DI BALIK KONTROVERSI GOLPUT
A. PENDAHULUAN
Fatwa haram golput akhirnya dikeluarkan oleh pihak MUI pada akhir Januari 2009 lalu. Berbagai penolakan yang muncul tentang pengharaman golput, ternyata tidak menghalangi MUI untuk mengeluarkan ‘fatwa kontroversial’ tersebut. Opini tentang pengharaman golput ini sebenarnya sudah muncul sejak akhir tahun 2008 lalu. Fatwa ini dikeluarkan sebagai salah satu upaya untuk menghindari aksi golput ‘berjamaah’ pada pemilu nanti.
Kekhawatiran terhadap adanya aksi golput merupakan suatu hal yang wajar. Dalam Pilkada yang tiga hari sekali diselenggarakan di seluruh
Tentu maraknya golput ini sangat merisaukan sebagian pihak yang berkepentingan dengan Pesta Demokrasi 2009. Pasalnya, Pemilu dianggap kurang sukses jika berjalan lancar tetapi minim partisipasi masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya. Sebab, jika golput menjadi ‘pemenang’, penguasa atau wakil rakyat yang terpilih tentu dianggap kurang legitimated.
Wajarlah jika kemudian sebagian politikus menggunakan berbagai cara demi mewujudkan ambisi politiknya pada Pemilu 2009. Kampanye dan iklan politik pun kemudian dilakukan dengan jor-joran. Tujuannya jelas untuk mendulang suara pemilih sebanyak-banyaknya. Namun, sekali lagi, itu tidak akan terjadi jika masyarakat banyak yang golput. Karena itulah, ada yang kemudian ‘tergoda’ untuk menggunakan ‘bahasa agama’, yakni ‘fatwa’ untuk kepentingan politiknya dan partainya dalam Pemilu 2009. Seolah-olah, ‘perang terhadap golput’ harus dilancarkan, di antaranya melalui fatwa MUI. Fatwa diharapkan menjadi ‘jurus ampuh’ yang bisa mencairkan kebekuan dan kejumudan sikap masyarakat terhadap demokrasi. Jadinya, ‘fatwa’ sekadar dijadikan alat untuk kepentingan politik pragmatis individu maupun parpol peserta Pemilu, bukan untuk kemaslahatan umat, apalagi untuk alasan-alasan yang bersifat syar’i; seperti untuk tegaknya syariah Islam di Indonesia.
Melihat fenomena tersebut, maka penulis merasa perlu adanya sebuah pengamatan mendalam tentang golput itu sendiri dari berbagai pihak, dan dari berbagai aspek. Penulis berusaha untuk mengungkap beberapa pertanyaan yang dirasa perlu untuk dikaji. Apa sesungguhnya yang sedang terjadi di negeri ini? Mengapa rakyat cenderung apatis dengan Pemilu/Pilkada? Mengapa pula demokrasi tak kunjung mensejahterakan rakyat? Apa sebetulnya yang dikehendaki oleh mayoritas masyarakat kita? Bagaimana pula nasib partai-partai Islam ke depan?
B. METODE
Adapun metode yang digunakan penulis dalam menyingkap hal ini adalah:
1. Metode komparatif.
Penulis mencari berbagai sumber informasi dari beberapa pihak, dan membandingkannya, untuk kemudian diambil sebuah kesimpulan akhir. Dalam mencari sumber informasi pun, penulis condong mendapatkan dari sumber-sumber pustaka (bacaan).
2. Metode induktif.
Penulis mengambil konklusi atau kesimpulan yang dimulai dari suatu gejala dan fakta satu persatu, yang kemudian dapat diambil suatu generalisasi (ketentuan umum) sebagai suatu konklusi.
B. POKOK BAHASAN
Majlis Ulama Indonesia yang orang
Golput yang dibicarakan di sini adalah tidak menggunakan hak pilihnya untuk memilih calon-calon yang diusung oleh berbagai partai untuk menjadi anggota DPR RI, DPR-D dan kandidat Presiden serta wakilnya.
I. Sekilas Sejarah Golput
Dari usulan ketua MPR RI DR. Hidayat Nurwahid agar MUI dan beberapa ormas Islam mengeluarkan fatwa haramnya golput, yang kemudian berkembang menjadi perdebatan sengit, antara kelompok yang memahami bahwa masalah politik bukan domainnya negara atau MUI, artinya tidak layak bagi MUI mengeluarkan fatwa haramnya golput. Dan kelompok yang memahami bahwa masalah politik adalah masalah yang integral dan tidak berpisah dengan syari’ah Islam, oleh karena itu fatwa MUI dibutuhkan sebagai rujukan bagi umat Islam dalam menggunakan hak pilihnya dengan baik.
