang ibu mengiringi kepergian Firda.

Firda berjalan kaki menuju kantor tempat ia bekerja. Ia bekerja di kantor pemerintahan daerah. Tepatnya di kantor kementrian pendidikan Surabaya. Di jalan, pikirannya masih dipenuhi bayangan sosok pria yang tadi ia kejar.


16.00 Kamis, 28 Oktober 2010

“Hemm… “ Firda mencicipi tumis kangkung masakannya. “Coba ibu bisa merasakan masakanku….”lamunnya.

Ia jadi teringat pernah diejek teman cowoknya ketika ia masih duduk di bangku kuliah gara-gara ia gak bisa masak. Tepatnya waktu ia masih semester 8.

“Gimana sih, cewek kok gak bisa masak?!” Ejek temannya. “Gimana mau jadi istri sholehah?!”, lanjutnya.

“Yee.. bisalah… enak aja!”, protes Firda.

“Iya, bisa. Masak air…..”, temannya kembali mengejeknya.

“Enak aja. Bisalah. Masak mie… goreng telur… hehe…” Firda nyengir.

“Whahaa… emang suaminya mau dikasih makan mie terus…”, temanya tertawa ngakak.

“Biarinlah… kan lebih hemat. Jadi gak perlu belanja lauk pauk. Cukup beli beras sama mei.”, gurau Firda.

“Hahahaa…”, temannya menertawakannya “cewek itu harus bisa masak.”, lanjut temannya.

“Iya tau…”

“Tau tapi gak dikerjakan.”

“Ya kan masih kuliah. Entarlah kalau udah waktunya.”

“Entarlah… alasan… belajarnya ya dari sekarang non... Emang bisa langsung pinter masak. Adanya tu… step by step dari sekarang.”

“Iya tau… sewot!”.

Firda tersadar dari lamunannya. Terdengar suara seseorang mengetuk pintu rumahnya. Ia segera melangkah menuju pintu depan. Lagi-lagi Firda dibuat terkejut oleh sosok yang berdiri di depan pintu tepat di hadapannya. Sosok tersebut adalah pria yang kemaren sempat berkejaran dengannya. Jika saja sosok di hadapannya itu seorang perempuan, pasti Firda sudah menjabat tangannya erat, dan memeluknya hangat sebagai suatu salam kerinduan dari seorang sahabat lama. Namun, sosok di hadapannya kini adalah seorang pria (Bukan muhrim non…). Sahabat lamanya ketika ia masih berada di bangku SMP, delapan tahun yang lalu. Sahabat yang membantunya membuatkan pigura ketika mendapat tugas dari guru mata pelajaran Kerajinan Tangan dan Kesenian. Tepatnya membuatkannya, karena Firda tidak bisa membuatnya. Namun sayang, belum sempat dikumpulkan, kacanya sudah pecah duluan. Hiks… Sahabat yang sering menjadi lawannya dalam bermain catur ketika pulang sekolah. Sahabat yang juga menjadi lawan tandingnya dalam latihan Taek Kwondo dengan nama Tapak Suci yang diikutinya. Namun, Firda selalu kalah. Sahabat yang juga menjadi lawannya dalam adu lari cepat ketika hari libur pagi hari. Dan lagi-lagi, Firda selalu kalah. Sahabatnya yang suka bolos sekolah tanpa keterangan, dan selalu kabur ketika pelajaran Fisika maupun Matematika. Untungnya Firda tidak ikutan bolos ataupun kabur. Belakangan Firda tahu kalau sahabatnya ini bolos karena kerja di bengkel. “Lumayan… dapat uang buat beli rokok.”, ujar sahabatnya. Hmmm… Sosok sahabat itu kini ada di hadapannya setelah lebih dari delapan tahun menghilang entah kemana. Edi, begitu Firda memanggilnya.

“Dor!”, Edi membuyarkan lamunan Firda. Firda jadi serba salah.

“Tenang… aku kesini bukan sebagai seorang pencuri kok.”, ujar Edi. Firda hanya tersenyum.

“Eh, masuk-masuk”, Firda mempersilahkan.

“Gak usah, Da. Di depan aja.”, tolak Edi.

“Ya udah kalo gitu.”

Edi dan Firda duduk di kursi depan rumah Firda. Dua kursi kecil yang dibatasi oleh satu meja kecil. Sejenak mereka terdiam.

“Gimana kabarnya? Kamu menghilang kemana aja sih, Di?”, Firda membuka percakapan.

“Seneng banget Da aku bisa melihatmu lagi.”, Ujar Edi tersenyum tanpa menghiraukan pertanyaan Firda. “Gak nyangka ternyata kita bisa ketemu lagi. Padahal… udah berapa tahun ya gak ketemu. Delapan tahun lebih deh.”

“Ya… kupikir aku gak akan melihat kamu lagi.” Ucap Firda. “Eh, kok tahu alamatku? Tahu dari mana?” Tanya Firda.

