AHLAN WA SAHLAN

Puisi adalah jiwa. Luapan perasaan. Dalam puisi ada cinta, nostalgia, ideologi, dan rasa syukur.


Tulislah apa yang ada di pikiranmu. Luapkan dalam coretan-coretan indahmu. Dan sepuluh tahun lagi mungkin kau akan tertawa atau bahkan mungkin coretan itu akan menjadi sebuah memori yang mahal. menjadi sebuah cerita tersendiri yang bisa dikenang. Yups, selagi kita masih bisa menulis, kenapa kita tidak meluapkannya dalam coretan-coretan? Meskipun coretan itu hanya bisa kita nikmati sendiri (hehe... menghibur diri ni?)

Pernah frustasi gara-gara karyamu gak pernah diterima? Nasiiib... nasiiib. Kalo iya, berarti kamu senasib dong ma aku. Asiiik ada temen senasib nih! Ceritanya aku lagi frustasi nih lianna (kan biasanya pake coz, sekarang ganti lianna ja biar lebih..... apa ya? lebih bernuansa kearaban gitu deh! Biar ga English mulu!) puisiku ga diterima di majalah yang pernah kukirim, akhirnya bikin blog sendiri ja deeeh. Yaah, nikmati sendirilah.

Rabu, 04 Juli 2012

Hamba hamba-Mu



Ya Allah, hamba sadar
Hamba adalah hamba-Mu
Hamba adalah makhluk-Mu
Ya Allah
Hanya kepada-Mu hamba menghamba
Karena Hamba tahu hanya Engkaulah yang Maha Kuasa
Karena Hamba tahu hamba-hamba-Mu bukanlah apa-apa
Ya Allah
Hamba berlindung kepada-Mu dari menghamba kepada selain-Mu
Hamba berlindung kepada-Mu dari menghamba kepada makhluk-Mu


Tulus atau Topeng??



            
           Suatu hari seorang pria muda berumur sekitar 30 tahunan tengah duduk di dalam bus umum. Bus tersebut lumayan ramai. Semua tempat duduk terisi penuh. Namun, sopir dan kondektur bus tampaknya tak rela membiarkan jalan kecil antara deretan kursi dalam bus kosong. Beberapa penumpang beridiri karena tak mendapatkan tempat duduk. Hingga ada seorang nenek tua menaiki bus. Karena semua kursi penuh, terpaksa si nenek tersebut berdiri. Si nenek berdiri di dekat pria muda tersebut. Dan pria muda tersebut hanya melihat sekilas. Cuek. Entah apa yang dia pikirkan. 5 menit bus melaju, 10 menit hingga 30 menit. Tak seorangpun memberikan tempat duduknya untuk sang nenek.
            Bus berhenti kembali. Seorang penumpang menaiki bus. Kali ini yang naik bukan lagi nenek tua. Tapi seorang bapak umur 40 tahunan. Sang bapak mengenakan kemeja rapi dan jas necis. Ia melihat ke seluruh penumpang. Ah, dia menemukan seseorang yang sepertinya tak asing baginya.
            “Doni”, sapa sang bapak kepada seorang pria muda yang tengah duduk manis di atas kursi. O... nama pria muda tadi Doni.
            “Eh, Pak?”, Doni tampak terkejut melihat bapak tersebut. “Kenapa mobil Bapak, kok naik bus kota?”, tanya Doni
            “Ah, mobilku mogok di jalan. Terpaksa deh naik bus.”
            “Mari Pak, silahkan!”, Doni berdiri dari kursi yang sejak tadi didudukinya, mempersilahkan si bapak untuk duduk, yang ternyata si bapak tadi adalah bosnya di kantor tempat Doni bekerja.
            Dan lihatlah, seorang nenek tua menahan letih berdiri di dalam bus. Mengapa Doni tidak memberikan tempat duduknya kepada nenek tua itu sejak tadi? Bukankah nenek tersebut lebih berhak untuk dipersilahkan duduk dari pada bosnya?! Ah, dasar Doni! Gak tulus banget sih niatnya membantu. Kalaulah dia tulus membantu, pastinya dia sudah sejak tadi memberikan tempat duduknya kepada sang nenek. Mentang-mentang bosnya, dia rela berdiri dan memberikan kursi yang didudukinya. Hah!! Penjilat!! Topeng!! Palsu!! Bulshit!! Penipu!! Hatinya memuakkan!! Mental penjilat!! Gak tulus blass!! Penumpang bus lainnya juga sama!! Masa gak ada satupun yang rela membantu si nenek. Egois semua!!
            Semoga kita bukan termasuk orang-orang yang seperti Doni. Yang memberikan bantuan tanpa ketulusan. Yang memberikan bantuan karena menjilat. Yang memberikan bantuan karena mengharap balasan jasa dan segala tetek bengek lainnya.Yang memberikan bantuan karena keterpaksaan.
            Semoga kita termasuk orang-orang yang tulus. Sayang kepada siapapun tanpa pandang si kaya dan si miskin. Membantu karena Allah. Benar-benar diniatkan untuk Allah. Bukan karena makhluk. Juga bukan karena atasan maupun bos. Juga bukan karena golongan. Semua harus karena Allah. Juga tak perlu mengharap balasan dari orang yang kita bantu. Dan jangan marah kalau orang yang kita bantu tak membalas jasa kita, apalagi sampai membencinya. Positif thinking ajalah.

