AHLAN WA SAHLAN

Puisi adalah jiwa. Luapan perasaan. Dalam puisi ada cinta, nostalgia, ideologi, dan rasa syukur.


Tulislah apa yang ada di pikiranmu. Luapkan dalam coretan-coretan indahmu. Dan sepuluh tahun lagi mungkin kau akan tertawa atau bahkan mungkin coretan itu akan menjadi sebuah memori yang mahal. menjadi sebuah cerita tersendiri yang bisa dikenang. Yups, selagi kita masih bisa menulis, kenapa kita tidak meluapkannya dalam coretan-coretan? Meskipun coretan itu hanya bisa kita nikmati sendiri (hehe... menghibur diri ni?)

Pernah frustasi gara-gara karyamu gak pernah diterima? Nasiiib... nasiiib. Kalo iya, berarti kamu senasib dong ma aku. Asiiik ada temen senasib nih! Ceritanya aku lagi frustasi nih lianna (kan biasanya pake coz, sekarang ganti lianna ja biar lebih..... apa ya? lebih bernuansa kearaban gitu deh! Biar ga English mulu!) puisiku ga diterima di majalah yang pernah kukirim, akhirnya bikin blog sendiri ja deeeh. Yaah, nikmati sendirilah.

Jumat, 29 Oktober 2010

Biarkan Jiwaku Menghilang


Mematung disini
Hidup dalam hampa jasad
Entah kemana jiwa sirna

Jasad masuk dalam ruang berasap
Membuat ruh tertinggal
Seakan melayang dalam ruang hampa udara

Biarkan jiwa ini terbang dan terus terbang
Membuang sesak udara
Dan temukan sebutir suci tawa di sanubari terdalam
Hingga terlukis bunga senyuman

Biarkan ruh ini melayang
Tuk sejenak raih ceria yang hilang
Agar batin ini tenang

Bukan maksud hati untuk menghilang
Namun hanya ingin sirnakan mendung yang meraja
Mencoba mengganti dengan secercah sinar senyuman di jiwa
Yang telah lama lenyap dalam aus gerakan hampa
Dan hanya bertopeng paras kepalsuan

Biarkan hati raih kembali senyuman hakiki
Tuk hapus kelabu hampa yang menyiksa.

Rabu, 27 Oktober 2010

Panggung Sandiwara

01.00, Rabu, 27 Oktober 2010

Firda duduk mematung di depan komputer. Sebuah headset terpasang di telinganya. Ia sedang asik dengan dunianya sendiri. Ya, seakan dunia miliknya sendiri. Ia nikmati lagu-lagu kesukaannya di playlist GOM player dengan tatapan mata kosong. Bukan tulisan-tulisan di layar komputer tua di depan matanya yang ia lihat. Entah kemana perginya jiwa dan sorot matanya.

Bunyi jam beker yang sengaja ia pasang membuyarkan lamunannya. Ia meraih jam beker di atas meja tepat di samping monitor dan menekan tombol off. Sudah jam satu dini hari namun ia tak jua mengantuk. Bukan insomnia yang menyerangnya, namun bayangan dan tatapan mata seseorang yang ia temui siang tadi yang mengganggunya. Seorang pria yang sempat membuatnya kelelahan karena mengejarnya. Ia hampir saja bergulat dan beradu tinju dengan pria tersebut jika saja pria tersebut tidak menyerahkan tas yang ia ambil. Ya, Firda kenal betul pemilik muka dan sorot mata itu. Namun sayangnya ia tak sempat bertatap muka lama ataupun berbincang dengannya. Bahkan ia menemuinya dalam situasi yang sungguh di luar dugaannya.

Firda mematikan komputernya. Ia rapikan kertas-kertas print out hasil laporan yang esok harus ia serahkan kepada atasan tempat ia bekerja. Ia segera beranjak ke kamar mandi untuk berwudhu dan menggoosk gigi setelah teringat bahwa ia belum menunaikan sholat Isya’. Sebuah mukenah putih ia ambil dari hanger yang tergantung di kamarnya. Mukenah kesayangannya, hadiah dari ibunya karena ia berhasil menyelesaikan skripsi S1nya tepat waktu. Ibunya yang tinggal jauh darinya. Di sebuah pelosok desa di kabupaten Lamongan ibunya berada. (“Kok Lamongan mulu sih?”. “Hehe…sayang daerah… cinta tanah air… suka-suka yang nulislah”). Sementara Firda tinggal di sebuah rumah kecil kos-kosan di kota Surabaya, kota tempat ia bekerja.

13.00, Rabu 27 Oktober 2010

Firda keluar dari tempat makan siangnya. Tempat makan siang yang selalu menjadi langganannya tiap hari, karena selain tempatnya yang lumayan dekat dengan kantor tempat ia bekerja, juga sederhana dan terjangkau oleh isi kantongnya. Di tempat itu juga disedikan kamar mandi dan tempat sholat, sehingga Firda tidak perlu jauh-jauh pergi ke masjid maupun musholah untuk menunaikan sholat Dhuhur.

Firda melangkah seorang diri menuju kantor tempat ia bekerja. Baru saja ia melangkah keluar dari pintu rumah makan tersebut, matanya merekam sosok pria di seberang jalan yang bergerak cepat sambil menarik sebuah tas milik seorang ibu usia 40 tahunan. Reflek sang ibu tersebut berteriak minta tolong. Tanpa berpikir panjang, dengan gerakannya yang cepat dan gesit ia berlari menyeberang jalan dan mengejar pria yang mencopet tas sang ibu tersebut. Firda memasuki lorong-lorong jalan yang asing baginya. Ya, sosok pria tersebut tampat tak jauh darinya. Dan pria tersebut tak mau kalah. Ia sadar seseorang sedang mengejar di belakangnya. Ia semakin mempercepat larinya, hingga sampai tepat di sebuah lorong pertigaan, pria tersebut menghentikan langkahnya. Ia berbalik ke belakang. Dan alangkah terkejutnya Firda menatap sosok pria yang berdiri di depannya. Dalam jarak sekitar tiga meter mereka berdiri. Untuk sejenak mereka berdua saling mematung terheran satu sama lain.

Firda tersadar dari lamunannya setelah sebuah tas terlempar tepat mengenai dirinya yang sengaja dilempar oleh pria tersebut. Firda segera menangkap tas tersebut, disusul kepergian pria tersebut. Entah kemana larinya. Firda tak lagi bersemangat mengejarnya. Ia masih shock dengan apa yang ia lihat barusan. Ia tau betul sosok pria tersebut. Sosok pria yang hampir lebih dari delapan tahun tak pernah ia temui. Pria yang dulu pernah duduk di bangku tepat di depan Firda ketika ia masih berada di bangku SMP.

Firda tersadar ia harus segera mengembalikan tas tersebut kepada pemiliknya. Ia segera berlari ke arah jalan raya tempat sang ibu tadi berada. Ia menatap kerumunan orang-orang mencoba menenangkan sang ibu tersebut.

