Puisi adalah jiwa. Luapan perasaan. Dalam puisi ada cinta, nostalgia, ideologi, dan rasa syukur.
Tulislah apa yang ada di pikiranmu. Luapkan dalam coretan-coretan indahmu. Dan sepuluh tahun lagi mungkin kau akan tertawa atau bahkan mungkin coretan itu akan menjadi sebuah memori yang mahal. menjadi sebuah cerita tersendiri yang bisa dikenang. Yups, selagi kita masih bisa menulis, kenapa kita tidak meluapkannya dalam coretan-coretan? Meskipun coretan itu hanya bisa kita nikmati sendiri (hehe... menghibur diri ni?)
Pernah frustasi gara-gara karyamu gak pernah diterima? Nasiiib... nasiiib. Kalo iya, berarti kamu senasib dong ma aku. Asiiik ada temen senasib nih! Ceritanya aku lagi frustasi nih lianna (kan biasanya pake coz, sekarang ganti lianna ja biar lebih..... apa ya? lebih bernuansa kearaban gitu deh! Biar ga English mulu!) puisiku ga diterima di majalah yang pernah kukirim, akhirnya bikin blog sendiri ja deeeh. Yaah, nikmati sendirilah.
Suatu
hari seorang pria muda berumur sekitar 30 tahunan tengah duduk di dalam bus
umum. Bus tersebut lumayan ramai. Semua tempat duduk terisi penuh. Namun, sopir
dan kondektur bus tampaknya tak rela membiarkan jalan kecil antara deretan
kursi dalam bus kosong. Beberapa penumpang beridiri karena tak mendapatkan
tempat duduk. Hingga ada seorang nenek tua menaiki bus. Karena semua kursi
penuh, terpaksa si nenek tersebut berdiri. Si nenek berdiri di dekat pria muda tersebut.
Dan pria muda tersebut hanya melihat sekilas. Cuek. Entah apa yang dia
pikirkan. 5 menit bus melaju, 10 menit hingga 30 menit. Tak seorangpun
memberikan tempat duduknya untuk sang nenek.
Bus berhenti kembali. Seorang
penumpang menaiki bus. Kali ini yang naik bukan lagi nenek tua. Tapi seorang
bapak umur 40 tahunan. Sang bapak mengenakan kemeja rapi dan jas necis. Ia
melihat ke seluruh penumpang. Ah, dia menemukan seseorang yang sepertinya tak
asing baginya.
“Doni”, sapa sang bapak kepada
seorang pria muda yang tengah duduk manis di atas kursi. O... nama pria muda
tadi Doni.
“Eh, Pak?”, Doni tampak terkejut
melihat bapak tersebut. “Kenapa mobil Bapak, kok naik bus kota?”, tanya Doni
“Ah, mobilku mogok di jalan.
Terpaksa deh naik bus.”
“Mari Pak, silahkan!”, Doni berdiri
dari kursi yang sejak tadi didudukinya, mempersilahkan si bapak untuk duduk,
yang ternyata si bapak tadi adalah bosnya di kantor tempat Doni bekerja.
Dan lihatlah, seorang nenek tua
menahan letih berdiri di dalam bus. Mengapa Doni tidak memberikan tempat
duduknya kepada nenek tua itu sejak tadi? Bukankah nenek tersebut lebih berhak
untuk dipersilahkan duduk dari pada bosnya?! Ah, dasar Doni! Gak tulus banget
sih niatnya membantu. Kalaulah dia tulus membantu, pastinya dia sudah sejak
tadi memberikan tempat duduknya kepada sang nenek. Mentang-mentang bosnya, dia
rela berdiri dan memberikan kursi yang didudukinya. Hah!! Penjilat!! Topeng!!
Palsu!! Bulshit!! Penipu!! Hatinya memuakkan!! Mental penjilat!! Gak tulus
blass!! Penumpang bus lainnya juga sama!! Masa gak ada satupun yang rela
membantu si nenek. Egois semua!!
