Puisi adalah jiwa. Luapan perasaan. Dalam puisi ada cinta, nostalgia, ideologi, dan rasa syukur.
Tulislah apa yang ada di pikiranmu. Luapkan dalam coretan-coretan indahmu. Dan sepuluh tahun lagi mungkin kau akan tertawa atau bahkan mungkin coretan itu akan menjadi sebuah memori yang mahal. menjadi sebuah cerita tersendiri yang bisa dikenang. Yups, selagi kita masih bisa menulis, kenapa kita tidak meluapkannya dalam coretan-coretan? Meskipun coretan itu hanya bisa kita nikmati sendiri (hehe... menghibur diri ni?)
Pernah frustasi gara-gara karyamu gak pernah diterima? Nasiiib... nasiiib. Kalo iya, berarti kamu senasib dong ma aku. Asiiik ada temen senasib nih! Ceritanya aku lagi frustasi nih lianna (kan biasanya pake coz, sekarang ganti lianna ja biar lebih..... apa ya? lebih bernuansa kearaban gitu deh! Biar ga English mulu!) puisiku ga diterima di majalah yang pernah kukirim, akhirnya bikin blog sendiri ja deeeh. Yaah, nikmati sendirilah.
Jika ada orang bicara mengenai kita di belakang..., itu adalah tanda bahwa kita sudah ada di depan...
Saat orang bicara merendahkan diri kita..., itu adalah tanda bahwa kita sudah berada di tempat yan lebih tinggi...
Saat orang bicara dengan nada iri mengenai kita..., itu adalah tanda bahwa kita sudah jauh lebih baik dari mereka...
Saat orang bicara buruk mengenai kita, padahal kita tidak pernah mengusik kehidupan mereka..., itu adalah tanda bahwa kehidupan kita sebenarnya lebih indah dari mereka...
Ku bertanya pada malam Ku bertanya pada bintang Sedang apa kau duhai sayangku *courtesy of LirikLaguIndonesia.Net Di sini angin menyampaikan Salammu salam sayang Salam sejuta cinta dan rindu
Sabar sabar sabarlah sayangku Semua ini kan cepat berlalu
Sebutlah namaku di setiap nafasmu Ku kan datang kepadamu sayang Panggil panggil aku segenap rasamu Dan rasakan aku membelaimu
Pejamkanlah matamu Dan kau tenangkan hatimu Dan kau rasakan aku memelukmu
Sabar sabar sabarlah sayangku Semua ini kan cepat berlalu
Sebutlah namaku di setiap nafasmu Ku kan datang kepadamu sayang Panggil panggil aku segenap rasamu Dan rasakan aku membelaimu
(sebutlah namaku di setiap nafasmu Ku kan datang kepadamu sayang Panggil panggil aku segenap rasamu Dan rasakan aku membelaimu)
Sebutlah namaku di setiap nafasmu Ku kan datang kepadamu sayang Panggil panggil aku segenap rasamu Dan rasakan aku membelaimu
Hari ini aku mendapat pelajaran yang sangat berharga.
Pelajaran agar aku bersyukur. Agar aku tidak kufur nikmat.
Yups, kala aku merasa sendiri menjalani hidup ini. Tak
ada saudara maupun keluarga dekat yang menjengukku, seperti teman-temanku yang
dikunjungi keluarganya, saudara-saudaranya, bulek pakliknya. Ah, ingin rasanya
aku seperti itu. Dijenguk, dirangkul, dido’akan, hangat. Penuh dengan nuansa
kekeluargaan. Saling menyayangi dan memperhatikan. “Kapan ya kakakku
menjengukku?”, harapku sekilas. “Ah, aku tidak boleh egois. Semua punya
kesibukan masing-masing.”, tepisku agar aku tetap berpositif thinking.
Dan petang ini anak itu datang. Penuh dengan kesopanan.
Kesopanan yang wajar. Tulus. Bukan pura-pura. Juga bukan untuk berPDKT ataupun caper.