“Taulah… siapa dulu dong…!!!”

Firda hanya tersenyum. “Kamu ini gak berubah-berubah dari dulu.”

“Berubah Da. Aku sudah punya istri sekarang. Sudah punya anak juga.”

Firda tampak terkejut mendengar pengakuan temannya. “Gitu ya, menikah gak ngasih tahu. Gak ngasih undangan. Punya anak juga gak bilang-bilang.”, Ucap Firda. “Terus, kok istrinya gak diajak kesini tadi?”

“Enggaklah Da… istriku di rumah. Di desanya. Ngapain diajak kesini.”

“Eh, emang dapet orang mana sih?”

“Kamu gak kenal pasti. Orang habis SMP kamu langsung pergi kok, gimana aku ngasih tahu. Nomor hp kamu gak aktif lagi.”

“Iya, udah mati nomor hpku yang dulu. Maaf deh…”, Firda tersenyum.

Lagi-lagi mereka terdiam.

“Aku… Aku menikah gara-gara MBA, da.”, ujar Edi.

Firda benar-benar terkejut mendengar pengakuan sahabatnya ini. “Kok bisa?!”

“Bisa lah, Da. Namanya juga manusia. Cewekku datang ke rumah. Ia minta aku menikahinya. Ibuku yang mendengar langsung shock, Da.”, jelas Edi.

“Ya iyalah… Kalau aku waktu itu disitu juga pasti aku udah nonjokin kamu. Kok bisa-bisanya aku punya sahabat kayak kamu.”

Edi tersenyum manis. “Sok berani nonjok… orang lomba lari sama aku aja kalah gitu kok.”, ejek Edi.

Firda jadi teringat kejadian kemaren ketika ia mengejarnya. “Emm… mau nanya sesuatu. Tapi gak boleh marah ya?!”, Ucap Firda berhati-hati.

“Aku seorang pencuri, Da.”, Ucap Edi yang telah paham arah pembicaraan Hayun dan apa yang hendak ia tanyakan.

Untuk kesekian kalinya Firda dibuat terkejut oleh pernyataan dan pengakuan sahabatnya ini.

“Aku bukan orang baik, Da.”, lanjut Edi. “Aku tau sih ini salah. Aku tahu kalau yang kulakukan ini gak bener. Hmm… Udah nasibku kayaknya.”

“Jangan salahkan nasib. Salahkan dirimu.”, kata Firda. Edi hanya tersenyum mendengar ucapan Firda.

“Kamu gak berubah ya, Da. Tetep aja sama kayak dulu. Tetep bawel.”, balas Edi.

“Bawel… Kamu tuh yang bandel.”, Firda gak mau kalah.

“kalo gak gitu bukan Edi dong da namanya.”

Mereka sama-sama tersenyum.

“Eh, kemaren ngapain kamu ngejar-ngejar aku?”, Edi kembali membuka percakapan. “Udah pake rok, pake sepatu pentopel. Lumayan tinggi lagi haknya. Eh, pake jilbab lagi. Lari-lari. Untung aja kemaren gak jatuh. Mau sok jadi pahlawan ya?!”, lanjut Edi.

Firda hanya tertawa. “Reflek aja pengen nangkep pencurinya.”.

“Besok lagi gak usah sok jadi jagoan. Untung aja kemaren aku yang kamu kejar. Coba kalo orang lain. Habis kamu, Da.”, ucap Edi.

“Habis… emang apaan…?!”

“Eh, ente udah menikah belom sih, Da?”, Tanya Edi mengalihkan pembicaraan.

“Belum”, Firda tersenyum.

“Gak usah nunggu lama-lama… Entar keburu tua.”, ucap Edi.

“Yes, Bos!”, Firda member hormat kepada Edi.

“Coba aku belom nikah, Da. Aku pasti melamarmu.”, ucap Edi.

Mereka berdua tertawa. “Bercanda-bercanda…”, lanjut Edi.

Lagi-lagi mereka kembali terdiam.

“Hmm… hidup. Ya, hidup memang seperti panggung sandiwara. Panggung sandiwara yang sementara. Ada berbagai peran dan karakter disana.”, ujar Firda dalam hati.

Minggu, 24 Oktober 2010

Studi Banding ke Yunani

Kemaren sempat baca koran haria Republika tentang kepergian 8 orang anggota DPR ke Yunani. Studi Banding, gtu ceritanya. Tadi pagi juga masih jadi berita di Republika. Dana yang dihabiskan 1,5 milyar.

Mungkin bagi mereka yang punya uang ratusan milyar sih... 1,5 milyar itu keciiil. Tapi bagi mereka yang gak punya uang... wah... banyak banget tuh 1,5 milyar. Termasuk bagiku juga tuh. Hehe...