Semoga kita bukan termasuk
orang-orang yang seperti Doni. Yang memberikan bantuan tanpa ketulusan. Yang memberikan
bantuan karena menjilat. Yang memberikan bantuan karena mengharap balasan jasa
dan segala tetek bengek lainnya.Yang memberikan bantuan karena keterpaksaan.
Semoga kita termasuk orang-orang
yang tulus. Sayang kepada siapapun tanpa pandang si kaya dan si miskin.
Membantu karena Allah. Benar-benar diniatkan untuk Allah. Bukan karena makhluk.
Juga bukan karena atasan maupun bos. Juga bukan karena golongan. Semua harus
karena Allah. Juga tak perlu mengharap balasan dari orang yang kita bantu. Dan
jangan marah kalau orang yang kita bantu tak membalas jasa kita, apalagi sampai
membencinya. Positif thinking ajalah.
Ahad, 1 Juli 2012 pukul 8.15 aku berangkat kembali ke
Ponorogo. Kepergianku kali ini juga berbeda. Ibuku tidak menangis. Padahal
biasanya, setiap kali aku berangkat ke Pondok atau ke Ponorogo, pasti ibuku
menangis. Meskipun aku sudah menghibur bahwa aku pergi bukan untuk bekerja
mencari uang. Aku hendak mencari ilmu, mencari pengalaman. Aku hendak belajar. Ah,
aku tahu kenapa ibuku kali ini tidak menangis. Karena beberapa hari sebelumnya
aku menjelaskan kepada ibuku kalau Ramadhan ini aku akan pulang. Mungkin
sekitar satu atau dua bulanan. Aku akan tinggal menemani Ma’ dan Bapak di
rumah. Rencanaku ke depan, aku akan mengajar di sekolah atau pondok terdekat.
Jadi aku bisa dengan mudah menjenguk Ma’ dan Bapak di rumah. Maklum, orangtuaku
tinggal berdua di rumah. Sudah sepuh lagi. Beberapa bulan lalu, Ma’ sama Bapak
sakit. Sakit pas barengan. Gak ada anak. Pengen ini pengen itu gak ada yang
melayani. Ah, aku berdosa.
Maafkan aku Bu’, Pak, hingga kini
aku belum bisa memberikan sesuatu yang berarti. Aku belum bisa menjadi anak
yang kau banggakan. Aku bahkan tak menemanimu kala engkau sakit.
Perjalanan dari rumah ke Semlaran
kutempuh dengan motor. Tepatnya aku diantar oleh tetanggaku. “Terimakasih Kak
Bas.”, hanya ucapan itu yang bisa kuberikan. Andaikan kau tahu bagaimana jalannya.
Wuihh... jalannya hancur oy. Rusak berat.
Melihat jalan yang rusak seperti
itu, aku jadi berpikir, “Berapa ya dulu anggaran untuk pembangunan jalan yang
kulalui ini? Kenapa cepat rusak begini? Apa benar semua anggaran tersebut
benar-benar digunakan untuk pembangunan jalan? Sudah benarkah laporan yang
tertulis dengan pengeluaran yang sebenarnya? Atau pengeluaran yang dipakai
memang sengaja diminimalisir dengan cara membuat pondasi jalan asal jadi dengan
bahan-bahan yang kurang berkualitas dan harga murah agar sebagian uang bisa
masuk kantong orang-orang tertentu?”. Aku bersuudzon.
Hmm... jalan. Penting tau.