Isu ini kemudian sempat meredup, seiring dengan berkecamuknya pembantaian tentara
Perdebatan tentang haramnya golput kembali menghangat. Kalau dulu yang jadi sasaran tembak adalah ketua MPR, tetapi sekarang bertambah dengan MUI, tapi MUI itu bukan satu dua orang ulama, ada 700 ulama se-Indonesia yang berkumpul dalam sidang tersebut. Dan mereka sepakat dengan haramnya golput bersyarat.
II. Alasan di Balik Golput
Maraknya golput tentu bukan sekadar gejala kebetulan. Sebab, saat ini masyarakat tampaknya mulai ‘melek politik’. Masyarakat mulai sadar, bahwa demokrasi tidak menjanjikan apa-apa; tidak kemakmuran, kesejahteraan apalagi keadilan. Demokrasi hanya menjanjikan kemiskinan dan penderitaan. Demokrasi yang katanya menempatkan kedaulatan rakyat di atas segala-galanya justru sering ‘mempecundangi’ rakyat. Suara—bahkan jeritan hati—rakyat sering dikalahkan oleh suara para wakilnya di DPR. Misal: saat semua rakyat sepakat menolak kenaikan harga BBM, para wakilnya di DPR justru menyetujuinya. Yang menyakitkan, kebijakan menaikkan harga BBM ini, di samping diberlakukan pada saat kehidupan masyarakat yang serba sulit, juga disinyalir demi memenuhi desakan para pengusaha minyak asing di dalam negeri. Saat rakyat menolak privatisasi dan penjualan BUMN kepada pihak asing, para wakil rakyat di DPR justru semangat mendukungnya. Para wakil rakyatlah yang juga ‘berjasa’ dalam mengesahkan sejumlah UU yang justru berpotensi merugikan rakyat seperti UU Migas, UU SDA, UU Penanaman Modal, UU Listrik (meski kemudian dibatalkan oleh MK), dll.[3]
Singkatnya, rakyat mulai menyadari bahwa keberadaan penguasa dan wakilnya di parlemen seolah antara ada dan tidaknya sama. Karena itu, dalam pandangan mereka, memilih atau tidak memilih adalah sama saja; tidak berpengaruh terhadap nasib mereka yang semakin tragis. Itulah alasan sebenarnya di balik maraknya golput selama ini, yang diperkirakan semakin meningkat pada Pemilu 2009 nanti.
Di samping beberapa alasan di atas, maraknya golput setidaknya menunjukkan dua hal. Pertama: Maraknya golput merupakan peringatan bagi parpol peserta Pemilu. Parpol saat ini mengalami krisis kepercayaan dari masyarakat. Masyarakat sudah mulai memahami bahwa keberadaan parpol lebih dijadikan sebagai ‘kuda tunggangan’ yang super komersial, siap ‘direntalkan’ kepada siapa saja yang ingin berkuasa—tentu yang memiliki modal melimpah—dan bukan unuk memperjuangkan kepentingan rakyat.
Kedua: alasan orang untuk golput memang beragam.
Lebih dari itu, Pemilu/Pilkada dalam sistem demokrasi saat ini pada faktanya telah melahirkan dampak negatif: masyarakat terkotak-kotak dan hubungan sosial menjadi renggang. Yang lebih parah, Pemilu/Pilkada bahkan sering melahirkan konflik sosial, yang tidak jarang mengarah pada bentrokan fisik dan tindakan anarkis. Sejumlah konflik berbau kekerasan di berbagai daerah
Golput adalah suatu pilihan politik dan golput tidak ada urusannya dengan agama. Mengaitkan golput dengan agama hanyalah kerjaan elite politik
yang gagap, waswas, dan bimbang karena mereka takut tidak memperoleh dukungan politik dari rakyat. Karena itu, golput menjadi sasaran fatwa para penafsir agama.
Golput adalah Hak dan Bukan Kewajiban. Dengan demikian fatwa MUI yang mengharamkan golput bertentangan dengan akidah demokrasi dan ajarannya, serta melampaui batas dalam perspektif syariat Islam. Syariat Islam mengharamkan demokrasi, karena demokrasi adalah syirku fil hukmi (menyekutukan Allah swt dalam membuat hukum). Buktinya, dalam sistem demokrasi, setiap aturan yang dibuat berdasarkan voting atau persetujuan parlemen. Padahal soal halal-haram sumbernya adalah Al-Quran dan Sunnah, bukan persetujuan anggota parlemen.