Entah pertimbangan dan alasan apa yang menjadi argumentasi bagi anggota DPR tersebut hingga tetap ngotot liburan ke Yunani di kala kondisi ekonomi Indonesia hancur seperti sekarang ini. Eh, bukan liburan deng, studi banding katanya. Bahkan sudah diprotes pun tete aja ngotot berangkat ke Yunani. Katanya sih... informasi dari internet masih kurang. Padahal... menurut berita... Yunani kan... negeri yang lumayan kuat tuh. Kuat korupsinya maksudnya.... Meski dulu sempat menjadi pusat peradaban, namun kondisi pemerintahannya saat ini banyak dilanda korupsi. Btw, Anggota DPR yang ke Yunani mau belajar apa ya dari Yunani? Ya...h semoga bukan hanya sekedar jalan-jalan ngabisin uang rakyat.

Kalo biaya ke Yunani pake uang pribadi sendiri sih its ok. (Hah?!! pake uang snediri?!!!) Tapi ini pake uang rakyat. Lha, kalau rakyat selaku yang punya uang gak setuju, gimana coba?! Apa gak lebih baik kalau uang 1,5 milyar itu dipake untuk membangun sekolah di pelosok desa yang tergolong super miskin. Di pelosok Papua misalnya, atau dipake untuk membantu orang-orang miskin yang jauh lebih membutuhkan dari pada hanya sekedar studi banding ke Yunani.

Hmmm... kita lihat ajalah hasilnya nanti. Semoga hasil studi banding ke Yunani bisa memberikan kontribusi yang berarti bagi perbaikan ekonomi dan kondisi Indonesia. Termasuk memperbaiki mental-mental koruptor para pejabat.

Because of a Name

Karena sebuah nama ini
Karena pinjaman tahta ini
Karena sematan gelar ini
Mereka menghormat
Mereka menunduk
Mereka tersenyum
Mereka menyapa
Mereka mau mengenal
Mereka mau melihat
Mereka mau bermuka manis
Di mata ini.

Bagaimana jika nama ini sirna?
Jika tahta ini usai?
Jika gelar ini terambil?

Masih adakah hormat itu?
Masih terlukiskah senyum itu?
Masih terdengarkah sapaan itu?
Masihkah mereka mau melihat?
Masih tampakkah muka manis itu?
Atau...
Akankah semua lenyap bersama hilangnya gelar pinjaman ini?

Aku Berontak

Hati berontak
Menentang
Seakan ingin teriak
"Puas kau dengan semua ini?!!!"
"Mau buat aturan apa lagi?!!!"
Ingin menangis...
Sebel.
Hiks...
Haaa!!!!!!!!!
"Gitu amat sih!"
"Enggak banget deh!"
Seakan ingin muntahkan semua makian dan umpatan.
Apakah manusia harus terus seperti ini?!!!
Hiks...
"Nyebelin banget sih!"

Atthoyyibaatu li atthoyyibiin (dibaca: Atthoyyibaatu litthoyyibiin)

Hayun

“Assalamu’alaikum warohmatullah, Assalamu’alikum warohmatullah.”. Jam dinding menunjuk ke angka tiga tepat. Haris mengakhiri tahajjudnya diikuti Hayun, istrinya yang memakmum di belakangnya.

Tahajjud merupakan rutinitas dini hari yang selalu mengawali aktifitas mereka. Di keheningan malam mereka bersujud bersama-sama menghadap-Nya. Kebiasaan yang tercipta sejak awal mereka berumah tangga dan menjalin komitmen. Kebiasaan yang sebenarnya telah biasa mereka jalani jauh hari sebelum mereka bertemu dan tinggal serumah.
Selesai sholat, biasanya mereka berdua tidak akan melewatkan waktu untuk berdo’a, meskipun hanya lima menit. Begitu juga dini hari ini. Haris memimpin do’a diamini oleh Hayun dalam hati. Selesai berdoa, Hayun mencium tangan Haris, suaminya, yang dibalas dengan kecupan Haris di kening Hayun disertai do’a keberkahan dalam hati Haris.

“Mas, request surat Al-Baqoroh.”, Pinta Hayun kepada suaminya selesai sholat.
Mungkin Hayun merupakan salah seorang wanita yang paling beruntung di dunia ini karena dianugerahi Allah suami yang sholeh, juga hafidz Qur’an. Hayun sendiri baru mengetahui kalau suaminya ternyata benar-benar hafal 30 juz setelah hampir seminggu tinggal serumah dengan suaminya.

“Request…, emang penyiar radio….!”, protes Haris.

“Siapa yang bilang penyiar radio?!”, balas Hayun. “Orang aku langsung request dari kasetnya kok.”, lanjutnya.

“Buat tuan putri apa sih yang enggak…..”.

“Trimakasih Pangeran.”, jawab Hayun menyandarkan kepalanya di bahu Haris.

“Pintar menggombal ya sekarang…”, Haris tersenyum.

“Kan belajar dari pangeran…”, canda Hayun.

