AHLAN WA SAHLAN

Puisi adalah jiwa. Luapan perasaan. Dalam puisi ada cinta, nostalgia, ideologi, dan rasa syukur.


Tulislah apa yang ada di pikiranmu. Luapkan dalam coretan-coretan indahmu. Dan sepuluh tahun lagi mungkin kau akan tertawa atau bahkan mungkin coretan itu akan menjadi sebuah memori yang mahal. menjadi sebuah cerita tersendiri yang bisa dikenang. Yups, selagi kita masih bisa menulis, kenapa kita tidak meluapkannya dalam coretan-coretan? Meskipun coretan itu hanya bisa kita nikmati sendiri (hehe... menghibur diri ni?)

Pernah frustasi gara-gara karyamu gak pernah diterima? Nasiiib... nasiiib. Kalo iya, berarti kamu senasib dong ma aku. Asiiik ada temen senasib nih! Ceritanya aku lagi frustasi nih lianna (kan biasanya pake coz, sekarang ganti lianna ja biar lebih..... apa ya? lebih bernuansa kearaban gitu deh! Biar ga English mulu!) puisiku ga diterima di majalah yang pernah kukirim, akhirnya bikin blog sendiri ja deeeh. Yaah, nikmati sendirilah.

Senin, 30 April 2012

Masa Lalu



Masa lalu
Bukan sekedar waktu
Ada sejarah beradu
Rasuki memoriku juga memorimu
Senyum
Juga tangis pilu

Bolehlah ditengok sebentar
Berkaca tuk melangkah ke depan
Agar lebih dewasa
Ingat, hanya sebentar
Tak usah lama-lama
Biarkan ia lewat bersama masa
Karna ia hanya kaca spion dalam sepeda
Jangan terlena menatap kacanya
Ada jalan yang harus kau tempuh di depan
Jalan yang menetukan masa depan

Puisi untuk Langit


 
Malam ini kutatap langit
Ia tersenyum manis
Ceria
Ribuan bintang berpesta
Ah, jutaan… trilyunan… tak terhingga
Kabarkan keagungan-Nya
Subhanallah
Allahu akbar
Ets, kurasa bintang-bintang itu lebih dari sekedar berpesta
Bisa jadi mereka sedang berdzikir memuji-Nya

Sabtu, 28 April 2012

Kakak Galang



 
             “Kakak..., aku dapat juara satu...!”, Teriakku kepada Kak Galang yang tengah menyambutku di depan rumahku.
            “Alhamdulillah, Tos dulu!”, kami berdua saling mengangkat tangan kanan. Tos!
            “Terimakasih Kak.”, aku duduk di kursi depan rumah melepas sepatu bututku. Kak Galang duduk di sampingku. “Ini semua karena Kak Galang yang menjadi pelatihku. Kalau tidak, mana mungkin aku bisa menang.” Yup, aku menjadi juara 1 lomba catur PORSENI di kabupaten.
            “Itu karena usaha dan kerja kerasmu berlatih. Jadi Allah memberikan kemenangan padamu.”, jawab Kak Galang sambil mengusap kepalaku. Ah, Kak Galang memang selalu bijak dan dewasa. Tidak seperti aku yang  kekanak-kanakan.
            Kak Galang usianya 4 tahun lebih tua dariku. Sekarang dia sudah duduk di bangku kelas 2 SMA 1 Lamongan. Sedangkan aku masih duduk di kelas 1 SMP Muhammadiyah 3 Lamongan juga. Sebenarnya Kak Galang bukanlah kakak kandungku. Rumahnya berada tepat di samping rumahku. Jadi kami terlihat akrab sekali. Kami sering bermain bersama sepulang sekolah. Kak Galang mengajariku banyak hal. Memanjat pohon jambu air di depan rumah, memancing ikan di sungai, bermain badminton, catur, sampai bermain sepak bola. Ssstt... rahasia, jangan bilang-bilang ibu, nanti aku bisa kena marah, eh, bukan marah deng.Nanti aku bisa dinasehati puanjaang... sepanjang rel kereta api. Hehehee. Kak Galang juga yang telah mengajariku naik sepeda. Meskipun aku jatuh berkali-kali tapi Kak Galang terus memberiku semangat. Aku bahkan sudah menganggapnya seperti kakakku sendiri.
            Sebenarnya aku juga punya seorang kakak, tapi juga bukan kakak kandung.  Satu Bapak beda ibu. Kami tinggal di kota yang berbeda. Kakakku tinggal bersama ibunya. Aku tinggal bersama ibuku. ayah kami sudah tiada sejak aku masih berumur 5 tahun. Aku hanya tinggal berdua bersama ibuku.
            “Kak, aku ingin menjadi pemain catur tingkat nasional, boleh?”, tanyaku polos.
            “Tentu saja boleh. Jangankan tingkat nasional, tingkat dunia juga bisa.”
            Ya, Kami hanya dua anak desa yang mempunyai mimpi setinggi langit. Entah sampai kapan mimpi itu akan terus bertahan. Semoga mimpi itu tidak bertahan lama, dan segera berubah wujud menjadi kenyataan. “Amin”, do’aku dalam hati.


