AHLAN WA SAHLAN

Puisi adalah jiwa. Luapan perasaan. Dalam puisi ada cinta, nostalgia, ideologi, dan rasa syukur.


Tulislah apa yang ada di pikiranmu. Luapkan dalam coretan-coretan indahmu. Dan sepuluh tahun lagi mungkin kau akan tertawa atau bahkan mungkin coretan itu akan menjadi sebuah memori yang mahal. menjadi sebuah cerita tersendiri yang bisa dikenang. Yups, selagi kita masih bisa menulis, kenapa kita tidak meluapkannya dalam coretan-coretan? Meskipun coretan itu hanya bisa kita nikmati sendiri (hehe... menghibur diri ni?)

Pernah frustasi gara-gara karyamu gak pernah diterima? Nasiiib... nasiiib. Kalo iya, berarti kamu senasib dong ma aku. Asiiik ada temen senasib nih! Ceritanya aku lagi frustasi nih lianna (kan biasanya pake coz, sekarang ganti lianna ja biar lebih..... apa ya? lebih bernuansa kearaban gitu deh! Biar ga English mulu!) puisiku ga diterima di majalah yang pernah kukirim, akhirnya bikin blog sendiri ja deeeh. Yaah, nikmati sendirilah.

Rabu, 08 Agustus 2012

Kasta

Tanggal 5 Agustus, 2012 aku tahu bahwa realita di masyarakat adalah UNDZUR MAN QOOLA, WA LAA TANDZUR MAA QOOLA.

Man, Siapa


Man
Berpengaruh
Sangat
Man bisa merubah yang hitam jadi putih
Dahsyat
Man bisa membuat semua takluk
Juga bisa membuat bibir mencibir
Lihat! Semua mata memandang man

Pesan Ustadz Hasan di Masjid Pusaka


“Kamu bukan santri Gontor, jika suatu saat nanti kamu kaya, tapi ada orang di sekitarmu yang masih hidup miskin dan kekurangan.”, pesan ustadz Hasan.

Buka Puasa di Masjid Muhammadiyah Ponorogo



Satu pengalaman baru kudapat. Buka puasa di masjid Muhammadiyah Ponorogo. Ah, seperti musafir  aja.

            Sore itu aku bersama temanku pergi ke Ponorogo kota. Mau nyetak banner. Sengaja kami membawa bekal air putih dari sekolah biar nanti gak usah beli ta’jil di kota. Pengiritan gitu lho... Selesai pesan banner, kami mampir deh ke masjid. Alhamdulillah, dapat makan gratis cuy di masjid.  “Semoga suatu saat nanti kita menjadi salah satu orang yang memberikan makanan untuk buka puasa orag-orang di masjid seperti mereka”, doa kami. “Amin”.

Rabu, 04 Juli 2012

Hamba hamba-Mu



Ya Allah, hamba sadar
Hamba adalah hamba-Mu
Hamba adalah makhluk-Mu
Ya Allah
Hanya kepada-Mu hamba menghamba
Karena Hamba tahu hanya Engkaulah yang Maha Kuasa
Karena Hamba tahu hamba-hamba-Mu bukanlah apa-apa
Ya Allah
Hamba berlindung kepada-Mu dari menghamba kepada selain-Mu
Hamba berlindung kepada-Mu dari menghamba kepada makhluk-Mu


Tulus atau Topeng??