Haris pun mulai menghafal surat Al-Baqoroh dari ayat pertama dengan nada dan suaranya yang merdu. Dan Hayun mendengarkannya sambil mencoba menirukan dalam hati. Hayun sendiri juga pernah menghafal beberapa ayat surat Al-Baqoroh.

Di tengah Hayun menikmati indah alunan ayat Qur’an yang dibaca Haris, entah kenapa Hayun kembali teringat moment pertama kali ia bertemu dengan Haris, suaminya. Ya, sekitar tujuh tahun yang lalu. “Ah, kok gak kucatat ya tanggal berapa waktu itu!”, sesal Hayun dalam hati. Kala itu Hayun masih menempuh kuliahnya. Ia masih duduk di bangku semester 7 di sebuah perguruan tinggi swasta di Surabaya, Jawa Timur. Hayun sendiri berasal dari Lamongan. Dan karena jarak yang cukup jauh antara rumah dan tempat kuliahnya, Hayun menetap di kost yang tak jauh dari kampusnya.

Proses pernikahannya dengan Haris berlangsung dengan singkat tanpa proses perkenalan dan pertemanan yang memakan waktu lama. Berbeda sekali dengan orang-orang zaman sekarang. Jika orang-orang biasanya melewati masa-masa yang disebut dengan masa pacaran sebelum memasuki jenjang pernikahan, Hayun sama sekali tidak pernah mengalaminya. Jangankan pacaran, bicara hanya berduaan dengan yang bukan muhrim saja Hayun tidak pernah. Jika terpaksa harus berkomunikasi dengan yang bukan muhrim, ia akan memilih tempat dan suasana yang ramai. Banyak teman-teman kuliahnya yang menganggapnya terlalu ekstrim dan sok alim. Namun, Hayun sama sekali tidak mempedulikan hal itu. Ia tetap teguh memegang prinsipnya. Yang jelas semua itu ia lakukan bukan untuk mendapat pujian dari manusia. Ia hanya berusaha menjadi seorang hamba yang taat pada peraturan yang telah ditetapkan Sang Khalik.

Pernah ia bersikap kontra dan menentang kebiasaan teman kostnya, Santi yang bergaul akrab dengan teman prianya, atau bisa dibilang berpacaran. “Selama tidak melanggar norma, menurutku itu fine aja. Toh tujuan kita biar saling mengenal. Biar saling mengetahui lebih dekat sebelum nanti menyesal ketika telah menjadi pasangan hidup. Kalau kita tidak berusaha untuk mengenal, bagaimana kita bisa mendapatkan pasangan hidup? Kamu mau jadi perawan tua?”, Santi berargumen.

“Tapi bukan begitu cara untuk mengenal. Semua ada aturannya. Siapa yang menjamin dengan pacaran kita akan lebih mengetahui seseorang? Malah banyak bohongnya. Banyak sisi negatifnya.”, Hayun tak mau kalah.

“Terserah! Kamu, kamu. Aku, aku. Kita semua punya hak untuk menentukan pilihan dan prinsip kita masing-masing.”, Ucap santi.




Tujuh Tahun Silam.

Sekitar tujuh tahun yang lalu, ketika Hayun pulang ke rumah dalam rangka liburan akhir semester. Hayun merasa ada yang berbeda dengan orang-orang rumah dalam liburan kala itu. Ibunya menyinggung-nyinggung tentang pernikahan. Padahal ibunya sama sekali tidak pernah membicarakan hal semacam itu sebelumnya. Begitu juga dengan kakaknya. “Sudah ada calon belum, Dek?”, Tanya kakaknya. “Calon apa? Masih semester tujuh. Belum ada pikiran ke situ”, balas Hayun.

“Kalau ada laki-laki yang sholeh, meskipun tingkat pendidikannya rendah, ga sampai kuliah di perguruan tinggi, lalu ia berniat memperistri perempuan yang tingkat pendidikannya secara akademis lebih tinggi darinya, menurut kamu gimana?”, Tanya ibu Hayun.

“Ngapain ibu menanyakan hal kayak gitu? Gak biasanya…”, Tanya Hayun dalam hati. “Jangan-jangan…”, lanjutnya masih dalam hati.
“Ya terserah merekalah.”, jawab Hayun. Kali ini tidak dalam hati.
“Boleh ga menurut kamu?”, Ibunya kembali bertanya.
“Boleh aja. Kenapa enggak?”, jawab Hayun ringan.

Pertemuan Pertama

“Kuliah dimana?”, Tanya seorang laki-laki yang tengah duduk di ruang tamu kepada Hayun. Laki-laki tersebut adalah teman kakak Hayun yang tengah bertamu ke rumahnya. Entah anak mana. Hayun baru kali ini melihatnya.

“Di Surabaya.”, jawab Hayun singkat.

“Semester berapa sekarang?”, laki-laki tersebut kembali bertanya.

“Semester tujuh.”, jawab Hayun.