---------------------

            Teman-temanku bilang, sekarang aku berbeda. “Tambah alim aja Rin”, begitu ucap seorang temanku ketika kami bertemu dalam acara reoni SMP di sekolah.
            “Apaan? sama aja. Tambah error, iya...”, balasku.
            Tapi kurasa aku memang sedikit berbeda. Lihatlah penampilanku. Aku bahkan tidak memberi sedikit celah pun kepada rambutku untuk menatap dunia luar. Jilbab lebarku menutupnya kaffah. Kaos kaki yang kukenakan juga membuatku sedikit berbeda. Masih mending ini aku tidak memakai cadar. hehee...
            Kutatap teman-temanku dulu. Ah, hampir semuanya telah berkeluarga. Bahkan sudah banyak yang membawa momongan. Mereka sekarang bukan lagi anak-anak kecil yang dulu ingusan, ileran, i..., i apa aja dech, terusin sendiri ya.  Apalagi yang perempuan. Tinggal aku yang masih jomblo. Di usiaku yang ke 23 tahun ini aku masih saja menjomblo. Eh, gak juga deng. Sebentar lagi aku juga akan menikah. O iya, aku belum cerita ya.
            Beberapa hari lalu, tepatnya dua hari yang lalu, seorang pria melamarku. Seorang ikhwan. Tentu saja aku menerima. Perempuan mana yang mau menolak seorang ikhwan yang sholeh seperti dia. Sholeh, mapan lagi. Ia melamarku setelah kita menjalani proses ta’aruf satu bulan. Sebenarnya aku sudah mengenalnya cukup lama. Tapi tidak dekat. Hanya sebatas tahu saja. Mungkin sekitar dua tahunan. Ketika aku masih semester 4. Hanya saja kami jarang bertemu dan jarang berinteraksi. Dia sibuk menempuh program S2 di Yaman. Dan sebulan yang lalu, dia datang ke rumah. Tepat setelah aku menyelesaikan program S1ku. Dia juga telah menyelesaikan program S2nya. Ia Ingin mengenal lebih dekat, katanya. Selanjutnya kami bertukar biodata. Anehnya kami bahkan tidak pernah jalan keluar berdua. Jangankan jalan keluar berdua, ngobrol berduaan dengannya saja jarang. Aku sungguh tidak menyangka kalau dia yang akan menjadi suamiku nanti. Beruntung sekali aku mendapatkan suami seorang ikhwan seperti dia.
            Getar hpku menyadarkanku dari lamunan. ada sms dari kak Galang, “Setelah acara selesai, segera pulang ya dek... Kakak tunggu di rumah.”
            “Lho, bukannya Kak Galang masih di Jakarta? Kapan pulangnya? Kok di rumah? Katanya seminggu lagi baru pulang?”,Tanyaku dalam hati. Selesai SMA, kak Galang mendapat beasiswa kuliah di perguruan tinggi. Dia mengambil jurusan teknik sipil. Ujung-ujungnya dia bekerja di perusahaan kontraktor terkenal di Jakarta.
            Sedangkan aku, boro-boro menjadi pemain catur tingkat nasional. Selesai SMP, aku melanjutkan sekolah ke pondok yang berada di luar kota. Butuh waktu hampir 5 jam naik turun bis dari desaku ke pondok. Selesai belajar di pondok, aku melanjutkan kuliah di pondok itu juga. hehehee... Setelah lulus kuliah, aku langsung mengajar di SD di desaku. Baru sebulan aku mengajar di SD tersebut.
            Setelah membaca sms dari kak Galang, aku terbayang-bayang rumah. Terbayang kak Galang tepatnya. Ingin cepat pulang. Ingin melihat mukanya. Hampir delapan tahun, sejak aku belajar di pondok, aku tidak pernah melihatnya. “Apa aku pulang dulu aja ya? ah, gak enak sama teman-temanku.” Tapi kalau begini aku juga tidak tenang. Jasadku disini bersama teman-temanku, tapi jiwaku di rumah. Aku kangen kak Galang. Sebenarnya lebih dari itu. Aku ingin menyampaikan berita gembiraku. Aku ingin memberitahu dia bahwa dua hari yang lalu ada seorang pria yang melamarku. Aku ingin bilang kalau ucapan kak Galang memang benar, “Tidak usah hawatir Dek, yakin, serahkan pada-Nya, jodoh itu sudah ditentukan oleh-Nya. Yang terpenting kita selalu menjaga diri. Menjaga hati. Menjaga izzah sebagai seorang muslimah. Taat kepada aturan-Nya.”