Zainab namanya. Oh, ternyata dia tidak sendiri. Ada orang
lain di belakangnya. Zaitu. Awalnya kupikir mereka kembar. Eh, ternyata bukan.
Tapi emang mirip banget.
Zaenab dan zaitun. Ah, aku salut dengan mereka. Salut
dengan prinsip yang mereka pegang. Kemandirian, kejujuran dan kesungguhan yang
luar biasa. Kejujuran dan kesungguhan dalam belajar yang membuatku salut. Penuh
dengan semangat dan pantang menyerah. Yups, mereka benar-benar hebat. Mereka
jauh lenih kuat dariku.
Ya, ketika aku berandai-andai dan merenungi diriku yang
sendirian, Allah mengirimku sebuah cermin. Cermin yang bernama Zainab dan
Zaitun. Agar aku berkaca pada mereka berdua. Seakan Allah berkata kepadaku,
“Itu Lho Luk! Lihat! Renungkan! Zainab dan Zaitun yang tak pernah pulang selama
empat tahun dan hanya dijenguk sekali! Bersyukur Luk! Bersyukur!”
Dan akupun asik berbincang dengan mereka. Mendengar
cerita dan kisah hidup mereka berdua. Cerita tentang bapak ibu mereka. Mereka
daftar ke pondok diantar Bapaknya, dan hanya ditunggui satu jam, setelah itu
langsung ditinggal. Kok hampir mirip ya denganku. Daftar langsung ditinggal.
Segala perlengkapan urus sendiri. Cari teman. Urus sama temannya. Mungkin biar
mandiri.
Terimakasih ya Rabb atas pelajaran hidup yang sangat
berharga yang kau berikan pada hamba petang ini.
Sore ini hujan mengguyur bumi. Aku asik
membaca majalah Gontor. Membaca pidato Ustadz KH. Imam Zarkasyi. Subhanallah,
pribadi yang luar biasa. Ah, mampukah aku seperti beliau? Ikhlas berjuang dalam
kondisi apapun. Amin. Semoga aku bisa menjadi pribadi seperti beliau.
Selesai
membaca pidato ustadz KH. Imam Zarkasyi, aku menemukan sebuah artikel menarik
tentang manfaat madu yang sungguh luar biasa. Dan pikiranku melayang. Ya, madu.
Beberapa bulan yang lalu temanku membeli madu satu botol dengan harga 30.000.
Kata yang menjual sih itu madu asli. Yah, namanya juga manusia. Demi uang ada
saja yang tega menghalalkan kebohongan untuk mengisi perut. Untuk uang. Untuk
dunia. Kata my teacher, madu yang benar-benar asli itu mahal harganya. Satu
botol kecil saja bisa mencapai dua ratusan ribu.
Aku
jadi ingat, dulu ibuku pernah makan madu. Benar-benar asli baru diambil dari
“unthuk” lebah. Di samping rumah tetanggaku ada sarang lebah madu. Trus madunya
diambil. Ibuku dikasih. Suruh meres sendiri, katanya. Setelah minum madu efeknya
langsung demam.
Yang
terpikirkan olehku saat ini adalah, bagaimana caranya aku bisa menjadi peternak
lebah madu? Lalu aku menjualnya dengan harga yang murah tanpa campuran
sedikitpun, jadi semua kalangan bisa merasakan manfaat madu. Bukan hanya orang
yang berkantong tebal saja. Selanjutnya aku akan membuat klinik herbal tanpa
bahan kimia sedikitpun. Semua memakai cara-cara seperti yang pernah dilakukan
oleh Rasulullah. Aku akan menanam berbagai jenis tanaman obat. Dan pastinya
pupuknya benar-benar pupuk organik. Tak akan kubiarkan tanamanku disentuh oleh
pestisida. Berarti aku harus menemukan cara terbaik dan alami untuk menangkal
hama tanaman.