“Bentar lagi lulus dong.” Ujar laki-laki tersebut.

“Insya Allah setahun lagi.”, Hayun kembali menjawab.

Ya, itulah pembicaraan singkat antara Hayun dan Haris ketika pertama kali Hayun bertemu dengan Haris. Hayun sendiri kala itu tidak mengetahui siapa nama laki-laki tersebut.
Hayun baru mengetahui lebih lanjut setelah diberi tahu oleh ibunya, tepat ketika laki-laki tersebut telah berpamitan pulang. “Laki-laki tadi itu…. Teman kakakmu. Dia berniat melamarmu. “, Glek. Dalam hati ia begitu terkejut mendengar ucapan ibunya. “Tapi Ibu sudah bilang ke dia kalau kamu masih harus menempuh belajarmu setahun lagi.”, lanjut ibunya. Nampaknya Ibu Hayun dapat memahami apa yang dipikirkan Hayun. “Dia teman dekat kakakmu. Katanya sih…. dia sholeh.”, kembali ibu Hayun berucap.

Semenjak pertemuan itu, Hayun tidak pernah lagi melihat laki-laki tersebut. Ia juga tidak bertanya kepada ibu maupun kakaknya siapa nama dan identitas laki-laki yang katanya hendak mempersuntingnya tersebut. Hayun kembali menjalani aktivitas hariannya di Surabaya. “Belajar, dan terus belajar”, hanya itu yang ada di pikirannya. “Kalaulah jodoh tak akan kemana.”, demikian prinsip Hayun.

Hampir satu tahun Hayun tidak pernah lagi melihat laki-laki tersebut. Sama sekali tidak ada komunikasi antara mereka. Sempat terbersit di benak Hayun, mungkin laki-laki yang dulu ingin melamarnya sudah tidak lagi berniat ingin melamarnya. Mungkin terlalu lama baginya untuk menunggu Hayun selesai belajar di bangku kuliah. Atau mungkin juga ia beralih pikiran setelah melihat penampilan Hayun secara langsung.

Ya, dari sisi fisik, Hayun memang tidak secantik Tamara Blezinski ataupun Luna Maya. Apalagi ia juga bukan tipe wanita yang suka berhias. Ketika teman-teman kampusnya heboh dengan berbagai fashion dan model busana terbaru, Hayun sama sekali tidak tertarik sedikitpun. Ia lebih suka memakai busananya yang kedodoran, dan jilbab lebarnya. Pernah ada mahasiswa yang mengatakan kepadanya bahwa ia terlalu kolot, kampungan, dan konservatif. Namun hal itu sama sekali tidak menggoyahkan ideologinya sedikitpun. Ia tetap teguh dengan pakaian syar’i dan jilbab lebarnya.

Selesai Kuliah

Setahun berlalu. Hayun telah menyelesikan kuliahnya dan berhasil mendapatkan gelar sarjana. “Alhamdulillah, akhirnya semua selesai. Namun… hakekatnya ini adalah awal perjuangan. Hendak kemana jejak ini kan melangkah?”, Ujar Hayun dalam hati.

Dan semua sungguh di luar dugaannya, laki-laki yang dulu berniat melamarnya, ternyata datang kembali membawa proposal nikah dan mengutarakan niatnya secara langsung kepada Hayun. Ya, seindah apapun rencana manusia, jauh lebih indah rencana Allah. Namun, bukan berarti manusia berpasrah diri tanpa adanya usaha. Tawakkal haruslah disertai ikhtiar. Ikhtiar yang diridhoi oleh Allah SWT tentunya. “Memang benar, kalaulah jodoh tak akan kemana.”, ujar Hayun dalam hati. “Ya Allah, berikan yang terbaik buat hamba.”, pinta Hayun dalam tiap istikhorohnya.

Dari proposal tersebut, Hayun mengetahui identitas laki-laki tersebut. “Muhammad Haris, anak kedua, Bojonegoro, umur 28 tahun. Selisih lima tahun dengan Hayun yang kini memasuki usianya yang ke-23. Lulusan SMK. Pekerjaan tetap: montir.”, Hayun membaca dalam hati. Ia juga baru tahu, ternyata laki-laki tersebut juga pernah belajar di sebuah pondok pesantren.

Jika dilihat dari status pendidikan akademik, Hayun memang lebih tinggi dari Haris. Namun tingkat pendidikan akademik yang tinggi belum tentu menjamin bahwa seseorang akan memiliki ilmu dan pengetahuan serta adab yang tinggi pula. Tingkat pendidikan akademik yang tinggi tidak menjamin kesholehan seseorang.

Islam juga mengajarkan bahwa belajar tidak terbatas pada usia dan tempat. Belajar tidak harus melalui bangku kuliah yang formal. Islam mengajarkan manusia untuk belajar dari buaian hingga akhir hayat. Memang, belajar secara formal di bangku sekolah maupun perguruan tinggi lebih memberikan banyak kesempatan untuk belajar. Namun, bukan berarti kita lantas menilai seseorang hanya dari status akademiknya. Hayun banyak belajar dari sejarah hidup yang ia lalui.