---------------

            “Kakaaak...” teriakku melihat sosok kak Galang berdiri di depan rumah. Kak Galang terlihat semakin ganteng. Hehehe...
            Kak Galang tersenyum menyambutku. Senyum yang selalu saja mampu menghapus kesedihanku. Ah, aku bahkan pernah berpikir ada mantra di balik senyumnya. hihihi...
            “Kapan datang? katanya seminggu lagi pulangnya?”, tanyaku
            “Suprise.”, Jawab kak Galang ringan.
            “Hmm!” Aku pura-pura cemberut.
            Kak Galang tertawa melihat ekspresiku. “Samaaa... aja. Gak berubah-berubah. Dasar anak kecil!”, Ucap kak Galang kepadaku. Tapi kali ini tidak sambil mengusap kepalaku. hehehe. Gak muhrim.
            Sejenak kami duduk terdiam di kursi depan rumah. Kursi yang dulu pernah kami duduki. Kursi yang turut menjadi saksi persahabatan kami. Kursi itu juga tak berubah. Seperti pertemananku dengan kak Galang yang tak pernah putus.
            “Aku punya berita gembira buat Kak Galang!”, aku mengawali pembicaraan yang ternyata bersamaan dengan ucapan kak Galang “Aku mau bicara sesuatu Dek.”
            Sekali lagi kami terdiam untuk beberapa detik.
            “Kak Galang aja dulu.”, aku mengalah.
            “Adek aja dulu.”
            “Enggak. Kak Galang aja dulu yang ngomong. Kali ini aku mau belajar mengalah.” ucapku.
            Aku menunggu kak Galang bicara. Satu detik... dua detik... lima detik... kok gak ngomong-ngomong.
            Aku menatapkak Galang, memberi isyarat “mau ngomong apa? kok diem?”
            Kak Galang menarik nafas.
            “Dek,”
            Aku tidak menjawabnya. Aku masih menunggu kata-kata berikutnya.
            “Adek mau menjadi pendamping hidup Kakak?”, Seperti ada petir menyambar ulu hati. Aku hanya terpaku. “Adek mau menemani perjuangan kakak?”, Kak Galang kembali mengulang pertanyaannya.
            Aku hanya mampu terdiam. Bukan hanya petir. Ada kilat, hujan deras ditambah ribuat belati menyayat hatiku. Pedih. Perih. Sakit. Mataku terasa panas. Ah, tidak, air mataku hendak keluar. Aku harus menahannya. Aku menunduk agar kak Galang tak melihat mataku yang berkaca-kaca.
            “Kakak minta maaf kalau Kakak terlalu terburu-buru. Sebenarnya telah lama Kakak berniat...”,Kak Galang tidak melanjutkan ucapannya.
            “Tidak harus dijawab sekarang kok Dek..., terserah adek kapan mau menjawabnya.”, lanjut Kak Galang.
            “Ya Rabb, inikah hidup. Ya Rabb, apa maksud semua ini? Ya Rabb tunjukkan kepada hamba jalan yang Engkau ridhoi.”, ujarku dalam hati.
            Petir, kilat, dan hujan deras mengguyur hatiku...
            “Seorang laki-laki dan perempuan tidak akan pernah bisa berteman. Pasti akan lebih dari itu. Pasti akan timbul rasa suka.”, ucapan seorang temanku menggaung di memoriku.
                 