            
           Suatu hari seorang pria muda berumur sekitar 30 tahunan tengah duduk di dalam bus umum. Bus tersebut lumayan ramai. Semua tempat duduk terisi penuh. Namun, sopir dan kondektur bus tampaknya tak rela membiarkan jalan kecil antara deretan kursi dalam bus kosong. Beberapa penumpang beridiri karena tak mendapatkan tempat duduk. Hingga ada seorang nenek tua menaiki bus. Karena semua kursi penuh, terpaksa si nenek tersebut berdiri. Si nenek berdiri di dekat pria muda tersebut. Dan pria muda tersebut hanya melihat sekilas. Cuek. Entah apa yang dia pikirkan. 5 menit bus melaju, 10 menit hingga 30 menit. Tak seorangpun memberikan tempat duduknya untuk sang nenek.
            Bus berhenti kembali. Seorang penumpang menaiki bus. Kali ini yang naik bukan lagi nenek tua. Tapi seorang bapak umur 40 tahunan. Sang bapak mengenakan kemeja rapi dan jas necis. Ia melihat ke seluruh penumpang. Ah, dia menemukan seseorang yang sepertinya tak asing baginya.
            “Doni”, sapa sang bapak kepada seorang pria muda yang tengah duduk manis di atas kursi. O... nama pria muda tadi Doni.
            “Eh, Pak?”, Doni tampak terkejut melihat bapak tersebut. “Kenapa mobil Bapak, kok naik bus kota?”, tanya Doni
            “Ah, mobilku mogok di jalan. Terpaksa deh naik bus.”
            “Mari Pak, silahkan!”, Doni berdiri dari kursi yang sejak tadi didudukinya, mempersilahkan si bapak untuk duduk, yang ternyata si bapak tadi adalah bosnya di kantor tempat Doni bekerja.
            Dan lihatlah, seorang nenek tua menahan letih berdiri di dalam bus. Mengapa Doni tidak memberikan tempat duduknya kepada nenek tua itu sejak tadi? Bukankah nenek tersebut lebih berhak untuk dipersilahkan duduk dari pada bosnya?! Ah, dasar Doni! Gak tulus banget sih niatnya membantu. Kalaulah dia tulus membantu, pastinya dia sudah sejak tadi memberikan tempat duduknya kepada sang nenek. Mentang-mentang bosnya, dia rela berdiri dan memberikan kursi yang didudukinya. Hah!! Penjilat!! Topeng!! Palsu!! Bulshit!! Penipu!! Hatinya memuakkan!! Mental penjilat!! Gak tulus blass!! Penumpang bus lainnya juga sama!! Masa gak ada satupun yang rela membantu si nenek. Egois semua!!
            Semoga kita bukan termasuk orang-orang yang seperti Doni. Yang memberikan bantuan tanpa ketulusan. Yang memberikan bantuan karena menjilat. Yang memberikan bantuan karena mengharap balasan jasa dan segala tetek bengek lainnya.Yang memberikan bantuan karena keterpaksaan.
            Semoga kita termasuk orang-orang yang tulus. Sayang kepada siapapun tanpa pandang si kaya dan si miskin. Membantu karena Allah. Benar-benar diniatkan untuk Allah. Bukan karena makhluk. Juga bukan karena atasan maupun bos. Juga bukan karena golongan. Semua harus karena Allah. Juga tak perlu mengharap balasan dari orang yang kita bantu. Dan jangan marah kalau orang yang kita bantu tak membalas jasa kita, apalagi sampai membencinya. Positif thinking ajalah.

Puisi untuk dan tentang Ilalang


Ilalang...
Kemana perginya Ilalang?
Inikah Ilalang yang sebenarnya?
Ilalang...
Jangan terbawa perasaan
Ilalang...
Lihatlah bayangan dirimu!!
Ilalang...
Tundukkan mukamu!!
Ilalang...
Sudah siapkah dirimu untuk terluka?
Ilalang...
Sadar!!!
Bangun!!!
Ilalang... tidak salah bermimpi
Tapi ilalang tak boleh lupa dengan bayangan diri.