“Permisi, ini tas ibu?”, Firda menyerahkan tas tersebut.

“Iya betul.”, jawab sang ibu tersebut nampak senang. “Trimakasih banyak dek.”, lanjut sang ibu yang segera memeriksa isi tasnya.

“Ada barang yang hilang buk?.”, tanya Firda.

“Alhamdulillah, semua masih utuh.” Jawab sang Ibu. “Kemana tadi larinya pencuri tadi?”, lanjutnya.

“Gak tahu Buk, gak terkejar. Cuman bisa keambil tas ibu aja. Lari. Gak tau kemana.”, ujar Firda.

“Makasih Dek…”.

“Sama-sama Buk.”, Firda tersenyum. “Lain kali Ibu hati-hati.”

“Iya, makasih dek.”

“Saya pamit dulu Buk.”, Firda berpamitan. “Permisi…”.

“Iya, makasih dek…”, Ucap sang ibu mengiringi kepergian Firda.

Firda berjalan kaki menuju kantor tempat ia bekerja. Ia bekerja di kantor pemerintahan daerah. Tepatnya di kantor kementrian pendidikan Surabaya. Di jalan, pikirannya masih dipenuhi bayangan sosok pria yang tadi ia kejar.


16.00 Kamis, 28 Oktober 2010

“Hemm… “ Firda mencicipi tumis kangkung masakannya. “Coba ibu bisa merasakan masakanku….”lamunnya.

Ia jadi teringat pernah diejek teman cowoknya ketika ia masih duduk di bangku kuliah gara-gara ia gak bisa masak. Tepatnya waktu ia masih semester 8.

“Gimana sih, cewek kok gak bisa masak?!” Ejek temannya. “Gimana mau jadi istri sholehah?!”, lanjutnya.

“Yee.. bisalah… enak aja!”, protes Firda.

“Iya, bisa. Masak air…..”, temannya kembali mengejeknya.

“Enak aja. Bisalah. Masak mie… goreng telur… hehe…” Firda nyengir.

“Whahaa… emang suaminya mau dikasih makan mie terus…”, temanya tertawa ngakak.

“Biarinlah… kan lebih hemat. Jadi gak perlu belanja lauk pauk. Cukup beli beras sama mei.”, gurau Firda.

“Hahahaa…”, temannya menertawakannya “cewek itu harus bisa masak.”, lanjut temannya.

“Iya tau…”

“Tau tapi gak dikerjakan.”

“Ya kan masih kuliah. Entarlah kalau udah waktunya.”

“Entarlah… alasan… belajarnya ya dari sekarang non... Emang bisa langsung pinter masak. Adanya tu… step by step dari sekarang.”

“Iya tau… sewot!”.

Firda tersadar dari lamunannya. Terdengar suara seseorang mengetuk pintu rumahnya. Ia segera melangkah menuju pintu depan. Lagi-lagi Firda dibuat terkejut oleh sosok yang berdiri di depan pintu tepat di hadapannya. Sosok tersebut adalah pria yang kemaren sempat berkejaran dengannya. Jika saja sosok di hadapannya itu seorang perempuan, pasti Firda sudah menjabat tangannya erat, dan memeluknya hangat sebagai suatu salam kerinduan dari seorang sahabat lama. Namun, sosok di hadapannya kini adalah seorang pria (Bukan muhrim non…). Sahabat lamanya ketika ia masih berada di bangku SMP, delapan tahun yang lalu. Sahabat yang membantunya membuatkan pigura ketika mendapat tugas dari guru mata pelajaran Kerajinan Tangan dan Kesenian. Tepatnya membuatkannya, karena Firda tidak bisa membuatnya. Namun sayang, belum sempat dikumpulkan, kacanya sudah pecah duluan. Hiks… Sahabat yang sering menjadi lawannya dalam bermain catur ketika pulang sekolah. Sahabat yang juga menjadi lawan tandingnya dalam latihan Taek Kwondo dengan nama Tapak Suci yang diikutinya. Namun, Firda selalu kalah. Sahabat yang juga menjadi lawannya dalam adu lari cepat ketika hari libur pagi hari. Dan lagi-lagi, Firda selalu kalah. Sahabatnya yang suka bolos sekolah tanpa keterangan, dan selalu kabur ketika pelajaran Fisika maupun Matematika. Untungnya Firda tidak ikutan bolos ataupun kabur. Belakangan Firda tahu kalau sahabatnya ini bolos karena kerja di bengkel. “Lumayan… dapat uang buat beli rokok.”, ujar sahabatnya. Hmmm… Sosok sahabat itu kini ada di hadapannya setelah lebih dari delapan tahun menghilang entah kemana. Edi, begitu Firda memanggilnya.

“Dor!”, Edi membuyarkan lamunan Firda. Firda jadi serba salah.

“Tenang… aku kesini bukan sebagai seorang pencuri kok.”, ujar Edi. Firda hanya tersenyum.

“Eh, masuk-masuk”, Firda mempersilahkan.

“Gak usah, Da. Di depan aja.”, tolak Edi.

“Ya udah kalo gitu.”

Edi dan Firda duduk di kursi depan rumah Firda. Dua kursi kecil yang dibatasi oleh satu meja kecil. Sejenak mereka terdiam.

“Gimana kabarnya? Kamu menghilang kemana aja sih, Di?”, Firda membuka percakapan.

“Seneng banget Da aku bisa melihatmu lagi.”, Ujar Edi tersenyum tanpa menghiraukan pertanyaan Firda. “Gak nyangka ternyata kita bisa ketemu lagi. Padahal… udah berapa tahun ya gak ketemu. Delapan tahun lebih deh.”

“Ya… kupikir aku gak akan melihat kamu lagi.” Ucap Firda. “Eh, kok tahu alamatku? Tahu dari mana?” Tanya Firda.

“Taulah… siapa dulu dong…!!!”

Firda hanya tersenyum. “Kamu ini gak berubah-berubah dari dulu.”

“Berubah Da. Aku sudah punya istri sekarang. Sudah punya anak juga.”

Firda tampak terkejut mendengar pengakuan temannya. “Gitu ya, menikah gak ngasih tahu. Gak ngasih undangan. Punya anak juga gak bilang-bilang.”, Ucap Firda. “Terus, kok istrinya gak diajak kesini tadi?”

“Enggaklah Da… istriku di rumah. Di desanya. Ngapain diajak kesini.”

“Eh, emang dapet orang mana sih?”

“Kamu gak kenal pasti. Orang habis SMP kamu langsung pergi kok, gimana aku ngasih tahu. Nomor hp kamu gak aktif lagi.”

“Iya, udah mati nomor hpku yang dulu. Maaf deh…”, Firda tersenyum.

Lagi-lagi mereka terdiam.

“Aku… Aku menikah gara-gara MBA, da.”, ujar Edi.

Firda benar-benar terkejut mendengar pengakuan sahabatnya ini. “Kok bisa?!”

“Bisa lah, Da. Namanya juga manusia. Cewekku datang ke rumah. Ia minta aku menikahinya. Ibuku yang mendengar langsung shock, Da.”, jelas Edi.