Memang kita wajib mempunyai pemimpin, tetapi cara dan kriterianya sudah dijelaskan dalam Islam. Cara memilih pemimpin bukan dengan one man one vote, melainkan melalui ahlul halli wal aqdi atau dewan syuro. Karena merekalah yang mengerti kriteria pemimpin menurut syariat. Kalau satu orang satu suara, maka suara seorang ulama setara dengan suara seorang pelacur. Ini adalah penghinaan terhadap ulama. Pelacur akan memilih pemimpinnya dari kalangan mereka. Sedangkan ulama pasti memilih pemimpin dari kalangan mereka juga. Lalu bagaimana kalau suatu negeri lebih banyak pelacurnya?
III. Penolakan Terhadap Golput
Golput memang hak pribadi. Hak yang diberikan oleh negara kepada warganya, undang-undang pemilu sendiri menyebut bahwa memilih itu hak bukan kewajiban. Orang yang punya hak bisa menggunakan haknya atau tidak, oleh karena itu tidak mungkin hak itu dihukumi haram ketika orang itu tidak mau mengambilnya.
Logika sederhananya, kalau seorang karyawan berhak mendapat gaji dari kantornya, lalu gaji itu tidak dia ambil, tentu saja perbuatannya tidak bisa dicap sebagai tindakan haram. Menjadi lain halnya kalau memilih menjadi kewajiban, maka ketika dia tidak tunaikan kewajibannya baru bisa disebut haram.
Sekilas nampaknya pemikiran tersebut logis, kalau ditinjau dari sudut hak dan kewajiban, tetapi akan menjadi berbeda ketika pendekatannya dari sudut efek yang ditimbulkan ketika hak itu tidak ditunaikan.
Memilih dan tidak memang hak pribadi, tetapi kalau kemudian ramai-ramai ummat Islam tidak menggunakan haknya atau golput, padahal dari sederetan calon legislatif ataupun calon pemimpin ada orang yang dalam bahasa MUI memenuhi syarat ideal, seperti beriman, bertaqwa, jujur, terpercaya, aktif dan aspiratif, mempunyai kemampuan dan memperjuangkan kepentingan umat Islam, maka ini sama saja, secara tidak langsung memberikan kesempatan kepada calon-calon yang dalam bahasa MUI tidak memenuhi syarat ideal bakal menjadi pemimpin dan wakil di gedung dewan. Secara pribadi memang tidak terlibat, tetapi efek dari golput itu membuat naiknya calon yg zhalim.
Keputusan Sidang Ijtima Ulama MUI bukan mengharamkan golput secara total, tetapi pengharaman yang bersyarat; ketika ada calon yang sesuai dengan syarat ideal, ummat Islam wajib memilih mereka dan otomatis pula haram kalau tidak memilih, dan apabila ada calon yang tidak sesuai dengan syarat ideal, maka ummat Islam haram memilihnya dan otomatis wajib untuk tidak memilih.
Fatwa MUI bukanlah sesuatu yang mengikat setiap warga negara, fatwa MUI lebih sekadar menjadi rujukan ummat Islam, yang mau atau tidak mau mengikutinya tidak ada sangsinya sama sekali. Karena itulah, keputusan ini tidak menjadi penghambat demokrasi seperti yang dituduhkan sebagian penantangnya, karena sama sekali tidak memberikan sangsi kepada orang yang tidak melakukannya.
Salah satu kritikan kelompok yang menantang fatwa MUI, mereka beranggapan bahwa halal haram ditangan Allah, bukan manusia atau MUI yang menentukan. Pendapat ini menjadi benar kalau kita memahami bahwa sumber hukum Islam apa yang terdapat dalam al Quran dan sunnah. Bahkan Rasulullah saja tidak diberikan wewenang menentukan halal dan haram, Allah turunkan ayat pertama dari surah at Tahrim sebagai teguran kepada Rasulullah yang ketika itu sempat ingin mengharamkan dirinya minum madu demi menyenangkan hati isteri-isterinya.
Tetapi anggapan itu menjadi salah, kalau fatwa yang dikeluarkan MUI difahami mengambil alih hak Allah dalam menetapkan halal dan haram. MUI bukan membuat hukum sendiri, tetapi mengambil kesimpulan hukum berdasarkan ayat Allah dan sunnah Rasulullah.