Sampai di Semlaran, aku kebelet
pipis. Padahal perjalanan dari rumah sampai ke Semlaran gak lama kok. Mungkin
sekitar empat puluh lima menitlah. Aku berjalan melihat ke sekeliling. Mencari
tulisan “TOILET UMUM”. Kok gak ketemu-ketemu juga. Aku pun berhenti tepat di
depan sebuah toko. Tanpa berpikir panjang, aku mengucap salam cukup keras ke
pemilik toko yang entah dimana berada. Ada segerombol pemuda membawa peralatan
musik sedang kongkow di samping toko tersebut. Ada yang membawa gitar juga
gendang kecil. Kurasa mereka pengamen. Mungkin mereka tidak menemukan pekerjaan
lain yang lebih mulia selain mengamen. Atau belum diterima. Atau entah apalah
alasan mereka yang membuat mereka mau mengamen. Bisa jadi hasil mengamen jauh
lebih besar dari pada hasil kerja menjadi kuli.
Tak ada seorangpun yang menjawab
salamku. Kembali kuucap salam cukup keras. Yah, kali ini seorang ibu muda yang
keluar. Pemilik toko sepertinya. Dengan PEDE aku minta izin mau ikut ke toilet.
Eh, si ibu menunjukkan toilet umum. Letaknya di sebelah timur tokonya. Jalan
dikitlah. Aku pun mengikuti saran si ibu.
Yups, kutemukan toilet umum
tersebut. Aku salam keras tapi tak ada yang menjawab. Toilet itu terletak di
dalam halaman rumah orang. Ada tulisan tarif harganya juga. Tapi tak kulihat
kotak untuk memasukkan uang. Harusnya ya ada yang jaga. Tapi kok sepi. Sekali
lagi aku salam. Tapi tetap tak ada yang menjawab. Aku nyelonong masuk aja.
Selesai, aku celingukan, mau bayar gitu. Tapi aku tak menemukan kotak maupun
kaleng tempat bayar. Ya udah deh, aku pun meninggalkan TKP begitu saja.
Hihiii... gak sopan juga sih.
Aku menyeberang jalan yang cukup
ramai. Maklum, jalan propinsi. Aku menunggu sekitar lima menit lebih. Eh, ada
bus. Yaah... bus pariwisata. Ada bus lagi. Yaah... pariwisata lagi. Ada bus.
Yups, kali ini bus yang kunanti. “Bojonegoro” begitu tulisan yang dipasang di
kaca depan bus. Aku melambaikan tangan kiriku. Aku menaiki bus. Wuhuy, penuh
cuy. Berdiri nih. Ah, dah biasa kok berdiri di bus. Nikmati aja. Gak ada yang
spesial di bus Dali Mas jurusan bojonegoro yang kunaiki kali ini.
Aku turun di pasar Babat. Ganti bus.
Bus Widji warna biru jurusan Jombang. Tiap kali ke Jombang aku selalu menaiki
bus Widji. Nah, disini aku mendapatkan pengalaman yang berkesan. Bus yang
kunaiki penuh. Maklum, hari-hari ini masih termasuk hari liburan. Tapi aku bersyukur, kali ini aku masih
mendapatkan tempat duduk. Kulihat seorang pemuda. Mungkin sekitar umur 17 atau
18 tahunanlah. Kelihatannya sih lumayan bandel. Hehee... Luluk, jangan menilai
orang lain dari penampilan dunk... Dia tidak mendapatkan tempat duduk. Tapi dia
masih bisa duduk di jalan tengah depan dekat sopir. Lalu ada seorang ibu-ibu
tua naik. Seorang nenek-nenek muda lah. Tapi kursi di bus sudah penuh. Mau gak
mau ya berdiri. Jujur, aku kasihan melihat si ibu tersebut. Sepertinya dia juga
tidak kuat berdiri lama. Apa aku harus berdiri dan mempersilahkan ibu tersebut
duduk? Tapi di sekelilingku banyak mas-mas yang masih muda yang harusnya
merekalah yang harus berdiri. Lagian, aku juga membawa tas yang lumayan berat. Tujuan
yang kulalui juga jauh. Terminal terakhir. Dan aku yakin, bus ini gak akan
kosong. Tapi pasti akan terus penuh terisi. Kalau aku berdiri dan
mempersilahkan ibu itu untuk duduk, itu berarti aku akan berdiri selama dua jam
ke depan. Sekilas aku melihat pemuda yang duduk di tengah jalan dekat sopir.