Puisi untuk dan tentang Ilalang


Ilalang...
Kemana perginya Ilalang?
Inikah Ilalang yang sebenarnya?
Ilalang...
Jangan terbawa perasaan
Ilalang...
Lihatlah bayangan dirimu!!
Ilalang...
Tundukkan mukamu!!
Ilalang...
Sudah siapkah dirimu untuk terluka?
Ilalang...
Sadar!!!
Bangun!!!
Ilalang... tidak salah bermimpi
Tapi ilalang tak boleh lupa dengan bayangan diri.

Selasa, 03 Juli 2012

Ahad, 1 Juli 2012




Ahad, 1 Juli 2012 pukul 8.15 aku berangkat kembali ke Ponorogo. Kepergianku kali ini juga berbeda. Ibuku tidak menangis. Padahal biasanya, setiap kali aku berangkat ke Pondok atau ke Ponorogo, pasti ibuku menangis. Meskipun aku sudah menghibur bahwa aku pergi bukan untuk bekerja mencari uang. Aku hendak mencari ilmu, mencari pengalaman. Aku hendak belajar. Ah, aku tahu kenapa ibuku kali ini tidak menangis. Karena beberapa hari sebelumnya aku menjelaskan kepada ibuku kalau Ramadhan ini aku akan pulang. Mungkin sekitar satu atau dua bulanan. Aku akan tinggal menemani Ma’ dan Bapak di rumah. Rencanaku ke depan, aku akan mengajar di sekolah atau pondok terdekat. Jadi aku bisa dengan mudah menjenguk Ma’ dan Bapak di rumah. Maklum, orangtuaku tinggal berdua di rumah. Sudah sepuh lagi. Beberapa bulan lalu, Ma’ sama Bapak sakit. Sakit pas barengan. Gak ada anak. Pengen ini pengen itu gak ada yang melayani. Ah, aku berdosa.
            Maafkan aku Bu’, Pak, hingga kini aku belum bisa memberikan sesuatu yang berarti. Aku belum bisa menjadi anak yang kau banggakan. Aku bahkan tak menemanimu kala engkau sakit.
            Perjalanan dari rumah ke Semlaran kutempuh dengan motor. Tepatnya aku diantar oleh tetanggaku. “Terimakasih Kak Bas.”, hanya ucapan itu yang bisa kuberikan. Andaikan kau tahu bagaimana jalannya. Wuihh... jalannya hancur oy. Rusak berat.
            Melihat jalan yang rusak seperti itu, aku jadi berpikir, “Berapa ya dulu anggaran untuk pembangunan jalan yang kulalui ini? Kenapa cepat rusak begini? Apa benar semua anggaran tersebut benar-benar digunakan untuk pembangunan jalan? Sudah benarkah laporan yang tertulis dengan pengeluaran yang sebenarnya? Atau pengeluaran yang dipakai memang sengaja diminimalisir dengan cara membuat pondasi jalan asal jadi dengan bahan-bahan yang kurang berkualitas dan harga murah agar sebagian uang bisa masuk kantong orang-orang tertentu?”. Aku bersuudzon.
            Hmm... jalan. Penting tau.
            Sampai di Semlaran, aku kebelet pipis. Padahal perjalanan dari rumah sampai ke Semlaran gak lama kok. Mungkin sekitar empat puluh lima menitlah. Aku berjalan melihat ke sekeliling. Mencari tulisan “TOILET UMUM”. Kok gak ketemu-ketemu juga. Aku pun berhenti tepat di depan sebuah toko. Tanpa berpikir panjang, aku mengucap salam cukup keras ke pemilik toko yang entah dimana berada. Ada segerombol pemuda membawa peralatan musik sedang kongkow di samping toko tersebut. Ada yang membawa gitar juga gendang kecil. Kurasa mereka pengamen. Mungkin mereka tidak menemukan pekerjaan lain yang lebih mulia selain mengamen. Atau belum diterima. Atau entah apalah alasan mereka yang membuat mereka mau mengamen. Bisa jadi hasil mengamen jauh lebih besar dari pada hasil kerja menjadi kuli.
            Tak ada seorangpun yang menjawab salamku. Kembali kuucap salam cukup keras. Yah, kali ini seorang ibu muda yang keluar. Pemilik toko sepertinya. Dengan PEDE aku minta izin mau ikut ke toilet. Eh, si ibu menunjukkan toilet umum. Letaknya di sebelah timur tokonya. Jalan dikitlah. Aku pun mengikuti saran si ibu.