Selasa, 03 Juli 2012

Ahad, 1 Juli 2012




Ahad, 1 Juli 2012 pukul 8.15 aku berangkat kembali ke Ponorogo. Kepergianku kali ini juga berbeda. Ibuku tidak menangis. Padahal biasanya, setiap kali aku berangkat ke Pondok atau ke Ponorogo, pasti ibuku menangis. Meskipun aku sudah menghibur bahwa aku pergi bukan untuk bekerja mencari uang. Aku hendak mencari ilmu, mencari pengalaman. Aku hendak belajar. Ah, aku tahu kenapa ibuku kali ini tidak menangis. Karena beberapa hari sebelumnya aku menjelaskan kepada ibuku kalau Ramadhan ini aku akan pulang. Mungkin sekitar satu atau dua bulanan. Aku akan tinggal menemani Ma’ dan Bapak di rumah. Rencanaku ke depan, aku akan mengajar di sekolah atau pondok terdekat. Jadi aku bisa dengan mudah menjenguk Ma’ dan Bapak di rumah. Maklum, orangtuaku tinggal berdua di rumah. Sudah sepuh lagi. Beberapa bulan lalu, Ma’ sama Bapak sakit. Sakit pas barengan. Gak ada anak. Pengen ini pengen itu gak ada yang melayani. Ah, aku berdosa.
            Maafkan aku Bu’, Pak, hingga kini aku belum bisa memberikan sesuatu yang berarti. Aku belum bisa menjadi anak yang kau banggakan. Aku bahkan tak menemanimu kala engkau sakit.
            Perjalanan dari rumah ke Semlaran kutempuh dengan motor. Tepatnya aku diantar oleh tetanggaku. “Terimakasih Kak Bas.”, hanya ucapan itu yang bisa kuberikan. Andaikan kau tahu bagaimana jalannya. Wuihh... jalannya hancur oy. Rusak berat.
            Melihat jalan yang rusak seperti itu, aku jadi berpikir, “Berapa ya dulu anggaran untuk pembangunan jalan yang kulalui ini? Kenapa cepat rusak begini? Apa benar semua anggaran tersebut benar-benar digunakan untuk pembangunan jalan? Sudah benarkah laporan yang tertulis dengan pengeluaran yang sebenarnya? Atau pengeluaran yang dipakai memang sengaja diminimalisir dengan cara membuat pondasi jalan asal jadi dengan bahan-bahan yang kurang berkualitas dan harga murah agar sebagian uang bisa masuk kantong orang-orang tertentu?”. Aku bersuudzon.
            Hmm... jalan. Penting tau.
            Sampai di Semlaran, aku kebelet pipis. Padahal perjalanan dari rumah sampai ke Semlaran gak lama kok. Mungkin sekitar empat puluh lima menitlah. Aku berjalan melihat ke sekeliling. Mencari tulisan “TOILET UMUM”. Kok gak ketemu-ketemu juga. Aku pun berhenti tepat di depan sebuah toko. Tanpa berpikir panjang, aku mengucap salam cukup keras ke pemilik toko yang entah dimana berada. Ada segerombol pemuda membawa peralatan musik sedang kongkow di samping toko tersebut. Ada yang membawa gitar juga gendang kecil. Kurasa mereka pengamen. Mungkin mereka tidak menemukan pekerjaan lain yang lebih mulia selain mengamen. Atau belum diterima. Atau entah apalah alasan mereka yang membuat mereka mau mengamen. Bisa jadi hasil mengamen jauh lebih besar dari pada hasil kerja menjadi kuli.
            Tak ada seorangpun yang menjawab salamku. Kembali kuucap salam cukup keras. Yah, kali ini seorang ibu muda yang keluar. Pemilik toko sepertinya. Dengan PEDE aku minta izin mau ikut ke toilet. Eh, si ibu menunjukkan toilet umum. Letaknya di sebelah timur tokonya. Jalan dikitlah. Aku pun mengikuti saran si ibu.