Akad nikah antara Hayun dan Haris dilaksanakan seminggu setelah Haris mengajukan proposal. Semua berlangsung cepat. Setelah adanya persetujuan dari berbagai pihak, termasuk dari Hayun sendiri, tanggal akad nikah segera ditetapkan. Selama seminggu itupun Haris tidak banyak berkomunikasi dengan Hayun.

Hayun sadar, pernikahan bukan hanya sekedar menyatukan dua manusia. Pernikahan bukan hanya sekedar mencintai sosok manusia. Pernikahan bukan hanya sekedar membangun rumah dan keluarga. Dalam pernikahan, permasalahannya bukan hanya sekedar memikirkan bagaimana hidup, makan, punya penghasilan, lalu memiliki anak. Pernikahan hakikatnya lebih dari itu. Idealisme membangun sebuah keluarga harus lebih dari itu. Bagaimana mendidik keluarga untuk menuju Dia. Keluarga yang bisa membentangkan sajadah yang lebih panjang untuk beribadah kepada-Nya.

Hari pertama Hayun tinggal bersama Haris, ia sempat terkejut ketika bangun tidur mendapati seorang pria di sampingya. Namun ia segera sadar bahwa ia telah menikah, dan sosok yang berada di sampingnya adalah suaminya. Hayun jadi teringat pernah membaca novel yang isinya juga menceritakan seorang wanita yang terkejut kala bangun tidur mendapati seorang pria di sampingya, yang ternyata adalah suaminya. Dan kali ini Hayun mengalami hal yang sama dalam realita seperti apa yang pernah ia baca dalam novel.

Tujuh tahun berlalu begitu cepat. Kini ia telah memiliki dua buah hati yang sangat dicintainya; Rosyid Arroyyan, yang kini berusia lima tahun, dan Rosyidatul Azizah yang baru memasuki usia 3 tahun. Buah hati yang kelak akan meneruskan perjuangan dan dakwah sebagai hamba Allah di bumi.

“Bu…k!”, panggil Haris.

“Hem, apa mas?”, Hayun terkejut.

“Hmmm…kebiasaan…sukanya melamun…”

Hayun hanya tersenyum malu. “Ups, ketahuan nih!”, gumamnya dalam hati.

“Tuan putri harus tanggungjawab nih!”, ucap Haris. Hayun masih bingung, tanggungjawab apa yang dimaksud suaminya. Namun ia segera sadar setelah melihat suaminya memegangi bahunya.

“Aduh, kesemutan nih...”, Haris meringis diiringi oleh tawa Hayun. “Wah, tertawa di atas penderitaan orang lain nih!”, lanjut Haris.

Kamis, 21 Oktober 2010

Ya Rabb... ampuni hamba yang kurang bersyukur......

Aku Dalam Rasa

Dalam asa aku bicara
Dalam rasa aku berada
Namun....
Aku terpaku dalam tatap
Dan melintas sekejap
Tanpa suara
Seakan angin pun berhenti berhembus
Dunia mematung

Mengapa ungkapan itu sulit terucap
Jika ada orang yang paling pengecut di dunia ini....
Mungkin itu adalah aku.

Minggu, 17 Oktober 2010

200 Rupiah



Ceritanya waktu itu aku sedang belanja di pasar desa. Kusaksikan dan kudengar seorang nenek penjual nasi menawar harga sayur bayam yang ditawarkan oleh ibu-ibu tua sang penjual sayur bayam. tawaran dari 700 rupiah menjadi 500 rupiah. Tawaran yang memakan waktu cukup lama dengan berbagai argumen dari masing-masing pihak untuk sebuah uang 200 rupiah. Begitu berharga uang 200 rupiah buat mereka. 200 rupiah pasti sama sekali tak berharga di mata mereka yang bermobil mewah atau di mata para pejabat. Sebuah kesenjangan sosial yang begitu jauh.

Di Terminal Ngawi



Waktu itu... aku sedang duduk dalam bis. Sumber Kencono yang kunaiki berhenti cukup lama di terminal Ngawi. Aku duduk dekat jendela, jadi aku bisa menyaksikan pemandangan di luar jendela. Ya, ada pengamen, penjual asongan, kondektur-kondektur bis yang sedang kongkow melepas lelah sambil makan nasi bungkus. Sempat kulihat ada orang gila sedang duduk-duduk santai (kasihan... naudzubillah). O iya, ada anak kecil minta air untuk cuci tangan. Lalu seorang bapak-bapak yang sedang duduk menunggui makanan dan minuman yang dijual menuangkan sedikit air dari botol plastik. Seperti itu kehidupan di terminal. Ada juga nampak seorang ibu yang tergolong muda, bersama seorang anak kecil, dan seorang bapak. Sepertinya sih satu keluarga. Mereka nampak asik makan makanan yang terbungkus daun pisang.