Selanjutnya
aku akan memproduksi makanan dan buah-buahan yang sehat tanpa pengawet. Aku juga
akan menjual bibitnya untuk mengatasi jenis buah-buahan yang mudah busuk. Jadi
setiap orang bisa menanam di rumahnya. Bisa menikmati buah-buahan tanpa
menggunakan bahan pengawet.
Aku juga akan membuat pasta gigi dan perlengkapan
lainnya. Semua halalan thoyyiban. Menyehatkan. Bagi siapa saja yang mau belajar
cara pembuatannya, aku akan dengan senang hati mengajarkan. Jika aku tak sempat
mengajarkan, ada rekan kerjaku yang akan menjelaskan.
Lalu
aku juga akan beternak ayam, kambing dan sapi perah. Semuanya tanpa bahan
kimia. Makanannya alami. Tanpa suntikan ataupun sentrat yang membuat mereka
cepat gemuk.
Aku
juga akan memiliki sawah berhektar-hektar yang ditanami padi. Tentunya padi
yang tanpa pupuk kimia dan bebas pestisida. Padi yang jika dimasak, akan
menjadi nasi yang menyehatkan.
Hmmm….
Aku sadar, saat ini aku hanya bermimpi. Namun, aku yakin mimpi itu akan menjadi
kenyataan. Kalaulah mimpi itu tidak terjadi
padaku, aku yakin akan ada orang lain yang berhasil mewujudkan mimpiku
tersebut. Yups, tentunya semua itu tak lepas dari ketentuan dan kehendak Allah.
Coba
deh perhatikan semua makanan yang kamu makan sehari-hari, dan barang-barang
yang kamu pakai. Mulai dari nasi. Sudahkah nasimu bebas dari racun? Jawabnya
BELUM! Tahukan kau, berapa banyak pestisida yang diserap oleh padi, hingga tak
seekor ulat pun sudi memakannya? Ulat saja tak mau memakannya, tapi anehnya
manusia dengan nikmat melahapnya.
Ikan.
Yakinkah dirimu bahwa ikan yang kamu makan itu bebas formalin? Berapa lama ikan
tersebut berada di kapal? Satu minggu? Dua mingu? Bahkan bisa sampai dua puluh
hari. Apa benar para nelayan di tengah laut sana tidak membawa bekal formalin?
Apa benar ikan-ikan itu hanya diawetkan dengan es dan garam? Ah, aku tidak
yakin. (Maaf bapak-bapak nelayan, bukannya aku jahat kepadamu, juga bukannya
aku tak percaya padamu, juga bukan berarti aku sok benar, tapi sungguh aku
hanya ingin kemaslahatan. Agar tidak ada yang dirugikan. Agar semua bernilai
ibadah.)
Dan
sungguh mengenaskan kala aku melihat ada yang begitu menikmati ikan-ikan dan
daging yang telah berbulan-bulan mendekam dalam kaleng. Kalaulah ikan-ikan itu
bisa bicara, aku yakin mereka pasti akan berteriak “HEI, JANGAN MAKAN AKU, AKU
SUDAH BERLUMURAN RACUN! TIDAKKAH KAU BISA MERASAKAN FORMALIN YANG TERSERAP DI
TUBUHKU?! STOP! JANGAN MAKAN AKU!”
Juga
buah-buahan itu. Mereka bilang buah-buahan import. Anggur merah import. Apel
merah import. Ah, cobalah petik buah anggur dari pohonnya. Lalu biarkan tanpa
bahan pengawet. Tahan berapa lama buah itu? Dan tidakkah kau pikir, buah anggur
merah, jeruk, apel merah dan sebagainya itu didatangkan dari luar negeri sampai
hadir di hadapanmu, berapa lama waktunya? Apalagi buah-buahan yang mendekam di
dalam kaleng? Benarkah jika buah-buahan itu dimasukkan ke dalam kaleng akan
tetap segar selama berhari-hari bahkan berbulan-bulan? Ah, aku gak yakin.