            Yups, kutemukan toilet umum tersebut. Aku salam keras tapi tak ada yang menjawab. Toilet itu terletak di dalam halaman rumah orang. Ada tulisan tarif harganya juga. Tapi tak kulihat kotak untuk memasukkan uang. Harusnya ya ada yang jaga. Tapi kok sepi. Sekali lagi aku salam. Tapi tetap tak ada yang menjawab. Aku nyelonong masuk aja. Selesai, aku celingukan, mau bayar gitu. Tapi aku tak menemukan kotak maupun kaleng tempat bayar. Ya udah deh, aku pun meninggalkan TKP begitu saja. Hihiii... gak sopan juga sih.
            Aku menyeberang jalan yang cukup ramai. Maklum, jalan propinsi. Aku menunggu sekitar lima menit lebih. Eh, ada bus. Yaah... bus pariwisata. Ada bus lagi. Yaah... pariwisata lagi. Ada bus. Yups, kali ini bus yang kunanti. “Bojonegoro” begitu tulisan yang dipasang di kaca depan bus. Aku melambaikan tangan kiriku. Aku menaiki bus. Wuhuy, penuh cuy. Berdiri nih. Ah, dah biasa kok berdiri di bus. Nikmati aja. Gak ada yang spesial di bus Dali Mas jurusan bojonegoro yang kunaiki kali ini.
            Aku turun di pasar Babat. Ganti bus. Bus Widji warna biru jurusan Jombang. Tiap kali ke Jombang aku selalu menaiki bus Widji. Nah, disini aku mendapatkan pengalaman yang berkesan. Bus yang kunaiki penuh. Maklum, hari-hari ini masih termasuk hari liburan.  Tapi aku bersyukur, kali ini aku masih mendapatkan tempat duduk. Kulihat seorang pemuda. Mungkin sekitar umur 17 atau 18 tahunanlah. Kelihatannya sih lumayan bandel. Hehee... Luluk, jangan menilai orang lain dari penampilan dunk... Dia tidak mendapatkan tempat duduk. Tapi dia masih bisa duduk di jalan tengah depan dekat sopir. Lalu ada seorang ibu-ibu tua naik. Seorang nenek-nenek muda lah. Tapi kursi di bus sudah penuh. Mau gak mau ya berdiri. Jujur, aku kasihan melihat si ibu tersebut. Sepertinya dia juga tidak kuat berdiri lama. Apa aku harus berdiri dan mempersilahkan ibu tersebut duduk? Tapi di sekelilingku banyak mas-mas yang masih muda yang harusnya merekalah yang harus berdiri. Lagian, aku juga membawa tas yang lumayan berat. Tujuan yang kulalui juga jauh. Terminal terakhir. Dan aku yakin, bus ini gak akan kosong. Tapi pasti akan terus penuh terisi. Kalau aku berdiri dan mempersilahkan ibu itu untuk duduk, itu berarti aku akan berdiri selama dua jam ke depan. Sekilas aku melihat pemuda yang duduk di tengah jalan dekat sopir. Eh, dia juga menatapku. Xixixixiii. Lalu aku menatap si ibu tua yang tengah berdiri. Hmm... Dan sepertinya pemuda tersebut mengerti apa yang kupikirkan.
            Amazing. Pemuda tersebut berdiri. Mempersilahkan si ibu untuk duduk. Subhanallah, betapa mulia hatimu Dek. Aku tersenyum melihat si ibu tersebut tersenyum mendapatkan tempat duduk.
            Selang beberapa lama ada seorang ibu muda menggendong anaknya yang masih kecil. Kurasa baru beberapa bulan. Belum ada satu tahun. Wuih, pasti capek cuy berdiri di bus sambil menggendong anak kecil. Desak-desakan lagi. Kutunggu beberapa menit. Tapi, penantianku sia-sia. Tak ada seorang pemuda pun yang mau berdiri. Akhirnya akupun berdiri. Kupegang bahu si ibu tersebut. “Monggo Bu”, aku mempersilahkan si ibu menempati tempat dudukku. Sementara aku berdiri.
            Pemandangan yang sama juga kulihat di dalam bus Jombang-Ponorogo yang kunaiki. Ada seorang ibu bersama anaknya gak kebagian tempat duduk. Lalu ada seorang bapak rela memberikan tempat duduknya, mempersilahkan si ibu tersebut untuk duduk di samping istrinya. Ah, keren deh si Bapak. Bapak itu gak ganteng sih, tapi hatinya ganteng banget. Suer. Beruntung banget ya istrinya.    