Jadi halal dan haram adalah hak Allah, tetapi tidak dijabarkan Allah secara terperinci dalam ayat dan hadits Rasulullah, makanya MUI dengan pendekatan disiplin ilmu syari’ah harus mengambil kesimpulan hukum (berijtihad) pada perkara-perkara yang tidak dijelaskan Allah secara terperinci, agar setiap masalah jelas statusnya dari sudut syari’ah Islam. Karena itu memang amanah anggota MUI, memberikan petunjuk kepada ummatnya dalam menyikapi berbagai masalah dari sudut syari’ah Islam.
Dan satu hal yang mesti diingat, masalah politik jangan dianggap bukan bagian dari Islam, karenanya MUI tidak layak bicara politik, justru sebaliknya ajaran Islam adalah ajaran yang integral, tidak memisah dan memilah masalah akhirat dan masalah dunia, Islam berbicara dan menjawab semua masalah, Allah berfirman, “dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS. an Nahl : 89)
Memang, tidak ada partai yang betul-betul menjanjikan. Namun, Golput bukanlah solusi dalam menghadapi hal tersebut. Misalkan jumlah pemilih, baik yang golput maupun yang tidak adalah 100 orang. Dan ada tiga partai peserta pemilu, partai A, B dan C. Katakanlah dari jumlah 100 orang itu perolehan suara (votes) masing-masing partai adalah:
Partai A sebanyak 40 suara, yang berarti 40%
Partai B sebanyak 15 suara, yang berarti 15%
Partai C sebanyak 15 suara, yang berarti 15%
Yang tidak memilih (golput) sebanyak 30 orang, yang berarti 30%
Hasil di atas seharusnya menunjukkan tidak ada partai dengan suara mayoritas (lebih besar dari 50%) . Tapi karena ada 30 orang yang golput maka yang terhitung hanya 70 pemilih, sehingga persentase perolehan masing-masing partai berubah menjadi:
Partai A memperoleh suara 40 dari 70 = 57,14% (mayoritas)
Partai B memperoleh suara 15 dari 70 = 21,43%
Partai C memperoleh suara 15 dari 70 = 21,43%
Ini menyebabkan partai A memperoleh suara “semu” sebanyak 57,14% dari 30 orang golput yaitu 57,14% x 30 = 17,14%. Berarti partai A memperoleh suara sebesar ini dari orang-orang yang sama sekali tidak memilih partai A. Selain itu akibatnya partai yang mestinya tidak mayoritas akan menjadi mayoritas (57,14%), padahal dalam kenyataannya partai tersebut tidak memperoleh dukungan mayoritas pemilih. Jadi suara golput bukannya tidak ada, namun terpecah berdasarkan komposisi yang terjadi. Dalam kasus ini, satu suara non golput 100% akan menjadi milik partai yang dipilihnya… namun satu suara golput akan terpecah 57,14% untuk partai A dan masing-masing sebesar 21,43% untuk partai B dan C.[4]
Semakin besar jumlah Golput maka komposisi suara yang terjadi akan semakin jauh dari kenyataan. Jika partai yang leading adalah partai busuk, maka mereka yang golput itu, dengan tanpa memilih sebetulnya telah ikut memilih partai busuk itu.
D. KESIMPULAN
Apa yang dilakukan oleh MUI tidak lain adalah bentuk kepedulian mereka kepada ummatnya, agar ummat Islam tidak salah langkah dalam menyikapi pemilu yang sebentar lagi akan kita lewati, agar umat Islam memberikan kontribusi bagi kemaslahatan bangsa ini, karena memilih ataupun tidak semuanya tentu saja memberikan efek ke depannya, entah baik ataupun buruk.
Memang, realita yang ada sekarang menunjukkan bahwa mayoritas Parpol maupun pemerintah hanya mementingkan diri dan kelompoknya sendiri untuk keuntungan mereka sendiri. Keberadaan Parpol dan wakil rakyat yang benar-benar memperjuangkan kesejahteraan rakyat merupakan suatu fenomena yang langka. Namun Golput bukanlah solusi untuk menyelesaikan kebobrokan itu. Kita masih punya pilihan untuk memilih satu hal yang madhorotnya lebih sedikit diantara banyak hal yang menyimpan banyak kemadharatan. Kita hendaknya bersikap optimis dan tidak lari dari kenyataan. Karena jika kita memilih untuk Golput, berarti secara tidak langsung kita telah menyumbang suara bagi partai-partai busuk.
E. DAFTAR PUSTAKA
http://fajrifm.com/new/islamul-yaum/din-golput-tidak-bisa-dikaitkan-halal-haram.html
Al-Qur'an
Tidak ada komentar:
Posting Komentar