“Ya iyalah… Kalau aku waktu itu disitu juga pasti aku udah nonjokin kamu. Kok bisa-bisanya aku punya sahabat kayak kamu.”

Edi tersenyum manis. “Sok berani nonjok… orang lomba lari sama aku aja kalah gitu kok.”, ejek Edi.

Firda jadi teringat kejadian kemaren ketika ia mengejarnya. “Emm… mau nanya sesuatu. Tapi gak boleh marah ya?!”, Ucap Firda berhati-hati.

“Aku seorang pencuri, Da.”, Ucap Edi yang telah paham arah pembicaraan Hayun dan apa yang hendak ia tanyakan.

Untuk kesekian kalinya Firda dibuat terkejut oleh pernyataan dan pengakuan sahabatnya ini.

“Aku bukan orang baik, Da.”, lanjut Edi. “Aku tau sih ini salah. Aku tahu kalau yang kulakukan ini gak bener. Hmm… Udah nasibku kayaknya.”

“Jangan salahkan nasib. Salahkan dirimu.”, kata Firda. Edi hanya tersenyum mendengar ucapan Firda.

“Kamu gak berubah ya, Da. Tetep aja sama kayak dulu. Tetep bawel.”, balas Edi.

“Bawel… Kamu tuh yang bandel.”, Firda gak mau kalah.

“kalo gak gitu bukan Edi dong da namanya.”

Mereka sama-sama tersenyum.

“Eh, kemaren ngapain kamu ngejar-ngejar aku?”, Edi kembali membuka percakapan. “Udah pake rok, pake sepatu pentopel. Lumayan tinggi lagi haknya. Eh, pake jilbab lagi. Lari-lari. Untung aja kemaren gak jatuh. Mau sok jadi pahlawan ya?!”, lanjut Edi.

Firda hanya tertawa. “Reflek aja pengen nangkep pencurinya.”.

“Besok lagi gak usah sok jadi jagoan. Untung aja kemaren aku yang kamu kejar. Coba kalo orang lain. Habis kamu, Da.”, ucap Edi.

“Habis… emang apaan…?!”

“Eh, ente udah menikah belom sih, Da?”, Tanya Edi mengalihkan pembicaraan.

“Belum”, Firda tersenyum.

“Gak usah nunggu lama-lama… Entar keburu tua.”, ucap Edi.

“Yes, Bos!”, Firda member hormat kepada Edi.

“Coba aku belom nikah, Da. Aku pasti melamarmu.”, ucap Edi.

Mereka berdua tertawa. “Bercanda-bercanda…”, lanjut Edi.

Lagi-lagi mereka kembali terdiam.

“Hmm… hidup. Ya, hidup memang seperti panggung sandiwara. Panggung sandiwara yang sementara. Ada berbagai peran dan karakter disana.”, ujar Firda dalam hati.

Minggu, 24 Oktober 2010

Studi Banding ke Yunani

Kemaren sempat baca koran haria Republika tentang kepergian 8 orang anggota DPR ke Yunani. Studi Banding, gtu ceritanya. Tadi pagi juga masih jadi berita di Republika. Dana yang dihabiskan 1,5 milyar.

Mungkin bagi mereka yang punya uang ratusan milyar sih... 1,5 milyar itu keciiil. Tapi bagi mereka yang gak punya uang... wah... banyak banget tuh 1,5 milyar. Termasuk bagiku juga tuh. Hehe...

Entah pertimbangan dan alasan apa yang menjadi argumentasi bagi anggota DPR tersebut hingga tetap ngotot liburan ke Yunani di kala kondisi ekonomi Indonesia hancur seperti sekarang ini. Eh, bukan liburan deng, studi banding katanya. Bahkan sudah diprotes pun tete aja ngotot berangkat ke Yunani. Katanya sih... informasi dari internet masih kurang. Padahal... menurut berita... Yunani kan... negeri yang lumayan kuat tuh. Kuat korupsinya maksudnya.... Meski dulu sempat menjadi pusat peradaban, namun kondisi pemerintahannya saat ini banyak dilanda korupsi. Btw, Anggota DPR yang ke Yunani mau belajar apa ya dari Yunani? Ya...h semoga bukan hanya sekedar jalan-jalan ngabisin uang rakyat.

Kalo biaya ke Yunani pake uang pribadi sendiri sih its ok. (Hah?!! pake uang snediri?!!!) Tapi ini pake uang rakyat. Lha, kalau rakyat selaku yang punya uang gak setuju, gimana coba?! Apa gak lebih baik kalau uang 1,5 milyar itu dipake untuk membangun sekolah di pelosok desa yang tergolong super miskin. Di pelosok Papua misalnya, atau dipake untuk membantu orang-orang miskin yang jauh lebih membutuhkan dari pada hanya sekedar studi banding ke Yunani.

Hmmm... kita lihat ajalah hasilnya nanti. Semoga hasil studi banding ke Yunani bisa memberikan kontribusi yang berarti bagi perbaikan ekonomi dan kondisi Indonesia. Termasuk memperbaiki mental-mental koruptor para pejabat.

Because of a Name

Karena sebuah nama ini
Karena pinjaman tahta ini
Karena sematan gelar ini
Mereka menghormat
Mereka menunduk
Mereka tersenyum
Mereka menyapa
Mereka mau mengenal
Mereka mau melihat
Mereka mau bermuka manis
Di mata ini.

Bagaimana jika nama ini sirna?
Jika tahta ini usai?
Jika gelar ini terambil?

Masih adakah hormat itu?
Masih terlukiskah senyum itu?
Masih terdengarkah sapaan itu?
Masihkah mereka mau melihat?
Masih tampakkah muka manis itu?
Atau...
Akankah semua lenyap bersama hilangnya gelar pinjaman ini?

Aku Berontak

Hati berontak
Menentang
Seakan ingin teriak
"Puas kau dengan semua ini?!!!"
"Mau buat aturan apa lagi?!!!"
Ingin menangis...
Sebel.
Hiks...
Haaa!!!!!!!!!
"Gitu amat sih!"
"Enggak banget deh!"
Seakan ingin muntahkan semua makian dan umpatan.
Apakah manusia harus terus seperti ini?!!!
Hiks...
"Nyebelin banget sih!"

Atthoyyibaatu li atthoyyibiin (dibaca: Atthoyyibaatu litthoyyibiin)

Hayun

“Assalamu’alaikum warohmatullah, Assalamu’alikum warohmatullah.”. Jam dinding menunjuk ke angka tiga tepat. Haris mengakhiri tahajjudnya diikuti Hayun, istrinya yang memakmum di belakangnya.