Ya, macam-macam cara orang mengais rizki. Dalam berbagai peran.

Oiya, flashback. Cerita sebelum aku menaiki bis Sumber Kencono menuju Ngawi. Ceritanya bis yang kunaiki gak masuk terminal. Kupikir bis akan berhenti di perempatan yang pernah kulalui (ku pernah berhenti di perempatan itu karena bis gak masuk terminal). Ternyata bis berhenti di jalan yang asing bagiku. Kondektur bis menyuruhku turun di jalan tersebut. Okelah. Aku turun dari bis. Di pinggir jalan aku sempat bingung juga. Jalan ke arah mana yang akan kuambil? Kulihat seorang ibu-ibu muda duduk di pinggir jalan. Tampaknya sih sedang menunggu bis lewat juga. "Maaf bu, mau tanya, kalau mau ke Jogya naik bis ke arah mana ya bu?", tanyaku. Ternyata si ibu yang kutanya juga gak tahu. "Waduh, ke arah mana ni?", tanyaku dalam hati. "dah kayak orang ilang aja nih.", Ujarku masih dalam hati. "Tenang Luk... kalo nyasar juga paling-paling masih di sekitar daerah sini...", hiburku. akhirnya kuputuskan untuk menyeberang jalan. Kuambil arah yang berbeda. Sempat berdiri beberapa menit. Mematung di pinggir jalan seorang diri dengan keraguan dan sedikit rasa takut juga sih sebenernya. "Kok gak ada bus yang lewat ya?". Tapi Alhamdulillah, beberapa menit setelah itu aku melihat Sumber Kencono dari jauh. Yups, Yogya. aku membaca sekilas tulisan yang terpampang di kaca depan bis. Segera aku meloncat memasuki pintu belakang bis. Alhamdulillah, ada tempat duduk yang masih kosong juga. Yups, Alhamdulillah, Allah memberiku keselamatan dalam perjalananku.

Inget .......

Barusan baca buku karya Afifah Afra "How to be Smart Writer". Hmmm... kok jadi inget Bapak ya. Inget aku pernah menulis tulisan yang isinya aku bener-bener marah sama Bapak. Kenapa ya sebabnya kok aku segitu marahnya? Lupa. Kekanak-kanakan banget.... Tapi habis itu aku langsung nulis besar-besar di atas tulisan itu. "I LOVE YOU FATHER". ciee...

Kamis, 14 Oktober 2010

It's About Me






Luluk Faidah, lahir di sebuah desa di kabupaten Lamongan, 18 Oktober 1986 (Wah, dah tua nih!). Mulai menulis sejak... kapan ya? Sejak MI. Waktu dapat tugas membuat puisi dari guru Bahasa Indonesia. Hehehe... Waktu ituuu judul puisiku "Kereta Api", penggambaran sebuah kereta api yang cerobong asapnya mirip cerutu kakekku. heheee bohong... Orang kakekku gak kenal paan tu cerutu. Adanya juga rokok dari tembakau yang dibuat sendiri dengan kobot alias kulit jagung.

Aku paling suka dengerin musik, berhayal, baca buku (hanya buku yang menarik menurutku), dan main catur, meskipun selalu kalah kalo lawan si Didik. Hehee... Tapi setelah di pondok jadi gak pernah main catur lagi. Belakangan ini malah sering maen badminton. Meski selalu kalah juga kalo lawan dedek Padm. Ets, tapi masih tetep hobi catur lho.. "HIDUP CATUR!!!" Hehee...

Yang jelas, menulis bukan hobi utamaku. Kalo lagi ada ide, ya nulis. Kalo enggak... ya enggak. Banyakan gak ada idenya kalahan. So, iseng aja nulis.

Satu lagi! Ku paling suka duduk-duduk depan kamar, pagi... siang... sore... suer! pemandangan langit plus awannya bagus banget! Kapanpun itu. cuaca lagi panas, pagi, senja kemerahan, hujan, mendung... nentremin hati banget deh! Luas. Bikin dada lapang. Asli! Ni ga boongan. So, kalau lagi kayak gituuu cuman bisa ngomong... Subhanallah... Subhanallah...!

Tulislah!

Puisi adalah jiwa. Luapan perasaan. Dalam puisi ada cinta, nostalgia, ideologi, dan rasa syukur.

Tulislah apa yang ada di pikiranmu. Luapkan dalam coretan-coretan indahmu. Dan sepuluh tahun lagi mungkin kau akan tertawa atau bahkan mungkin coretan itu akan menjadi sebuah memori yang mahal. menjadi sebuah cerita tersendiri yang bisa dikenang. Yups, selagi kita masih bisa menulis, kenapa kita tidak meluapkannya dalam coretan-coretan? Meskipun coretan itu hanya bisa kita nikmati sendiri (hehe... menghibur diri ni?.