Eh, dia juga menatapku. Xixixixiii. Lalu aku menatap si ibu tua yang tengah
berdiri. Hmm... Dan sepertinya pemuda tersebut mengerti apa yang kupikirkan.
Amazing. Pemuda tersebut berdiri.
Mempersilahkan si ibu untuk duduk. Subhanallah, betapa mulia hatimu Dek. Aku
tersenyum melihat si ibu tersebut tersenyum mendapatkan tempat duduk.
Selang beberapa lama ada seorang ibu
muda menggendong anaknya yang masih kecil. Kurasa baru beberapa bulan. Belum
ada satu tahun. Wuih, pasti capek cuy berdiri di bus sambil menggendong anak
kecil. Desak-desakan lagi. Kutunggu beberapa menit. Tapi, penantianku sia-sia.
Tak ada seorang pemuda pun yang mau berdiri. Akhirnya akupun berdiri. Kupegang
bahu si ibu tersebut. “Monggo Bu”, aku mempersilahkan si ibu menempati tempat
dudukku. Sementara aku berdiri.
Pemandangan yang sama juga kulihat
di dalam bus Jombang-Ponorogo yang kunaiki. Ada seorang ibu bersama anaknya gak
kebagian tempat duduk. Lalu ada seorang bapak rela memberikan tempat duduknya,
mempersilahkan si ibu tersebut untuk duduk di samping istrinya. Ah, keren deh
si Bapak. Bapak itu gak ganteng sih, tapi hatinya ganteng banget. Suer.
Beruntung banget ya istrinya.
Perjalanan pulangku kali ini
benar-benar spesial. Beda dengan biasanya. Yups, Perjalanan 3 jam dalam bis
Ponorogo-Jombang ternyata membuatku pengen pipis. Sebenarnya bukan naik busnya
sih yang bikin aku pengen pipis, tapi karena aku terlalu banyak minum. Ya, aku
minum air putih hampir setengah botol lebih dalam bus. Coz aku lagi batuk, and
tenggorokanku serek, jadi ya minum terus. Satu-satunya jalan ekskresi hanya
melalui urine, coz bus full AC, jadi aku gak berkeringat sedikitpun. Nyampek
kertosono aku dah pengen pipis. Waduh, gimana nih, masa aku mau pipis di bus.
Hihihiiii... Aku tahan... hampir setengah jam lebih. “Lima belas menit lagi
Luk..”, hiburku dalam hati. Padahal aku tahu perjalananku masih sekitar
setengah jam lebih. Dan akhirnya.... akuuu... Hah?!! Ngompol di dalam bus???
Enggak la yaww!
Akhirnya aku mengambil ranselku yang
lumayan berat. Isinya baju-bajuku yang dah gak kupakai lagi. Aku melangkah
menuju pintu depan. “Pak, terminal Jombang masih jauh ya Pak?”, tanyaku kepada
sang kondektur.
“Masih jauh Mbak.”, jawab sang
kondektur.
“Pak, turun di pom bensin
terdekat.”, ujarku
“Mau ke toilet ya Mbak?”, tanya sang
kondektur. Tau aja nih sang kondektur.
Aku mengiyakan.
Sang sopir menurunkanku di pinggir
jalan dekat pertigaan. 50 meter ke kanan ada toilet umum, jadi aku gak perlu
menunggu lama untuk sampai di pom bensin. Aku mengikuti arahan sang sopir,
setelah sebelumnya aku dengan PEDEku nongol di depan toko milik orang china
“Cik, boleh numpang ke toilet!”, pintaku.
“Sebelah situ Mbak ada toilet umum.
Nyebrang terus jalan 50 meter”, seorang mas-mas, sepertinya sih pembeli,
memberiku arahan lain. Hmm... susahnya numpang pipis zaman sekarang. Mau pipis
aja harus bayar.