Selasa, 26 Juni 2012



            Perjalanan pulangku kali ini benar-benar spesial. Beda dengan biasanya. Yups, Perjalanan 3 jam dalam bis Ponorogo-Jombang ternyata membuatku pengen pipis. Sebenarnya bukan naik busnya sih yang bikin aku pengen pipis, tapi karena aku terlalu banyak minum. Ya, aku minum air putih hampir setengah botol lebih dalam bus. Coz aku lagi batuk, and tenggorokanku serek, jadi ya minum terus. Satu-satunya jalan ekskresi hanya melalui urine, coz bus full AC, jadi aku gak berkeringat sedikitpun. Nyampek kertosono aku dah pengen pipis. Waduh, gimana nih, masa aku mau pipis di bus. Hihihiiii... Aku tahan... hampir setengah jam lebih. “Lima belas menit lagi Luk..”, hiburku dalam hati. Padahal aku tahu perjalananku masih sekitar setengah jam lebih. Dan akhirnya.... akuuu... Hah?!! Ngompol di dalam bus??? Enggak la yaww!
            Akhirnya aku mengambil ranselku yang lumayan berat. Isinya baju-bajuku yang dah gak kupakai lagi. Aku melangkah menuju pintu depan. “Pak, terminal Jombang masih jauh ya Pak?”, tanyaku kepada sang kondektur.
            “Masih jauh Mbak.”, jawab sang kondektur.
            “Pak, turun di pom bensin terdekat.”, ujarku
            “Mau ke toilet ya Mbak?”, tanya sang kondektur. Tau aja nih sang kondektur.
            Aku mengiyakan.
            Sang sopir menurunkanku di pinggir jalan dekat pertigaan. 50 meter ke kanan ada toilet umum, jadi aku gak perlu menunggu lama untuk sampai di pom bensin. Aku mengikuti arahan sang sopir, setelah sebelumnya aku dengan PEDEku nongol di depan toko milik orang china “Cik, boleh numpang ke toilet!”, pintaku.
            “Sebelah situ Mbak ada toilet umum. Nyebrang terus jalan 50 meter”, seorang mas-mas, sepertinya sih pembeli, memberiku arahan lain. Hmm... susahnya numpang pipis zaman sekarang. Mau pipis aja harus bayar.
            Selesai dari toilet aku bingung mau ke terminal naik apa. Kalau bingung ya tanya, tapi liat-liat dulu mau tanya ke siapa. Coz, banyak penipu oy. Aku melihat seorang mbak-mbak. Kutanya aja deh dia. “naik angkutan mbak.”, gitu jawabnya.
            Sepuluh menit aku menunggu di pinggir jalan. Hampir saja aku memberhentikan mobil ceri. Hihihii... Untungnya aku ingat kalau mobil angkutan umum tuu... platnya warna hijau. Hmm... Akhirnya ada angkutan juga. So, Cap Cus. Go ke terminal.
            Di tengah jalan, mobil berhenti. Ada penumpang yang mau naik oy, seorang kakek, berkemeja putih plus celana hitam. Rapi. Necis. Semua tersetrika licin. Wah, jadi bikin aku  inget bapakku aja nich. Aku duduk berhadapan dengan sang kakek. Penumpangnya Cuma berdua. Kasihan juga aku melihat Pak Sopir. Ya, this is life. Keras. Kejam.
Setelah diem-dieman hampir lima menit, sang kakek bersuara. Basa-basi gitu, tanya mau kemana. Ah, pertanyaan wajaar. Kujawab aja mau ke Terminal. Sang kakek bicara lagi. Kali ini aku benar-benar terkejut. Dalam Hati aku sebel juga sih dikit. “PEDE banget nih Kakek”. Sang kakek bilang ongkos dia kurang tiga ribu. Aku diminta membayarinya. Wuih... baru ngobrol satu dua kata dah minta dibayarin. Gayanya uangnya kurang, padahal bajunya necis Oy. Bawa ayam jago lagi. Habis beli ayam jago sepertinya. Sang kakek mendesak. Aku gak mengiyakan. Aku Cuma tersenyum. Tersenyum aneh. Asli gak tulus banget senyumku. Ah, ni Kakek, aku Cuma membawa uang lima puluh ribu. Cuma itu satu-satunya uang terakhirku. Tadi sudah terpakai empat belas ribu buat ongkos naik bus. Tinggal tiga puluh enam ribu nih. Tiga puluh enam ribu ini untuk naik bus Jombang-Babat sembilan ribu. Trus naik bus lagi Babat-Semlaran tiga ribu. Trus naik Ojek Semlaran-Rumah lima belas ribu. 9 + 3 + 15 = 27. Ah, masih cukup kok. Bersyukur juga aku berangkat dari rumah ke terminal Ponorogo diantar temanku. Jadi aku bebas bayar ongkos ojek lima belas ribu. -Teman adalah kekayaan yang tak ternilai-.
            “Dia memelihara ayam mungkin Luk... Atau dia cuma tinggal berdua sama istrinya. Anak-anaknya pergi jauh, jadi dia sendiri yang belanja.” Hati baikku berhusnudzon.
            Sampai di terminal, aku segera turun.
            “Pinten Pak?”, tanyaku kepada sang sopir angkutan
            “Gangsal ewu”, jawab Pak sopir.
            Aku memberikan uang sepuluh ribu kepada Pak Sopir.
            “Kalian Mbah niku Pak.”, ucapku sambil memberikan uang sepuluh ribuan. Wah, hati baikku nih yang menang.
            Ternyata uangku masih kembali dua ribu. Berarti ongkos buat si kakek tadi ya Cuma tiga ribu.
            Aku terus berjalan memasuki terminal khusus untuk bus. Sempat kutengok ke belakang. Sang kakek masih berjalan agak jauh di belakangku. Arah yang dia tuju sama seperti arahku. Apa mungkin sang kakek tersebut mau naik bus? Hendak kemana dia?
Lalu Beberapa menit setelah itu aku tak tahu kemana perginya kakek tersebut.