            Yups, kutemukan toilet umum tersebut. Aku salam keras tapi tak ada yang menjawab. Toilet itu terletak di dalam halaman rumah orang. Ada tulisan tarif harganya juga. Tapi tak kulihat kotak untuk memasukkan uang. Harusnya ya ada yang jaga. Tapi kok sepi. Sekali lagi aku salam. Tapi tetap tak ada yang menjawab. Aku nyelonong masuk aja. Selesai, aku celingukan, mau bayar gitu. Tapi aku tak menemukan kotak maupun kaleng tempat bayar. Ya udah deh, aku pun meninggalkan TKP begitu saja. Hihiii... gak sopan juga sih.
            Aku menyeberang jalan yang cukup ramai. Maklum, jalan propinsi. Aku menunggu sekitar lima menit lebih. Eh, ada bus. Yaah... bus pariwisata. Ada bus lagi. Yaah... pariwisata lagi. Ada bus. Yups, kali ini bus yang kunanti. “Bojonegoro” begitu tulisan yang dipasang di kaca depan bus. Aku melambaikan tangan kiriku. Aku menaiki bus. Wuhuy, penuh cuy. Berdiri nih. Ah, dah biasa kok berdiri di bus. Nikmati aja. Gak ada yang spesial di bus Dali Mas jurusan bojonegoro yang kunaiki kali ini.
            Aku turun di pasar Babat. Ganti bus. Bus Widji warna biru jurusan Jombang. Tiap kali ke Jombang aku selalu menaiki bus Widji. Nah, disini aku mendapatkan pengalaman yang berkesan. Bus yang kunaiki penuh. Maklum, hari-hari ini masih termasuk hari liburan.  Tapi aku bersyukur, kali ini aku masih mendapatkan tempat duduk. Kulihat seorang pemuda. Mungkin sekitar umur 17 atau 18 tahunanlah. Kelihatannya sih lumayan bandel. Hehee... Luluk, jangan menilai orang lain dari penampilan dunk... Dia tidak mendapatkan tempat duduk. Tapi dia masih bisa duduk di jalan tengah depan dekat sopir. Lalu ada seorang ibu-ibu tua naik. Seorang nenek-nenek muda lah. Tapi kursi di bus sudah penuh. Mau gak mau ya berdiri. Jujur, aku kasihan melihat si ibu tersebut. Sepertinya dia juga tidak kuat berdiri lama. Apa aku harus berdiri dan mempersilahkan ibu tersebut duduk? Tapi di sekelilingku banyak mas-mas yang masih muda yang harusnya merekalah yang harus berdiri. Lagian, aku juga membawa tas yang lumayan berat. Tujuan yang kulalui juga jauh. Terminal terakhir. Dan aku yakin, bus ini gak akan kosong. Tapi pasti akan terus penuh terisi. Kalau aku berdiri dan mempersilahkan ibu itu untuk duduk, itu berarti aku akan berdiri selama dua jam ke depan. Sekilas aku melihat pemuda yang duduk di tengah jalan dekat sopir. Eh, dia juga menatapku. Xixixixiii. Lalu aku menatap si ibu tua yang tengah berdiri. Hmm... Dan sepertinya pemuda tersebut mengerti apa yang kupikirkan.
            Amazing. Pemuda tersebut berdiri. Mempersilahkan si ibu untuk duduk. Subhanallah, betapa mulia hatimu Dek. Aku tersenyum melihat si ibu tersebut tersenyum mendapatkan tempat duduk.
            Selang beberapa lama ada seorang ibu muda menggendong anaknya yang masih kecil. Kurasa baru beberapa bulan. Belum ada satu tahun. Wuih, pasti capek cuy berdiri di bus sambil menggendong anak kecil. Desak-desakan lagi. Kutunggu beberapa menit. Tapi, penantianku sia-sia. Tak ada seorang pemuda pun yang mau berdiri. Akhirnya akupun berdiri. Kupegang bahu si ibu tersebut. “Monggo Bu”, aku mempersilahkan si ibu menempati tempat dudukku. Sementara aku berdiri.
            Pemandangan yang sama juga kulihat di dalam bus Jombang-Ponorogo yang kunaiki. Ada seorang ibu bersama anaknya gak kebagian tempat duduk. Lalu ada seorang bapak rela memberikan tempat duduknya, mempersilahkan si ibu tersebut untuk duduk di samping istrinya. Ah, keren deh si Bapak. Bapak itu gak ganteng sih, tapi hatinya ganteng banget. Suer. Beruntung banget ya istrinya.    