Selesai dari toilet aku bingung mau
ke terminal naik apa. Kalau bingung ya tanya, tapi liat-liat dulu mau tanya ke
siapa. Coz, banyak penipu oy. Aku melihat seorang mbak-mbak. Kutanya aja deh
dia. “naik angkutan mbak.”, gitu jawabnya.
Sepuluh menit aku menunggu di
pinggir jalan. Hampir saja aku memberhentikan mobil ceri. Hihihii... Untungnya
aku ingat kalau mobil angkutan umum tuu... platnya warna hijau. Hmm... Akhirnya
ada angkutan juga. So, Cap Cus. Go ke terminal.
Di tengah jalan, mobil berhenti. Ada
penumpang yang mau naik oy, seorang kakek, berkemeja putih plus celana hitam.
Rapi. Necis. Semua tersetrika licin. Wah, jadi bikin aku inget bapakku aja nich. Aku duduk berhadapan
dengan sang kakek. Penumpangnya Cuma berdua. Kasihan juga aku melihat Pak
Sopir. Ya, this is life. Keras. Kejam.
Setelah diem-dieman hampir lima menit, sang kakek
bersuara. Basa-basi gitu, tanya mau kemana. Ah, pertanyaan wajaar. Kujawab aja
mau ke Terminal. Sang kakek bicara lagi. Kali ini aku benar-benar terkejut.
Dalam Hati aku sebel juga sih dikit. “PEDE banget nih Kakek”. Sang kakek bilang
ongkos dia kurang tiga ribu. Aku diminta membayarinya. Wuih... baru ngobrol
satu dua kata dah minta dibayarin. Gayanya uangnya kurang, padahal bajunya
necis Oy. Bawa ayam jago lagi. Habis beli ayam jago sepertinya. Sang kakek
mendesak. Aku gak mengiyakan. Aku Cuma tersenyum. Tersenyum aneh. Asli gak
tulus banget senyumku. Ah, ni Kakek, aku Cuma membawa uang lima puluh ribu.
Cuma itu satu-satunya uang terakhirku. Tadi sudah terpakai empat belas ribu
buat ongkos naik bus. Tinggal tiga puluh enam ribu nih. Tiga puluh enam ribu
ini untuk naik bus Jombang-Babat sembilan ribu. Trus naik bus lagi
Babat-Semlaran tiga ribu. Trus naik Ojek Semlaran-Rumah lima belas ribu. 9 + 3
+ 15 = 27. Ah, masih cukup kok. Bersyukur juga aku berangkat dari rumah ke terminal
Ponorogo diantar temanku. Jadi aku bebas bayar ongkos ojek lima belas ribu.
-Teman adalah kekayaan yang tak ternilai-.
“Dia memelihara ayam mungkin Luk...
Atau dia cuma tinggal berdua sama istrinya. Anak-anaknya pergi jauh, jadi dia
sendiri yang belanja.” Hati baikku berhusnudzon.
Sampai di terminal, aku segera
turun.
“Pinten Pak?”, tanyaku kepada
sang sopir angkutan
“Gangsal ewu”, jawab Pak
sopir.
Aku memberikan uang sepuluh ribu
kepada Pak Sopir.
“Kalian Mbah niku Pak.”,
ucapku sambil memberikan uang sepuluh ribuan. Wah, hati baikku nih yang menang.
Ternyata uangku masih kembali dua
ribu. Berarti ongkos buat si kakek tadi ya Cuma tiga ribu.
Aku terus berjalan memasuki terminal
khusus untuk bus. Sempat kutengok ke belakang. Sang kakek masih berjalan agak
jauh di belakangku. Arah yang dia tuju sama seperti arahku. Apa mungkin sang
kakek tersebut mau naik bus? Hendak kemana dia?
Lalu Beberapa menit setelah itu aku tak tahu kemana
perginya kakek tersebut.