Selera




Selera

Apa sih selera?
Mereka bilang “Ah, seleranya rendah.”
Apakah jika aku menyukai lagu-lagu Barat berarti aku berselera tinggi?
Dan jika aku menyukai lagu dangdut berarti seleraku rendahan?
Apakah dengan memiliki istri cantik berarti aku berselera tinggi?
Lalu bagaimana  jika istriku kurang cantik menurut mereka?
Apa dengan begitu mereka seenaknya menganggap seleraku murahan?
Apakah seleraku juga murahan jika aku hanya mengendarai motor butut?
Dan jika makanan favoritku bukan spageti atau steak, tapi hanya pisang goreng, apakah itu juga berarti seleraku kampungan?
Apakah dengan memakai jas dan dasi seseorang bisa mendapat stempel “selera tinggi”?
Jangan sampai kaca mata “Selera” membuat kita merendahkan orang lain.


Senin, 23 April 2012

Pernahkah Engkau sebel or benci ma seseorang?


Pernahkah Engkau sebel or benci ma seseorang?
Kuacungi jempol, empat jempol dech buat kamu yang gak pernah mengenal rasa sebel, jengkel, atau benci ma orang lain. Suer.
Bukannya Q sok atau gimana-gimana ya… tapi jujur, ku tu termasuk salah satu dari sekian orang yang gak suka pake banget-banget kuadrat punya perasaan sebel atau benci ma orang lain. Q tu maunya hidup tu… damai… tulus… saling menyayangi… gak usah dech marah-marahan, bad mood, apalagi diem-dieman ma orang lain.
Nah, parahnya nich… saat ini aku sengaja diem ma orang lain. Lho? Gimana tho? Ya gimana lagi coba.  Bukannya aku sok paling bener. Tapi suer, Q gak kuat cuy kalau kayak gini terus. Dah cukup hati ini menahan. Dah cukup sudah kesabaran ini (jadi inget kata mbak Waqi’, “Sabar itu tiada batas dek…”). Tapi kurasa kali ini sikap sabar bukan solusi yang paling tepat. Dan kurasa sabar itu juga ada tempatnya kali ya. Gak semua kondisi harus disikapi dengan sabar. Kalo kita dijajah n ditindas-tindas terus, masa harus sabar terus? Ya gak lah… dan kutemukan solusi yang kurasa tepat. Yup, solusi yang paling tepat adalah DIAM SERIBU BAHASA (Wuih… kayak apa aja nich). Gila, baru kali ini seumur hidupku aku berinteraksi ma orang yang kayak gini.
Hati… maafkan aku, kali ini kubiarkan kau membenci seseorang. Mulut… Lidah…. Maafkan aku, kali ini kubiarkan kau diam kepada seseorang. Aku membenci bukan tak beralasan. Aku diam pun bukan berarti tak beralasan juga. Aku membenci perangainya yang sering melukai hati orang lain. Aku membenci cara bicaranya yang ketus  melukai hati, membuat orang lain jadi naik darah. Sama sekali tiada  rasa sayang. Dari pada aku marah, lebih baik aku menganggapnya tiada.
So, cuekin, diemin aja.