Jumat, 25 Mei 2012

Tenanglah...

Jika ada orang bicara mengenai kita di belakang..., itu adalah tanda bahwa kita sudah ada di depan...
Saat orang bicara merendahkan diri kita..., itu adalah tanda bahwa kita sudah berada di tempat yan lebih tinggi...
Saat orang bicara dengan nada iri mengenai kita..., itu adalah tanda bahwa kita sudah jauh lebih baik dari mereka...
Saat orang bicara buruk mengenai kita, padahal kita tidak pernah mengusik kehidupan mereka..., itu adalah tanda bahwa kehidupan kita sebenarnya lebih indah dari mereka...

Wali- Salam Rindu

Ku bertanya pada malam
Ku bertanya pada bintang
Sedang apa kau duhai sayangku
*courtesy of LirikLaguIndonesia.Net
Di sini angin menyampaikan
Salammu salam sayang
Salam sejuta cinta dan rindu
Sabar sabar sabarlah sayangku
Semua ini kan cepat berlalu
Sebutlah namaku di setiap nafasmu
Ku kan datang kepadamu sayang
Panggil panggil aku segenap rasamu
Dan rasakan aku membelaimu
Pejamkanlah matamu
Dan kau tenangkan hatimu
Dan kau rasakan aku memelukmu
Sabar sabar sabarlah sayangku
Semua ini kan cepat berlalu
Sebutlah namaku di setiap nafasmu
Ku kan datang kepadamu sayang
Panggil panggil aku segenap rasamu
Dan rasakan aku membelaimu
(sebutlah namaku di setiap nafasmu
Ku kan datang kepadamu sayang
Panggil panggil aku segenap rasamu
Dan rasakan aku membelaimu)
Sebutlah namaku di setiap nafasmu
Ku kan datang kepadamu sayang
Panggil panggil aku segenap rasamu
Dan rasakan aku membelaimu

Sabtu, 05 Mei 2012

Hujan

Hujan…
Hujan memang memberikan sensasi yang berbeda.
Entahlah
Aku menyukainya
Dan kali ini kunikmati hujan sambil mendengarkan lagu bunda milik Mayada
Lagu ini kuputar khusus untuk my mom tercinta di rumah
I love you mom
You are my everything

Mampukah aku untuk tetap dan terus menyayangi kedua orangtuaku hingga akhir hayat mereka nanti?
Ya Rabb, Berikanlah kekuatan kepada hamba untuk terus berbakti dan menyayangi bapak ibu hamba
Merawat mereka di usia lanjut mereka
Membahagiakan mereka

Ya Rabb, jangan sampai ada perkataan maupun sikap hamba yang menyakiti kedua orangtua hamba.
Ya Rabb, berikanlah kesabaran kepada hamba juga kepada kedua orangtua hamba.
Ampunilah dosa-dosa kedua orangtua hamba
Sayangilah kedua orangtua hamba
Berikanlah kesehatan dan keselamatan serta kebahagiaan pada kedua orangtua hamba
Berikanlah ketenangan batin dan sifat lapang dada pada kedua orangtua hamba
Rukunkanlah kedua orangtua hamba
Berikanlah kemudahan pada kedua orangtua hamba dalam mendapat rizki-Mu
Sayangilah kedua orangtua hamba
Jauhkanlah kedua orang tua hamba dari siksa-Mu
Masukkanlah kedua orangtua hamba ke dalam surga
Ya Rabb, pertemukan hamba bersama kedua orangtua hamba di surga kelak.
Amin.
Ya Rabb, sesungguhnya Engkau Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Pendengar do’a hamba-hamba-Mu.
Kabulkanlah permohonan dan do’a hamba.
Amin ya Robbal ‘alamiin.

Bersyukur Luk...!



