Senin, 14 Januari 2018
Kembali
aku ingin bercerita. Sebuah peristiwa yag cukup berkesan di mataku.
Ceritanya
waktu iku aku dalam perjalanan pulang dari Surabaya menuju Lamongan, Sabtu sore. Waktunya para pekerja, pelajar
dan mahasiswa berakhir pekan. Penumpang Bus Dali Prima jurusan Bungurasih –
Bojonegoro yang kunaiki membludak. Bahkan penumpang yang berdiri di dalam bus
pun terpaksa harus saling berhimpitan. Di saat kondektur berhimpit melewati
seorang wanita yang cukup muda di dekatku, wanita tersebut berteriak kesakitan.
Kupikir kakinya terinjak oleh sang kondektur. Ternyata lebih parah dari itu,
kaki wanita tersebut mengalami kram. Dia duduk menangis kesakitan. Kasihan.
Sang kondektur dan beberapa penumpang yang berada di dekatnya ikut membantu. Seorang
penumpang laki-laki pun berdiri memberikan tempat duduk untuk wanita tersebut.
Pastinya ini menjadi pengalaman yang menyedihkan untuknya.
Sampai
di pertigaan Semlaran aku turun dari bus. Suamiku tengah menjemputku dan
menungguku di depan Alfamart. Kami singgah di sebuah mushollah untuk
melaksanakan sholat Maghrib berjamaah. Kemudian kembali singgah ke penjual roti
bakar Bandung. Selanjutnya kami melanjutkan perjalanan dan singgah lagi di toko
Baby Shop. Di toko inilah mata dan telingaku menjadi saksi atas kebohongan
seseorang.
Sampai
di depan kasir aku harus mengantri karena di depanku ada dua orang pembeli yang
siap untuk membayar. Seorang ibu muda berbadan gemuk pendek berbaju lengan
pendek warna putih dan celana agak pendek yang juga berwarna putih dengan
rambut warna keemasan terikat sanggul berdiri di sampingku. Nampaknya barang
belanjaan ibu tersebut telah dihitung hingga seorang kasir bertanya “Uangnya
mbak?”. Dan ibu muda tersebut mengatakan bahwa dia sudah memberikan uang 50
ribuan. Namun kedua kasir tidak ada yang merasa menerima uang. Si ibu tetap
kekeh mengatakan bahwa dia sudah menyerahkan uang 50 ribuan, bahkan dia
memeriksa barang-barang yang ada di atas meja, barangkali uangnya terselip di
antara barang-barang yang ada di atas meja. Bukan Cuma itu saja. Dia bahkan
mengeluarkan semua uang di dompetnya yang berjumlah 550 ribu. Dia mengatakan
uangnya tadi berjumlah 600 ribu dan kini tinggal 550 ribu karena sudah dia
bayarkan. Aku sendiri sempat bingung, siapa sebenarnya yang lupa. Apa dua orang
kasir tersebut yang lupa atau si ibu tersebut? Atau mungkinkah si ibu tersebut
berbohong? Seorang ibu yang tengah berdiri di samping meja kasir pun hanya
terdiam tak berani berucap. Hingga akhirnya sang kasir mengalah dan memberikan
uang kembalian kepada ibu tersebut dengan penuh keterpaksaan dan tanpa rasa
ikhlas. Dan si ibu pun berlalu keluar toko sambil terus meyakinkan seolah-olah
dia tidak berbohong.
Ketika
hendak pulang, aku menceritakan peristiwa yang kulihat di kasir tadi kepada
suamiku. “O.... orangnya tadi ketawa ketawa waktu keluar dari toko.” , koment
suami
Astaghfirullah....
berarti si ibu tadi berbohong. Mana mungkin seseorang yang sedang mengalami
konflik semacam itu bisa ketawa ketawa. Kalau dia jujur, harusnya dia tegang
dong. Harusnya dia gak bisa ketawa. Apa yang diketawain coba? Kecuali dia
sedang tersenyum gembira merayakan keberhasilan tipuan dan dramanya. Keren
banget aktingnya. Banget banget keren. Akting dalam kejahatan. Enggak banget
deh. Naudzubillah.....