Tahajjud merupakan rutinitas dini hari yang selalu mengawali aktifitas mereka. Di keheningan malam mereka bersujud bersama-sama menghadap-Nya. Kebiasaan yang tercipta sejak awal mereka berumah tangga dan menjalin komitmen. Kebiasaan yang sebenarnya telah biasa mereka jalani jauh hari sebelum mereka bertemu dan tinggal serumah.
Selesai sholat, biasanya mereka berdua tidak akan melewatkan waktu untuk berdo’a, meskipun hanya lima menit. Begitu juga dini hari ini. Haris memimpin do’a diamini oleh Hayun dalam hati. Selesai berdoa, Hayun mencium tangan Haris, suaminya, yang dibalas dengan kecupan Haris di kening Hayun disertai do’a keberkahan dalam hati Haris.

“Mas, request surat Al-Baqoroh.”, Pinta Hayun kepada suaminya selesai sholat.
Mungkin Hayun merupakan salah seorang wanita yang paling beruntung di dunia ini karena dianugerahi Allah suami yang sholeh, juga hafidz Qur’an. Hayun sendiri baru mengetahui kalau suaminya ternyata benar-benar hafal 30 juz setelah hampir seminggu tinggal serumah dengan suaminya.

“Request…, emang penyiar radio….!”, protes Haris.

“Siapa yang bilang penyiar radio?!”, balas Hayun. “Orang aku langsung request dari kasetnya kok.”, lanjutnya.

“Buat tuan putri apa sih yang enggak…..”.

“Trimakasih Pangeran.”, jawab Hayun menyandarkan kepalanya di bahu Haris.

“Pintar menggombal ya sekarang…”, Haris tersenyum.

“Kan belajar dari pangeran…”, canda Hayun.

Haris pun mulai menghafal surat Al-Baqoroh dari ayat pertama dengan nada dan suaranya yang merdu. Dan Hayun mendengarkannya sambil mencoba menirukan dalam hati. Hayun sendiri juga pernah menghafal beberapa ayat surat Al-Baqoroh.

Di tengah Hayun menikmati indah alunan ayat Qur’an yang dibaca Haris, entah kenapa Hayun kembali teringat moment pertama kali ia bertemu dengan Haris, suaminya. Ya, sekitar tujuh tahun yang lalu. “Ah, kok gak kucatat ya tanggal berapa waktu itu!”, sesal Hayun dalam hati. Kala itu Hayun masih menempuh kuliahnya. Ia masih duduk di bangku semester 7 di sebuah perguruan tinggi swasta di Surabaya, Jawa Timur. Hayun sendiri berasal dari Lamongan. Dan karena jarak yang cukup jauh antara rumah dan tempat kuliahnya, Hayun menetap di kost yang tak jauh dari kampusnya.

Proses pernikahannya dengan Haris berlangsung dengan singkat tanpa proses perkenalan dan pertemanan yang memakan waktu lama. Berbeda sekali dengan orang-orang zaman sekarang. Jika orang-orang biasanya melewati masa-masa yang disebut dengan masa pacaran sebelum memasuki jenjang pernikahan, Hayun sama sekali tidak pernah mengalaminya. Jangankan pacaran, bicara hanya berduaan dengan yang bukan muhrim saja Hayun tidak pernah. Jika terpaksa harus berkomunikasi dengan yang bukan muhrim, ia akan memilih tempat dan suasana yang ramai. Banyak teman-teman kuliahnya yang menganggapnya terlalu ekstrim dan sok alim. Namun, Hayun sama sekali tidak mempedulikan hal itu. Ia tetap teguh memegang prinsipnya. Yang jelas semua itu ia lakukan bukan untuk mendapat pujian dari manusia. Ia hanya berusaha menjadi seorang hamba yang taat pada peraturan yang telah ditetapkan Sang Khalik.

Pernah ia bersikap kontra dan menentang kebiasaan teman kostnya, Santi yang bergaul akrab dengan teman prianya, atau bisa dibilang berpacaran. “Selama tidak melanggar norma, menurutku itu fine aja. Toh tujuan kita biar saling mengenal. Biar saling mengetahui lebih dekat sebelum nanti menyesal ketika telah menjadi pasangan hidup. Kalau kita tidak berusaha untuk mengenal, bagaimana kita bisa mendapatkan pasangan hidup? Kamu mau jadi perawan tua?”, Santi berargumen.

“Tapi bukan begitu cara untuk mengenal. Semua ada aturannya. Siapa yang menjamin dengan pacaran kita akan lebih mengetahui seseorang? Malah banyak bohongnya. Banyak sisi negatifnya.”, Hayun tak mau kalah.

“Terserah! Kamu, kamu. Aku, aku. Kita semua punya hak untuk menentukan pilihan dan prinsip kita masing-masing.”, Ucap santi.




Tujuh Tahun Silam.

Sekitar tujuh tahun yang lalu, ketika Hayun pulang ke rumah dalam rangka liburan akhir semester. Hayun merasa ada yang berbeda dengan orang-orang rumah dalam liburan kala itu. Ibunya menyinggung-nyinggung tentang pernikahan. Padahal ibunya sama sekali tidak pernah membicarakan hal semacam itu sebelumnya. Begitu juga dengan kakaknya. “Sudah ada calon belum, Dek?”, Tanya kakaknya. “Calon apa? Masih semester tujuh. Belum ada pikiran ke situ”, balas Hayun.

“Kalau ada laki-laki yang sholeh, meskipun tingkat pendidikannya rendah, ga sampai kuliah di perguruan tinggi, lalu ia berniat memperistri perempuan yang tingkat pendidikannya secara akademis lebih tinggi darinya, menurut kamu gimana?”, Tanya ibu Hayun.

“Ngapain ibu menanyakan hal kayak gitu? Gak biasanya…”, Tanya Hayun dalam hati. “Jangan-jangan…”, lanjutnya masih dalam hati.
“Ya terserah merekalah.”, jawab Hayun. Kali ini tidak dalam hati.
“Boleh ga menurut kamu?”, Ibunya kembali bertanya.
“Boleh aja. Kenapa enggak?”, jawab Hayun ringan.

Pertemuan Pertama

“Kuliah dimana?”, Tanya seorang laki-laki yang tengah duduk di ruang tamu kepada Hayun. Laki-laki tersebut adalah teman kakak Hayun yang tengah bertamu ke rumahnya. Entah anak mana. Hayun baru kali ini melihatnya.

“Di Surabaya.”, jawab Hayun singkat.

“Semester berapa sekarang?”, laki-laki tersebut kembali bertanya.

“Semester tujuh.”, jawab Hayun.

“Bentar lagi lulus dong.” Ujar laki-laki tersebut.

“Insya Allah setahun lagi.”, Hayun kembali menjawab.

Ya, itulah pembicaraan singkat antara Hayun dan Haris ketika pertama kali Hayun bertemu dengan Haris. Hayun sendiri kala itu tidak mengetahui siapa nama laki-laki tersebut.
Hayun baru mengetahui lebih lanjut setelah diberi tahu oleh ibunya, tepat ketika laki-laki tersebut telah berpamitan pulang. “Laki-laki tadi itu…. Teman kakakmu. Dia berniat melamarmu. “, Glek. Dalam hati ia begitu terkejut mendengar ucapan ibunya. “Tapi Ibu sudah bilang ke dia kalau kamu masih harus menempuh belajarmu setahun lagi.”, lanjut ibunya. Nampaknya Ibu Hayun dapat memahami apa yang dipikirkan Hayun. “Dia teman dekat kakakmu. Katanya sih…. dia sholeh.”, kembali ibu Hayun berucap.