Selasa, 26 Juni 2012



            Perjalanan pulangku kali ini benar-benar spesial. Beda dengan biasanya. Yups, Perjalanan 3 jam dalam bis Ponorogo-Jombang ternyata membuatku pengen pipis. Sebenarnya bukan naik busnya sih yang bikin aku pengen pipis, tapi karena aku terlalu banyak minum. Ya, aku minum air putih hampir setengah botol lebih dalam bus. Coz aku lagi batuk, and tenggorokanku serek, jadi ya minum terus. Satu-satunya jalan ekskresi hanya melalui urine, coz bus full AC, jadi aku gak berkeringat sedikitpun. Nyampek kertosono aku dah pengen pipis. Waduh, gimana nih, masa aku mau pipis di bus. Hihihiiii... Aku tahan... hampir setengah jam lebih. “Lima belas menit lagi Luk..”, hiburku dalam hati. Padahal aku tahu perjalananku masih sekitar setengah jam lebih. Dan akhirnya.... akuuu... Hah?!! Ngompol di dalam bus??? Enggak la yaww!
            Akhirnya aku mengambil ranselku yang lumayan berat. Isinya baju-bajuku yang dah gak kupakai lagi. Aku melangkah menuju pintu depan. “Pak, terminal Jombang masih jauh ya Pak?”, tanyaku kepada sang kondektur.
            “Masih jauh Mbak.”, jawab sang kondektur.
            “Pak, turun di pom bensin terdekat.”, ujarku
            “Mau ke toilet ya Mbak?”, tanya sang kondektur. Tau aja nih sang kondektur.
            Aku mengiyakan.
            Sang sopir menurunkanku di pinggir jalan dekat pertigaan. 50 meter ke kanan ada toilet umum, jadi aku gak perlu menunggu lama untuk sampai di pom bensin. Aku mengikuti arahan sang sopir, setelah sebelumnya aku dengan PEDEku nongol di depan toko milik orang china “Cik, boleh numpang ke toilet!”, pintaku.
            “Sebelah situ Mbak ada toilet umum. Nyebrang terus jalan 50 meter”, seorang mas-mas, sepertinya sih pembeli, memberiku arahan lain. Hmm... susahnya numpang pipis zaman sekarang. Mau pipis aja harus bayar.
            Selesai dari toilet aku bingung mau ke terminal naik apa. Kalau bingung ya tanya, tapi liat-liat dulu mau tanya ke siapa. Coz, banyak penipu oy. Aku melihat seorang mbak-mbak. Kutanya aja deh dia. “naik angkutan mbak.”, gitu jawabnya.
            Sepuluh menit aku menunggu di pinggir jalan. Hampir saja aku memberhentikan mobil ceri. Hihihii... Untungnya aku ingat kalau mobil angkutan umum tuu... platnya warna hijau. Hmm... Akhirnya ada angkutan juga. So, Cap Cus. Go ke terminal.