Pernah frustasi gara-gara karyamu gak pernah diterima? Nasiiib... nasiiib. Kalo iya, berarti kamu senasib dong ma aku. Asiiik ada temen senasib nih! Ceritanya aku lagi frustasi nih lianna (kan biasanya pake coz, sekarang ganti lianna ja biar lebih..... apa ya? lebih bernuansa kearaban gitu deh! Biar ga English mulu!) puisiku ga diterima di majalah yang pernah kukirim, akhirnya bikin blog sendiri ja deeeh. Yaah, nikmati sendirilah.

Hafid

Hafid duduk seorang diri bersandar di kursi bus yang dinaikinya. Jarum jam di tangannya menunjjuk ke angka dua belas. Sengaja ia memilih duduk di kursi deretan tengah yang masih kosong agar ia bisa menatap pemandangan di luar bus. Ia letakkan tas ransel miliknya di bawah kakinya. Sebuah keputusan besar sedang ia lalui saat ini. Kalau hanya meninggalkan keluarga dan orang-orang yang dicintainya, itu sudah biasa. Namun kali ini ia harus berjuang di sebuah desa pedalaman yang konon tingkat pendidikan penduduknya masih tertinggal jauh. Grobogan, kecamatan Klaka, Kabpaten Lumajang, desa itulah yang hendak ia tuju saat ini.

“Benar kamu sudah bertekad mau mengajar di tempat itu?”, Tanya Bapaknya meyakinkannya tadi malam. Bapak Hafid tau benar kalau anak bungsunya ini sejak dulu memiliki cita-cita untuk belajar ke Madinah.

“Ya Pak. Do’akan agar Hafid kuat.”, jawab Hafid singkat.

“Pasti Bapak selalu mendo’akan kamu. Terus bagaimana dengan rencana kamu bejalar ke Madinah?”,

“Hidup memang penuh dengan pilihan, Pak.”, Hafid menarik nafas dalam.

Masih teringat di benak Hafid tentang pengumuman dari bapak kepala Yayasan tempat ia mengajar bahwa ada sebuah sekolah yang terletak jauh di pelosok desa terpencil yang membutuhkan tenaga pengajar. Namun ternyata pengumuman itu tak mendapat respon yang berarti dari semua guru-guru. Ya, tak ada satu pun guru di yayasan tempat Hafid mengajar yang bersedia mengajar di desa terpencil tersebut. Aneh, ketika ada tawaran beasiswa belajar S2 ke madinah atau ke universitas-universitas besar di kota, hampir semua guru beradu cepat mendaftar. Begitu juga ketika ada tawaran mengajar di universitas besar, semua berbondong-bondong mendaftar. Tapi mengapa ketika ada pengumuman tawaran untuk berjuang di desa yang kecil, tak ada satu pun yang mendaftar? Seakan semua tak mau peduli.

Seminggu yang lalu, dalam sebuah rapat mingguan yayasan tempat Hafid mengajar, kembali bapak kepala yayasan menawarkan kepada seluruh guru tentang tawaran mengajar di desa terpencil tersebut. Melihat tak seorang pun mengangkat tangan bersedia mengajar di desa tersebut, Hafid mengangkat tangannya sebagai tanda ia bersedia berjuang di desa tersebut. Dan guru-guru yang hadir dalam rapat tersebut hanya mampu terdiam menatap Hafid. Ya, Hafid di usianya yang masih tergolong muda dibanding guru-guru yang lain ternyata jauh memiliki semangat juang dan pengorbanan yang tinggi dibanding lainnya. Hafid sudah bertekad meninggalkan beasiswa yang telah ia dapat untuk belajar di Madinah dan lebih memilih untuk berjuang di sebuah desa terpencil, Grobokan.

“Persiapan Klaka…”, Hafid tersadar dari lamunannya mendengar teriakan kondektur bus.
Ia segera berdiri melangkah di dekat pintu bus bersiap-siap turun.

“Bok Panjang Pak.”, Ujarnya kepada kondektur Bus.

Bus berhenti di pinggir Bok Panjang untuk menurunkan Hafid. Ia melangkah menuruni tangga menuju desa Grobokan yang terletak di daerah dengan daratan yang lebih rendah dari jalan raya yang baru saja ia lewati. Grobokan, sebuah desa kecil di kecamatan Klaka, kabupaten Lumajang. Sebuah desa terpencil dengan mata pencaharian mayoritas penduduknya bertani dan berkebun. Desa kecil yang cukup sulit ditemukan sumber air. Ya, mayoritas penduduknya mandi dan mengambil air dari aliran sungai. Khusus untuk minum, mereka membeli air dengan harga tiga ratus rupiah satu dirigen. Ya, sebuah perjuangan sedang dimulai oleh Hafid di sebuah desa dengan nama Grobokan.

“Ya Rabb, berikanlah kekuatan kepada hamba.”, doanya dalam hati.