Semenjak pertemuan itu, Hayun tidak pernah lagi melihat laki-laki tersebut. Ia juga tidak bertanya kepada ibu maupun kakaknya siapa nama dan identitas laki-laki yang katanya hendak mempersuntingnya tersebut. Hayun kembali menjalani aktivitas hariannya di Surabaya. “Belajar, dan terus belajar”, hanya itu yang ada di pikirannya. “Kalaulah jodoh tak akan kemana.”, demikian prinsip Hayun.

Hampir satu tahun Hayun tidak pernah lagi melihat laki-laki tersebut. Sama sekali tidak ada komunikasi antara mereka. Sempat terbersit di benak Hayun, mungkin laki-laki yang dulu ingin melamarnya sudah tidak lagi berniat ingin melamarnya. Mungkin terlalu lama baginya untuk menunggu Hayun selesai belajar di bangku kuliah. Atau mungkin juga ia beralih pikiran setelah melihat penampilan Hayun secara langsung.

Ya, dari sisi fisik, Hayun memang tidak secantik Tamara Blezinski ataupun Luna Maya. Apalagi ia juga bukan tipe wanita yang suka berhias. Ketika teman-teman kampusnya heboh dengan berbagai fashion dan model busana terbaru, Hayun sama sekali tidak tertarik sedikitpun. Ia lebih suka memakai busananya yang kedodoran, dan jilbab lebarnya. Pernah ada mahasiswa yang mengatakan kepadanya bahwa ia terlalu kolot, kampungan, dan konservatif. Namun hal itu sama sekali tidak menggoyahkan ideologinya sedikitpun. Ia tetap teguh dengan pakaian syar’i dan jilbab lebarnya.

Selesai Kuliah

Setahun berlalu. Hayun telah menyelesikan kuliahnya dan berhasil mendapatkan gelar sarjana. “Alhamdulillah, akhirnya semua selesai. Namun… hakekatnya ini adalah awal perjuangan. Hendak kemana jejak ini kan melangkah?”, Ujar Hayun dalam hati.

Dan semua sungguh di luar dugaannya, laki-laki yang dulu berniat melamarnya, ternyata datang kembali membawa proposal nikah dan mengutarakan niatnya secara langsung kepada Hayun. Ya, seindah apapun rencana manusia, jauh lebih indah rencana Allah. Namun, bukan berarti manusia berpasrah diri tanpa adanya usaha. Tawakkal haruslah disertai ikhtiar. Ikhtiar yang diridhoi oleh Allah SWT tentunya. “Memang benar, kalaulah jodoh tak akan kemana.”, ujar Hayun dalam hati. “Ya Allah, berikan yang terbaik buat hamba.”, pinta Hayun dalam tiap istikhorohnya.

Dari proposal tersebut, Hayun mengetahui identitas laki-laki tersebut. “Muhammad Haris, anak kedua, Bojonegoro, umur 28 tahun. Selisih lima tahun dengan Hayun yang kini memasuki usianya yang ke-23. Lulusan SMK. Pekerjaan tetap: montir.”, Hayun membaca dalam hati. Ia juga baru tahu, ternyata laki-laki tersebut juga pernah belajar di sebuah pondok pesantren.

Jika dilihat dari status pendidikan akademik, Hayun memang lebih tinggi dari Haris. Namun tingkat pendidikan akademik yang tinggi belum tentu menjamin bahwa seseorang akan memiliki ilmu dan pengetahuan serta adab yang tinggi pula. Tingkat pendidikan akademik yang tinggi tidak menjamin kesholehan seseorang.

Islam juga mengajarkan bahwa belajar tidak terbatas pada usia dan tempat. Belajar tidak harus melalui bangku kuliah yang formal. Islam mengajarkan manusia untuk belajar dari buaian hingga akhir hayat. Memang, belajar secara formal di bangku sekolah maupun perguruan tinggi lebih memberikan banyak kesempatan untuk belajar. Namun, bukan berarti kita lantas menilai seseorang hanya dari status akademiknya. Hayun banyak belajar dari sejarah hidup yang ia lalui.

Akad nikah antara Hayun dan Haris dilaksanakan seminggu setelah Haris mengajukan proposal. Semua berlangsung cepat. Setelah adanya persetujuan dari berbagai pihak, termasuk dari Hayun sendiri, tanggal akad nikah segera ditetapkan. Selama seminggu itupun Haris tidak banyak berkomunikasi dengan Hayun.

Hayun sadar, pernikahan bukan hanya sekedar menyatukan dua manusia. Pernikahan bukan hanya sekedar mencintai sosok manusia. Pernikahan bukan hanya sekedar membangun rumah dan keluarga. Dalam pernikahan, permasalahannya bukan hanya sekedar memikirkan bagaimana hidup, makan, punya penghasilan, lalu memiliki anak. Pernikahan hakikatnya lebih dari itu. Idealisme membangun sebuah keluarga harus lebih dari itu. Bagaimana mendidik keluarga untuk menuju Dia. Keluarga yang bisa membentangkan sajadah yang lebih panjang untuk beribadah kepada-Nya.

Hari pertama Hayun tinggal bersama Haris, ia sempat terkejut ketika bangun tidur mendapati seorang pria di sampingya. Namun ia segera sadar bahwa ia telah menikah, dan sosok yang berada di sampingnya adalah suaminya. Hayun jadi teringat pernah membaca novel yang isinya juga menceritakan seorang wanita yang terkejut kala bangun tidur mendapati seorang pria di sampingya, yang ternyata adalah suaminya. Dan kali ini Hayun mengalami hal yang sama dalam realita seperti apa yang pernah ia baca dalam novel.

Tujuh tahun berlalu begitu cepat. Kini ia telah memiliki dua buah hati yang sangat dicintainya; Rosyid Arroyyan, yang kini berusia lima tahun, dan Rosyidatul Azizah yang baru memasuki usia 3 tahun. Buah hati yang kelak akan meneruskan perjuangan dan dakwah sebagai hamba Allah di bumi.

“Bu…k!”, panggil Haris.

“Hem, apa mas?”, Hayun terkejut.

“Hmmm…kebiasaan…sukanya melamun…”

Hayun hanya tersenyum malu. “Ups, ketahuan nih!”, gumamnya dalam hati.

“Tuan putri harus tanggungjawab nih!”, ucap Haris. Hayun masih bingung, tanggungjawab apa yang dimaksud suaminya. Namun ia segera sadar setelah melihat suaminya memegangi bahunya.

“Aduh, kesemutan nih...”, Haris meringis diiringi oleh tawa Hayun. “Wah, tertawa di atas penderitaan orang lain nih!”, lanjut Haris.