Ibu.......



“Ribuan kilo jalan yang kau tempuh. Lewati rintang untuk aku anakmu….”, lirik lagu Ibu milik Iwan fals terekam merdu di telingaku.
Ya, kurasa tak ada seorang pun di dunia ini yang mengenal kita begitu dekat melebihi ibu. Tak ada seorang pun di dunia ini yang menyayangi kita melebihi  ibu.
Lihatlah cuy, Ibumu tertawa, padahal kau pipis di pangkuannya.

“Maaf ya Dek… Ibu ganti popok adek dulu ya…”, perhatikan, Ibumu begitu menghargaimu. Ibumu bahkan meminta maaf sebelum mengganti popokmu.
“Alhamdulillah, adek buang air besar”, begitu ucap  ibumu kala kau buang air besar. Sama sekali tak terlintas rasa jijik. Ah, tak ada seorang pun di dunia ini yang mampu menandingi tulus cinta dan sayang ibumu. 

JeJeEs



Jum’at, 20 April 2012 dalam sebuah masjid di Ponorogo, setelah sejak sore aku muter-muter di Sasana Praja Ponorogo bersama dua temanku (ada booksfair disana). Adzan Maghrib menyeru kami tuk singgah sejenak di masjid itu.
Kutatap sajadah dan tembok putih itu. Ah, sudah berbulan-bulan aku tak menghadirkan diri di masjid. Aku lalai dalam kesibukan fana dunia, hingga tak kuluangkan waktu untuk sekedar sholat berjama’ah.
Dan memoriku asik memutar potret masjid di Gontor Putri 1. Shaff depan, tepat depan tembok putih pas, tempat favoritku dulu. Di situ aku merasa dunia seakan berada dalam genggamanku. Aku merasa begitu dekat dengan Robbku. Sebuah rasa yang tak ternilai. Ada ketenangan batin yang dahsyat. Ketika air mata deras mengalir, dan wangi bunga-bunga puji dan do’a terangkai indah.
“Labbaikalloohumma labbaik”, aku menghadap-Mu ya Rabb. Aku penuhi panggilan-Mu. Aku rindu bersua dengan-Mu.
“Allahumma innii dzolamtu nafsii, faghfirlii”


Rabu, 18 April 2012

EXELLEN JIWA, EXELLENT SESUNGGUHNYA

Pagi itu, 8 November 2012, aku duduk di tangga samping masjid. Aku asik menunggu dimulainya sholat Idul Adha sambil bertakbir dalam hati. 

Dan seorang wanita, ah, lebih tepatnya seorang ibu muda datang bersama dua orang anaknya. Mereka juga sama sepertiku, hendak menunaikan sholat idul Adha. Menurut dugaanku, anaknya yang pertama sekitar kelas 5 atau 6 SD. Sedangkan anaknya yang kedua sekitar kelas 2 atau 1 SD. Anaknya yang pertama duduk di sampingku. Sementara, sang ibu dan anaknya yang kedua duduk di depanku yang saat itu masih kosong. Ya, kami bernasib sama. Sama-sama tidak kebagian tempat di masjid. Mau tidak mau ya aku ambil tempat di tangga masjid. Aku melihat dalam sekilas sosok ibu yang sederhana. Pakaian gamisnya yang sederhana namun tetap anggun dan sama sekali tak memperlihatkan bentuk tubuhnya. Raut mukanya yang ramah, penuh kerendahan hati. 

Dengan penuh sayang ia memakaikan mukenah buat anaknya yang kecil. Entahlah, ada aura yang berbeda. Penuh dengan rasa syukur. Ah, jauh banget dari dari yang namanya kesombongan. Sederhana… jauh dari glamor. Sederhana tapi tetap excellent. Exellent luar dalam. Bukan hanya penampilan luar yang excellent, tapi hatinya pun excellent. Jika ada yang berpikir “excellent itu identik dengan kehidupan yang serba wah, mewah dan glamor”, itu hanya excellent sesaat. Excellent bungkus saja. Exellent yang sesungguhnya adalah exellent hati.