            Di tengah jalan, mobil berhenti. Ada penumpang yang mau naik oy, seorang kakek, berkemeja putih plus celana hitam. Rapi. Necis. Semua tersetrika licin. Wah, jadi bikin aku  inget bapakku aja nich. Aku duduk berhadapan dengan sang kakek. Penumpangnya Cuma berdua. Kasihan juga aku melihat Pak Sopir. Ya, this is life. Keras. Kejam.
Setelah diem-dieman hampir lima menit, sang kakek bersuara. Basa-basi gitu, tanya mau kemana. Ah, pertanyaan wajaar. Kujawab aja mau ke Terminal. Sang kakek bicara lagi. Kali ini aku benar-benar terkejut. Dalam Hati aku sebel juga sih dikit. “PEDE banget nih Kakek”. Sang kakek bilang ongkos dia kurang tiga ribu. Aku diminta membayarinya. Wuih... baru ngobrol satu dua kata dah minta dibayarin. Gayanya uangnya kurang, padahal bajunya necis Oy. Bawa ayam jago lagi. Habis beli ayam jago sepertinya. Sang kakek mendesak. Aku gak mengiyakan. Aku Cuma tersenyum. Tersenyum aneh. Asli gak tulus banget senyumku. Ah, ni Kakek, aku Cuma membawa uang lima puluh ribu. Cuma itu satu-satunya uang terakhirku. Tadi sudah terpakai empat belas ribu buat ongkos naik bus. Tinggal tiga puluh enam ribu nih. Tiga puluh enam ribu ini untuk naik bus Jombang-Babat sembilan ribu. Trus naik bus lagi Babat-Semlaran tiga ribu. Trus naik Ojek Semlaran-Rumah lima belas ribu. 9 + 3 + 15 = 27. Ah, masih cukup kok. Bersyukur juga aku berangkat dari rumah ke terminal Ponorogo diantar temanku. Jadi aku bebas bayar ongkos ojek lima belas ribu. -Teman adalah kekayaan yang tak ternilai-.
            “Dia memelihara ayam mungkin Luk... Atau dia cuma tinggal berdua sama istrinya. Anak-anaknya pergi jauh, jadi dia sendiri yang belanja.” Hati baikku berhusnudzon.
            Sampai di terminal, aku segera turun.
            “Pinten Pak?”, tanyaku kepada sang sopir angkutan
            “Gangsal ewu”, jawab Pak sopir.
            Aku memberikan uang sepuluh ribu kepada Pak Sopir.
            “Kalian Mbah niku Pak.”, ucapku sambil memberikan uang sepuluh ribuan. Wah, hati baikku nih yang menang.
            Ternyata uangku masih kembali dua ribu. Berarti ongkos buat si kakek tadi ya Cuma tiga ribu.
            Aku terus berjalan memasuki terminal khusus untuk bus. Sempat kutengok ke belakang. Sang kakek masih berjalan agak jauh di belakangku. Arah yang dia tuju sama seperti arahku. Apa mungkin sang kakek tersebut mau naik bus? Hendak kemana dia?
Lalu Beberapa menit setelah itu aku tak tahu kemana perginya kakek tersebut.