Kamis, 21 Oktober 2010

Ya Rabb... ampuni hamba yang kurang bersyukur......

Aku Dalam Rasa

Dalam asa aku bicara
Dalam rasa aku berada
Namun....
Aku terpaku dalam tatap
Dan melintas sekejap
Tanpa suara
Seakan angin pun berhenti berhembus
Dunia mematung

Mengapa ungkapan itu sulit terucap
Jika ada orang yang paling pengecut di dunia ini....
Mungkin itu adalah aku.

Minggu, 17 Oktober 2010

200 Rupiah



Ceritanya waktu itu aku sedang belanja di pasar desa. Kusaksikan dan kudengar seorang nenek penjual nasi menawar harga sayur bayam yang ditawarkan oleh ibu-ibu tua sang penjual sayur bayam. tawaran dari 700 rupiah menjadi 500 rupiah. Tawaran yang memakan waktu cukup lama dengan berbagai argumen dari masing-masing pihak untuk sebuah uang 200 rupiah. Begitu berharga uang 200 rupiah buat mereka. 200 rupiah pasti sama sekali tak berharga di mata mereka yang bermobil mewah atau di mata para pejabat. Sebuah kesenjangan sosial yang begitu jauh.

Di Terminal Ngawi



Waktu itu... aku sedang duduk dalam bis. Sumber Kencono yang kunaiki berhenti cukup lama di terminal Ngawi. Aku duduk dekat jendela, jadi aku bisa menyaksikan pemandangan di luar jendela. Ya, ada pengamen, penjual asongan, kondektur-kondektur bis yang sedang kongkow melepas lelah sambil makan nasi bungkus. Sempat kulihat ada orang gila sedang duduk-duduk santai (kasihan... naudzubillah). O iya, ada anak kecil minta air untuk cuci tangan. Lalu seorang bapak-bapak yang sedang duduk menunggui makanan dan minuman yang dijual menuangkan sedikit air dari botol plastik. Seperti itu kehidupan di terminal. Ada juga nampak seorang ibu yang tergolong muda, bersama seorang anak kecil, dan seorang bapak. Sepertinya sih satu keluarga. Mereka nampak asik makan makanan yang terbungkus daun pisang.

Ya, macam-macam cara orang mengais rizki. Dalam berbagai peran.

Oiya, flashback. Cerita sebelum aku menaiki bis Sumber Kencono menuju Ngawi. Ceritanya bis yang kunaiki gak masuk terminal. Kupikir bis akan berhenti di perempatan yang pernah kulalui (ku pernah berhenti di perempatan itu karena bis gak masuk terminal). Ternyata bis berhenti di jalan yang asing bagiku. Kondektur bis menyuruhku turun di jalan tersebut. Okelah. Aku turun dari bis. Di pinggir jalan aku sempat bingung juga. Jalan ke arah mana yang akan kuambil? Kulihat seorang ibu-ibu muda duduk di pinggir jalan. Tampaknya sih sedang menunggu bis lewat juga. "Maaf bu, mau tanya, kalau mau ke Jogya naik bis ke arah mana ya bu?", tanyaku. Ternyata si ibu yang kutanya juga gak tahu. "Waduh, ke arah mana ni?", tanyaku dalam hati. "dah kayak orang ilang aja nih.", Ujarku masih dalam hati. "Tenang Luk... kalo nyasar juga paling-paling masih di sekitar daerah sini...", hiburku. akhirnya kuputuskan untuk menyeberang jalan. Kuambil arah yang berbeda. Sempat berdiri beberapa menit. Mematung di pinggir jalan seorang diri dengan keraguan dan sedikit rasa takut juga sih sebenernya. "Kok gak ada bus yang lewat ya?". Tapi Alhamdulillah, beberapa menit setelah itu aku melihat Sumber Kencono dari jauh. Yups, Yogya. aku membaca sekilas tulisan yang terpampang di kaca depan bis. Segera aku meloncat memasuki pintu belakang bis. Alhamdulillah, ada tempat duduk yang masih kosong juga. Yups, Alhamdulillah, Allah memberiku keselamatan dalam perjalananku.

Inget .......

Barusan baca buku karya Afifah Afra "How to be Smart Writer". Hmmm... kok jadi inget Bapak ya. Inget aku pernah menulis tulisan yang isinya aku bener-bener marah sama Bapak. Kenapa ya sebabnya kok aku segitu marahnya? Lupa. Kekanak-kanakan banget.... Tapi habis itu aku langsung nulis besar-besar di atas tulisan itu. "I LOVE YOU FATHER". ciee...

Kamis, 14 Oktober 2010

It's About Me






Luluk Faidah, lahir di sebuah desa di kabupaten Lamongan, 18 Oktober 1986 (Wah, dah tua nih!). Mulai menulis sejak... kapan ya? Sejak MI. Waktu dapat tugas membuat puisi dari guru Bahasa Indonesia. Hehehe... Waktu ituuu judul puisiku "Kereta Api", penggambaran sebuah kereta api yang cerobong asapnya mirip cerutu kakekku. heheee bohong... Orang kakekku gak kenal paan tu cerutu. Adanya juga rokok dari tembakau yang dibuat sendiri dengan kobot alias kulit jagung.

Aku paling suka dengerin musik, berhayal, baca buku (hanya buku yang menarik menurutku), dan main catur, meskipun selalu kalah kalo lawan si Didik. Hehee... Tapi setelah di pondok jadi gak pernah main catur lagi. Belakangan ini malah sering maen badminton. Meski selalu kalah juga kalo lawan dedek Padm. Ets, tapi masih tetep hobi catur lho.. "HIDUP CATUR!!!" Hehee...

Yang jelas, menulis bukan hobi utamaku. Kalo lagi ada ide, ya nulis. Kalo enggak... ya enggak. Banyakan gak ada idenya kalahan. So, iseng aja nulis.

Satu lagi! Ku paling suka duduk-duduk depan kamar, pagi... siang... sore... suer! pemandangan langit plus awannya bagus banget! Kapanpun itu. cuaca lagi panas, pagi, senja kemerahan, hujan, mendung... nentremin hati banget deh! Luas. Bikin dada lapang. Asli! Ni ga boongan. So, kalau lagi kayak gituuu cuman bisa ngomong... Subhanallah... Subhanallah...!

Tulislah!

Puisi adalah jiwa. Luapan perasaan. Dalam puisi ada cinta, nostalgia, ideologi, dan rasa syukur.

Tulislah apa yang ada di pikiranmu. Luapkan dalam coretan-coretan indahmu. Dan sepuluh tahun lagi mungkin kau akan tertawa atau bahkan mungkin coretan itu akan menjadi sebuah memori yang mahal. menjadi sebuah cerita tersendiri yang bisa dikenang. Yups, selagi kita masih bisa menulis, kenapa kita tidak meluapkannya dalam coretan-coretan? Meskipun coretan itu hanya bisa kita nikmati sendiri (hehe... menghibur diri ni?.