6 Agustus 2011
                Hari ini aku mendapat pelajaran yang sangat berharga. Pelajaran agar aku bersyukur. Agar aku tidak kufur nikmat.
            Yups, kala aku merasa sendiri menjalani hidup ini. Tak ada saudara maupun keluarga dekat yang menjengukku, seperti teman-temanku yang dikunjungi keluarganya, saudara-saudaranya, bulek pakliknya. Ah, ingin rasanya aku seperti itu. Dijenguk, dirangkul, dido’akan, hangat. Penuh dengan nuansa kekeluargaan. Saling menyayangi dan memperhatikan. “Kapan ya kakakku menjengukku?”, harapku sekilas. “Ah, aku tidak boleh egois. Semua punya kesibukan masing-masing.”, tepisku agar aku tetap berpositif thinking.
            Dan petang ini anak itu datang. Penuh dengan kesopanan. Kesopanan yang wajar. Tulus. Bukan pura-pura. Juga bukan untuk berPDKT ataupun caper.
            Zainab namanya. Oh, ternyata dia tidak sendiri. Ada orang lain di belakangnya. Zaitu. Awalnya kupikir mereka kembar. Eh, ternyata bukan. Tapi emang mirip banget.
            Zaenab dan zaitun. Ah, aku salut dengan mereka. Salut dengan prinsip yang mereka pegang. Kemandirian, kejujuran dan kesungguhan yang luar biasa. Kejujuran dan kesungguhan dalam belajar yang membuatku salut. Penuh dengan semangat dan pantang menyerah. Yups, mereka benar-benar hebat. Mereka jauh lenih kuat dariku.
            Ya, ketika aku berandai-andai dan merenungi diriku yang sendirian, Allah mengirimku sebuah cermin. Cermin yang bernama Zainab dan Zaitun. Agar aku berkaca pada mereka berdua. Seakan Allah berkata kepadaku, “Itu Lho Luk! Lihat! Renungkan! Zainab dan Zaitun yang tak pernah pulang selama empat tahun dan hanya dijenguk sekali! Bersyukur Luk! Bersyukur!”
            Dan akupun asik berbincang dengan mereka. Mendengar cerita dan kisah hidup mereka berdua. Cerita tentang bapak ibu mereka. Mereka daftar ke pondok diantar Bapaknya, dan hanya ditunggui satu jam, setelah itu langsung ditinggal. Kok hampir mirip ya denganku. Daftar langsung ditinggal. Segala perlengkapan urus sendiri. Cari teman. Urus sama temannya. Mungkin biar mandiri.
            Terimakasih ya Rabb atas pelajaran hidup yang sangat berharga yang kau berikan pada hamba petang ini.

 

Kamis, 03 Mei 2012

Bermimpi Yuk! Mumpung Gratis. Hehe...