Pernah frustasi gara-gara karyamu gak pernah diterima? Nasiiib... nasiiib. Kalo iya, berarti kamu senasib dong ma aku. Asiiik ada temen senasib nih! Ceritanya aku lagi frustasi nih lianna (kan biasanya pake coz, sekarang ganti lianna ja biar lebih..... apa ya? lebih bernuansa kearaban gitu deh! Biar ga English mulu!) puisiku ga diterima di majalah yang pernah kukirim, akhirnya bikin blog sendiri ja deeeh. Yaah, nikmati sendirilah.

Hafid

Hafid duduk seorang diri bersandar di kursi bus yang dinaikinya. Jarum jam di tangannya menunjjuk ke angka dua belas. Sengaja ia memilih duduk di kursi deretan tengah yang masih kosong agar ia bisa menatap pemandangan di luar bus. Ia letakkan tas ransel miliknya di bawah kakinya. Sebuah keputusan besar sedang ia lalui saat ini. Kalau hanya meninggalkan keluarga dan orang-orang yang dicintainya, itu sudah biasa. Namun kali ini ia harus berjuang di sebuah desa pedalaman yang konon tingkat pendidikan penduduknya masih tertinggal jauh. Grobogan, kecamatan Klaka, Kabpaten Lumajang, desa itulah yang hendak ia tuju saat ini.

“Benar kamu sudah bertekad mau mengajar di tempat itu?”, Tanya Bapaknya meyakinkannya tadi malam. Bapak Hafid tau benar kalau anak bungsunya ini sejak dulu memiliki cita-cita untuk belajar ke Madinah.

“Ya Pak. Do’akan agar Hafid kuat.”, jawab Hafid singkat.

“Pasti Bapak selalu mendo’akan kamu. Terus bagaimana dengan rencana kamu bejalar ke Madinah?”,

“Hidup memang penuh dengan pilihan, Pak.”, Hafid menarik nafas dalam.

Masih teringat di benak Hafid tentang pengumuman dari bapak kepala Yayasan tempat ia mengajar bahwa ada sebuah sekolah yang terletak jauh di pelosok desa terpencil yang membutuhkan tenaga pengajar. Namun ternyata pengumuman itu tak mendapat respon yang berarti dari semua guru-guru. Ya, tak ada satu pun guru di yayasan tempat Hafid mengajar yang bersedia mengajar di desa terpencil tersebut. Aneh, ketika ada tawaran beasiswa belajar S2 ke madinah atau ke universitas-universitas besar di kota, hampir semua guru beradu cepat mendaftar. Begitu juga ketika ada tawaran mengajar di universitas besar, semua berbondong-bondong mendaftar. Tapi mengapa ketika ada pengumuman tawaran untuk berjuang di desa yang kecil, tak ada satu pun yang mendaftar? Seakan semua tak mau peduli.

Seminggu yang lalu, dalam sebuah rapat mingguan yayasan tempat Hafid mengajar, kembali bapak kepala yayasan menawarkan kepada seluruh guru tentang tawaran mengajar di desa terpencil tersebut. Melihat tak seorang pun mengangkat tangan bersedia mengajar di desa tersebut, Hafid mengangkat tangannya sebagai tanda ia bersedia berjuang di desa tersebut. Dan guru-guru yang hadir dalam rapat tersebut hanya mampu terdiam menatap Hafid. Ya, Hafid di usianya yang masih tergolong muda dibanding guru-guru yang lain ternyata jauh memiliki semangat juang dan pengorbanan yang tinggi dibanding lainnya. Hafid sudah bertekad meninggalkan beasiswa yang telah ia dapat untuk belajar di Madinah dan lebih memilih untuk berjuang di sebuah desa terpencil, Grobokan.

“Persiapan Klaka…”, Hafid tersadar dari lamunannya mendengar teriakan kondektur bus.
Ia segera berdiri melangkah di dekat pintu bus bersiap-siap turun.

“Bok Panjang Pak.”, Ujarnya kepada kondektur Bus.

Bus berhenti di pinggir Bok Panjang untuk menurunkan Hafid. Ia melangkah menuruni tangga menuju desa Grobokan yang terletak di daerah dengan daratan yang lebih rendah dari jalan raya yang baru saja ia lewati. Grobokan, sebuah desa kecil di kecamatan Klaka, kabupaten Lumajang. Sebuah desa terpencil dengan mata pencaharian mayoritas penduduknya bertani dan berkebun. Desa kecil yang cukup sulit ditemukan sumber air. Ya, mayoritas penduduknya mandi dan mengambil air dari aliran sungai. Khusus untuk minum, mereka membeli air dengan harga tiga ratus rupiah satu dirigen. Ya, sebuah perjuangan sedang dimulai oleh Hafid di sebuah desa dengan nama Grobokan.

“Ya Rabb, berikanlah kekuatan kepada hamba.”, doanya dalam hati.

Sedih, Kecewa, n Sebel?

Pernah gak sih kamu merasa kecewa? Ternyata apa yang selama ini kamu harapkan dan kamu impikan jauh dari kenyataan yang ada. Udah ngebayangin yang enak… eh… ternyata kenyataan yang terjadi jauh dari apa yang kamu bayangkan. Hemmm jadi bikin sedih, kecewa, sebel, atau bisa jadi bikin marah. Kalo kamu pernah merasa hal seperti itu… mungkin sama seperti apa yang kurasakan sekarang ini. Sedih… kecewa… sebel…
Ets, tapi jangan terus larut dalam perasaan sedih n the geng. Ni ku juga sedang berusaha merubah perasaan itu menjadi perasaan lapang dada dan ikhlas. Yups, mungkin apa yang sudah ditetapkan itulah yang terbaik.

وعسى أن تحب شيئا وهو شر لكم وعسى عن تكره شيئا وهو خير لكم

Yups, mengena banget ayat ini. Bisa jadi kita memang tidak tahu hikmah di balik semuanya. Terima semua dengan lapang dada, ikhlas and just believe that is the best for us. Seindah apapun rencana manusia, jau lebih indah rencana Allah buat kita. So, keep smiling guys…….!! *v*

My Brother yang Satu ini.....

Sore ini…. Kok aku jadi inget my Brother ya? Kakakku yang berani. Yups, manusia tidak akan tahu esok apa yang terjadi, dan bagaimana nasib seseorang. Aku benar-benar tidak menyangka kalau kakakku yang satu ini masuk pondok Salaf di usianya yang sudah berkepala tiga. Dari SMK masuk jadi TNI (ada relasi sih… …) eh, ujung-ujungnya masuk pondok Salaf. “Kalau Hizbullah saya mau Pak. Tapi ini TNI…. Bukan Hizbullah.”, ujarnya ke Bapak. Hanya satu yang belum berubah. Motor Harley bututnya tetap butut. Eh, tambah butut malahan. Entah apa lagi yang akan dibongkari selanjutnya. Tapi… dalam hati ku salut sama dia. Tahajjudnya…. Dhuhanya…. Hafalannya….. ckckckkkk Subhanallah…… Ia sama sekali tidak merasa malu atau gengsi dengan gamis dan celana cingkrangnya plus sandal jepitnya. Kakakku yang sekarang benar-benar berubah. Jenggotnya jadi bikin dia kelihatan lebih kucel dan lebih tua dari usianya. “Sunnah Rasul.”, katanya. Yups, my brother yang satu ini semangat belajarnya memang luar biasa. Tapi hanya untuk ilmu agama. Kayaknya dia kurang tertarik dengan ilmu-ilmu umum. Oiya, lupa. Kemaren dia minta buku Durushul Lughoh al-Arobiyah yang dipelajari di Gontor. Kata gurunya metode pengajaran di buku Durushul Lughoh al-Arobiyah karya Gontor beda. “Bagus.”, katanya….

O iya, berita terakhir kemaren kudengar nama anaknya yang kedua dirubah dari “Yogi…..” jadi “Hasan Basri….”, hehee…. Mungkin nama Yogi gak Islami.

“Lha, Nak kalau kamu sakit terus gak bisa kerja… terus gimana istrimu?”, Tanya Bapak ke dia.

“Kok Bapak nanya gitu. Itu berarti Bapak gak yakin kepada Allah. Bapak masih meragukan Allah. Bapak masih ragu kalau Allah Maha Kaya. Allah Maha Pemberi rizki.”, jawab my brother. Hehee…….

Sadarkah Kita?

Sadarkah kita
Bahwa kita bukanlah apa-apa
Kita bukanlah siapa-siapa
Kita lemah di hadapan-Nya
Kita hina

Kita selalu menatap ke atas untuk kebendaan
Untuk apa yang tampak di mata
Untuk keduniaan
Untuk kefanaan
Bahkan kadang kita meremehkan yang lain
Seakan mereka lebih rendah di mata kita
Padahal bisa jadi kitalah yang lebih rendah di mata-Nya

Bukan kebendaan yang membuat kita berharga
Bukan apa yang tampak di mata yang membuat kita mulia
Semua itu bukan ukuran
Lantas untuk apa kita menatap ke atas?
Hanya untuk kepuasan duniakah?
Atau… agar mendapat pujian mereka?

Rabu, 13 Oktober 2010

Musik




Hmm... sore yang indah. Lagu Maher Zain mengalun merdu terekam di telingaku. Asli enak banget lagunya. Musiknya bagus. Liriknya juga bagus. Ku paling suka yang judulnya Insya Allah.

Jujur, sampai saat ini ku masih suka dengerin musik. Musik-musik pop yang slow atau nasyid-nasyid yang sendu. Ups, tapi... kadang juga suka dengerin lagunya Linkin Park (hanya beberapa lagu tertentu). Musiknya keras tapi enak didenger. Apalagi kalau lagi stress ato bt. Dengerin aja lagunya Linkin park. Tapi pake earphone..... biar gak ganggu yang laen. Habis itu... hilang deh stressnya. (wah-wah... kok gtu cara ngilangin stressnya..!!!!). Jadi inget waktu masih Mts dulu pas dengerin lagunya Linkin Park pertama kali. Hehee.... "Kalo gak niat nyanyi gak usah nyanyi.....", koment mbakku. Keras banget sih lagunya. Tapi... kok aku seneng ya denger musiknya? Ets, klo kakakku tau aku paling hobi dengerin musik gimana ya? Dia kan paling anti sama musik. MUSIK=HARAM. Gitu deh..... meskipun nasyid atau semacam sholawat. Anak salaf sih. Semoga suatu saat nanti aku bisa kayak kakakku. leave music!

Selasa, 12 Oktober 2010

Bismillah

Semoga setelah membaca dan merenungi ayat-ayat berikut kita semakin bijak dan bersemangat dalam menjalani setiap episode kehidupan yang dipersembahkanNya dengan penuh cinta..

1. Kenapa aku diuji?
"Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta."
QS Al-Ankabuut:2-3

2. Kenapa aku tidak mendapat apa yang aku inginkan?
"..Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui."
QS Al-Baqoroh:216

3. Kenapa ujian ini begitu berat?
"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya..."
QS Al-Baqoroh:286

4. Rasa Frustasi..
"Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman."
QS Ali Imran:139

5. Bagaimana aku harus menghadapinya?
"Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu..."
QS Al-Baqoroh:45

6. Kepada siapa aku berharap?
..Maka katakanlah: "Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki 'Arsy yang agung."
QS At-Taubah:129

7. Aku tak dapat bertahan lagi!
"Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir."
QS Yusuf:87

8. Maka yakinlah!
"Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar."

Subhanalloh..
Mari kita berbenah dan terus berbenah, untuk mempersiapkan yang terbaik dalam hidup yang singkat ini..

Dengan torehan kemuliaan dan semangat pantang menyerah..
Dimanapun, kapanpun, dan dengan siapapun, selama Allah menjadi “JUST THE ONE GOAL”..
Insya Allah kita akan merasakan kebahagiaan yang tak terganti.

dijiplak dari http://sensenae.blogspot.com/?zx=7f3b6dc790d12b2c

Selasa, 12 Oktober 2010

Hmm.... Dah berapa hari ya ku gak nulis something. Bener-bener gak ada inspirasi. Gak baca buku juga sih.

Rabu, 06 Oktober 2010

Mengapa Aku Dalam Peran Ini?

Aku disini berperan sebagai aku
Dalam pewayangan dunia
Mengapa aku disini?
Mengapa aku dalam peran ini?
Ah, mungkin agar aku tahu bagaimana rasanya menjadimereka dalam posisi mereka yang serba kurang.
Mungkin.... agar aku tidak lupa siapa aku.
Mungkin... agar aku bukan termasuk mereka yang mengatakan "Kalau belum masuk rumah sakit belum parah itu."
Mungkin... agar aku selalu dekat dengan mereka.

Hidup Dalam Kematian

Seperti tanpa asa
Tanpa harapan
Mati dalam hampa
Hidup dalam kematian

Jasad tanpa nyawa
Tiada ruh
Hanya tatapan kosong
Tiada makna
Terdiam dalam bising
Bak patung tanpa jiwa

Selasa, 05 Oktober 2010

Insya Allah

by Maher Zain

Everytime you feel like you cannot go on
You feel so lost
That your so alone
All you is see is night
And darkness all around
You feel so helpless
You can`t see which way to go
Don`t despair and never loose hope
Cause Allah is always by your side

Insya Allah3x
Insya Allah you`ll find your way

Everytime you can make one more mistake
You feel you can`t repent
And that its way too late
Your`re so confused,wrong decisions you have made
Haunt your mind and your heart is full of shame


Don`t despair and never loose hope
Cause Allah is always by your side
Insya Allah3x
Insya Allah you`ll find your way
Insya Allah3x
Insya Allah you`ll find your way

Turn to Allah
He`s never far away
Put your trust in Him
Raise your hands and pray
OOO Ya Allah
Guide my steps don`t let me go astray
You`re the only one that showed me the way,
Showed me the way 2x
Insya Allah3x
Insya Allah we`ll find the way