Hujan,
Sore ini hujan mengguyur bumi. Aku asik membaca majalah Gontor. Membaca pidato Ustadz KH. Imam Zarkasyi. Subhanallah, pribadi yang luar biasa. Ah, mampukah aku seperti beliau? Ikhlas berjuang dalam kondisi apapun. Amin. Semoga aku bisa menjadi pribadi seperti beliau.
            Selesai membaca pidato ustadz KH. Imam Zarkasyi, aku menemukan sebuah artikel menarik tentang manfaat madu yang sungguh luar biasa. Dan pikiranku melayang. Ya, madu. Beberapa bulan yang lalu temanku membeli madu satu botol dengan harga 30.000. Kata yang menjual sih itu madu asli. Yah, namanya juga manusia. Demi uang ada saja yang tega menghalalkan kebohongan untuk mengisi perut. Untuk uang. Untuk dunia. Kata my teacher, madu yang benar-benar asli itu mahal harganya. Satu botol kecil saja bisa mencapai dua ratusan ribu.
            Aku jadi ingat, dulu ibuku pernah makan madu. Benar-benar asli baru diambil dari “unthuk” lebah. Di samping rumah tetanggaku ada sarang lebah madu. Trus madunya diambil. Ibuku dikasih. Suruh meres sendiri, katanya. Setelah minum madu efeknya langsung demam.
            Yang terpikirkan olehku saat ini adalah, bagaimana caranya aku bisa menjadi peternak lebah madu? Lalu aku menjualnya dengan harga yang murah tanpa campuran sedikitpun, jadi semua kalangan bisa merasakan manfaat madu. Bukan hanya orang yang berkantong tebal saja. Selanjutnya aku akan membuat klinik herbal tanpa bahan kimia sedikitpun. Semua memakai cara-cara seperti yang pernah dilakukan oleh Rasulullah. Aku akan menanam berbagai jenis tanaman obat. Dan pastinya pupuknya benar-benar pupuk organik. Tak akan kubiarkan tanamanku disentuh oleh pestisida. Berarti aku harus menemukan cara terbaik dan alami untuk menangkal hama tanaman.
            Selanjutnya aku akan memproduksi makanan dan buah-buahan yang sehat tanpa pengawet. Aku juga akan menjual bibitnya untuk mengatasi jenis buah-buahan yang mudah busuk. Jadi setiap orang bisa menanam di rumahnya. Bisa menikmati buah-buahan tanpa menggunakan bahan pengawet.
Aku juga akan membuat pasta gigi dan perlengkapan lainnya. Semua halalan thoyyiban. Menyehatkan. Bagi siapa saja yang mau belajar cara pembuatannya, aku akan dengan senang hati mengajarkan. Jika aku tak sempat mengajarkan, ada rekan kerjaku yang akan menjelaskan.
            Lalu aku juga akan beternak ayam, kambing dan sapi perah. Semuanya tanpa bahan kimia. Makanannya alami. Tanpa suntikan ataupun sentrat yang membuat mereka cepat gemuk.
            Aku juga akan memiliki sawah berhektar-hektar yang ditanami padi. Tentunya padi yang tanpa pupuk kimia dan bebas pestisida. Padi yang jika dimasak, akan menjadi nasi yang menyehatkan.
            Hmmm…. Aku sadar, saat ini aku hanya bermimpi. Namun, aku yakin mimpi itu akan menjadi kenyataan. Kalaulah mimpi itu tidak terjadi  padaku, aku yakin akan ada orang lain yang berhasil mewujudkan mimpiku tersebut. Yups, tentunya semua itu tak lepas dari ketentuan dan kehendak Allah.
            Coba deh perhatikan semua makanan yang kamu makan sehari-hari, dan barang-barang yang kamu pakai. Mulai dari nasi. Sudahkah nasimu bebas dari racun? Jawabnya BELUM! Tahukan kau, berapa banyak pestisida yang diserap oleh padi, hingga tak seekor ulat pun sudi memakannya? Ulat saja tak mau memakannya, tapi anehnya manusia dengan nikmat melahapnya.
            Ikan. Yakinkah dirimu bahwa ikan yang kamu makan itu bebas formalin? Berapa lama ikan tersebut berada di kapal? Satu minggu? Dua mingu? Bahkan bisa sampai dua puluh hari. Apa benar para nelayan di tengah laut sana tidak membawa bekal formalin? Apa benar ikan-ikan itu hanya diawetkan dengan es dan garam? Ah, aku tidak yakin. (Maaf bapak-bapak nelayan, bukannya aku jahat kepadamu, juga bukannya aku tak percaya padamu, juga bukan berarti aku sok benar, tapi sungguh aku hanya ingin kemaslahatan. Agar tidak ada yang dirugikan. Agar semua bernilai ibadah.)   
            Dan sungguh mengenaskan kala aku melihat ada yang begitu menikmati ikan-ikan dan daging yang telah berbulan-bulan mendekam dalam kaleng. Kalaulah ikan-ikan itu bisa bicara, aku yakin mereka pasti akan berteriak “HEI, JANGAN MAKAN AKU, AKU SUDAH BERLUMURAN RACUN! TIDAKKAH KAU BISA MERASAKAN FORMALIN YANG TERSERAP DI TUBUHKU?! STOP! JANGAN MAKAN AKU!”
            Juga buah-buahan itu. Mereka bilang buah-buahan import. Anggur merah import. Apel merah import. Ah, cobalah petik buah anggur dari pohonnya. Lalu biarkan tanpa bahan pengawet. Tahan berapa lama buah itu? Dan tidakkah kau pikir, buah anggur merah, jeruk, apel merah dan sebagainya itu didatangkan dari luar negeri sampai hadir di hadapanmu, berapa lama waktunya? Apalagi buah-buahan yang mendekam di dalam kaleng? Benarkah jika buah-buahan itu dimasukkan ke dalam kaleng akan tetap segar selama berhari-hari bahkan berbulan-bulan? Ah, aku gak yakin.
            Hmm… susahnya cari makanan sehat.
           

Senin, 30 April 2012

Masa Lalu



Masa lalu
Bukan sekedar waktu
Ada sejarah beradu
Rasuki memoriku juga memorimu
Senyum
Juga tangis pilu

Bolehlah ditengok sebentar
Berkaca tuk melangkah ke depan
Agar lebih dewasa
Ingat, hanya sebentar
Tak usah lama-lama
Biarkan ia lewat bersama masa
Karna ia hanya kaca spion dalam sepeda
Jangan terlena menatap kacanya
Ada jalan yang harus kau tempuh di depan
Jalan yang menetukan masa depan