Ahad, 1 Juli 2012 pukul 8.15 aku berangkat kembali ke
Ponorogo. Kepergianku kali ini juga berbeda. Ibuku tidak menangis. Padahal
biasanya, setiap kali aku berangkat ke Pondok atau ke Ponorogo, pasti ibuku
menangis. Meskipun aku sudah menghibur bahwa aku pergi bukan untuk bekerja
mencari uang. Aku hendak mencari ilmu, mencari pengalaman. Aku hendak belajar. Ah,
aku tahu kenapa ibuku kali ini tidak menangis. Karena beberapa hari sebelumnya
aku menjelaskan kepada ibuku kalau Ramadhan ini aku akan pulang. Mungkin
sekitar satu atau dua bulanan. Aku akan tinggal menemani Ma’ dan Bapak di
rumah. Rencanaku ke depan, aku akan mengajar di sekolah atau pondok terdekat.
Jadi aku bisa dengan mudah menjenguk Ma’ dan Bapak di rumah. Maklum, orangtuaku
tinggal berdua di rumah. Sudah sepuh lagi. Beberapa bulan lalu, Ma’ sama Bapak
sakit. Sakit pas barengan. Gak ada anak. Pengen ini pengen itu gak ada yang
melayani. Ah, aku berdosa.
Maafkan aku Bu’, Pak, hingga kini
aku belum bisa memberikan sesuatu yang berarti. Aku belum bisa menjadi anak
yang kau banggakan. Aku bahkan tak menemanimu kala engkau sakit.
Perjalanan dari rumah ke Semlaran
kutempuh dengan motor. Tepatnya aku diantar oleh tetanggaku. “Terimakasih Kak
Bas.”, hanya ucapan itu yang bisa kuberikan. Andaikan kau tahu bagaimana jalannya.
Wuihh... jalannya hancur oy. Rusak berat.
Melihat jalan yang rusak seperti
itu, aku jadi berpikir, “Berapa ya dulu anggaran untuk pembangunan jalan yang
kulalui ini? Kenapa cepat rusak begini? Apa benar semua anggaran tersebut
benar-benar digunakan untuk pembangunan jalan? Sudah benarkah laporan yang
tertulis dengan pengeluaran yang sebenarnya? Atau pengeluaran yang dipakai
memang sengaja diminimalisir dengan cara membuat pondasi jalan asal jadi dengan
bahan-bahan yang kurang berkualitas dan harga murah agar sebagian uang bisa
masuk kantong orang-orang tertentu?”. Aku bersuudzon.
Hmm... jalan. Penting tau.
Sampai di Semlaran, aku kebelet
pipis. Padahal perjalanan dari rumah sampai ke Semlaran gak lama kok. Mungkin
sekitar empat puluh lima menitlah. Aku berjalan melihat ke sekeliling. Mencari
tulisan “TOILET UMUM”. Kok gak ketemu-ketemu juga. Aku pun berhenti tepat di
depan sebuah toko. Tanpa berpikir panjang, aku mengucap salam cukup keras ke
pemilik toko yang entah dimana berada. Ada segerombol pemuda membawa peralatan
musik sedang kongkow di samping toko tersebut. Ada yang membawa gitar juga
gendang kecil. Kurasa mereka pengamen. Mungkin mereka tidak menemukan pekerjaan
lain yang lebih mulia selain mengamen. Atau belum diterima. Atau entah apalah
alasan mereka yang membuat mereka mau mengamen. Bisa jadi hasil mengamen jauh
lebih besar dari pada hasil kerja menjadi kuli.
Tak ada seorangpun yang menjawab
salamku. Kembali kuucap salam cukup keras. Yah, kali ini seorang ibu muda yang
keluar. Pemilik toko sepertinya. Dengan PEDE aku minta izin mau ikut ke toilet.
Eh, si ibu menunjukkan toilet umum. Letaknya di sebelah timur tokonya. Jalan
dikitlah. Aku pun mengikuti saran si ibu.
Yups, kutemukan toilet umum
tersebut. Aku salam keras tapi tak ada yang menjawab. Toilet itu terletak di
dalam halaman rumah orang. Ada tulisan tarif harganya juga. Tapi tak kulihat
kotak untuk memasukkan uang. Harusnya ya ada yang jaga. Tapi kok sepi. Sekali
lagi aku salam. Tapi tetap tak ada yang menjawab. Aku nyelonong masuk aja.
Selesai, aku celingukan, mau bayar gitu. Tapi aku tak menemukan kotak maupun
kaleng tempat bayar. Ya udah deh, aku pun meninggalkan TKP begitu saja.
Hihiii... gak sopan juga sih.
Aku menyeberang jalan yang cukup
ramai. Maklum, jalan propinsi. Aku menunggu sekitar lima menit lebih. Eh, ada
bus. Yaah... bus pariwisata. Ada bus lagi. Yaah... pariwisata lagi. Ada bus.
Yups, kali ini bus yang kunanti. “Bojonegoro” begitu tulisan yang dipasang di
kaca depan bus. Aku melambaikan tangan kiriku. Aku menaiki bus. Wuhuy, penuh
cuy. Berdiri nih. Ah, dah biasa kok berdiri di bus. Nikmati aja. Gak ada yang
spesial di bus Dali Mas jurusan bojonegoro yang kunaiki kali ini.
Aku turun di pasar Babat. Ganti bus.
Bus Widji warna biru jurusan Jombang. Tiap kali ke Jombang aku selalu menaiki
bus Widji. Nah, disini aku mendapatkan pengalaman yang berkesan. Bus yang
kunaiki penuh. Maklum, hari-hari ini masih termasuk hari liburan. Tapi aku bersyukur, kali ini aku masih
mendapatkan tempat duduk. Kulihat seorang pemuda. Mungkin sekitar umur 17 atau
18 tahunanlah. Kelihatannya sih lumayan bandel. Hehee... Luluk, jangan menilai
orang lain dari penampilan dunk... Dia tidak mendapatkan tempat duduk. Tapi dia
masih bisa duduk di jalan tengah depan dekat sopir. Lalu ada seorang ibu-ibu
tua naik. Seorang nenek-nenek muda lah. Tapi kursi di bus sudah penuh. Mau gak
mau ya berdiri. Jujur, aku kasihan melihat si ibu tersebut. Sepertinya dia juga
tidak kuat berdiri lama. Apa aku harus berdiri dan mempersilahkan ibu tersebut
duduk? Tapi di sekelilingku banyak mas-mas yang masih muda yang harusnya
merekalah yang harus berdiri. Lagian, aku juga membawa tas yang lumayan berat. Tujuan
yang kulalui juga jauh. Terminal terakhir. Dan aku yakin, bus ini gak akan
kosong. Tapi pasti akan terus penuh terisi. Kalau aku berdiri dan
mempersilahkan ibu itu untuk duduk, itu berarti aku akan berdiri selama dua jam
ke depan. Sekilas aku melihat pemuda yang duduk di tengah jalan dekat sopir.
Eh, dia juga menatapku. Xixixixiii. Lalu aku menatap si ibu tua yang tengah
berdiri. Hmm... Dan sepertinya pemuda tersebut mengerti apa yang kupikirkan.
Amazing. Pemuda tersebut berdiri.
Mempersilahkan si ibu untuk duduk. Subhanallah, betapa mulia hatimu Dek. Aku
tersenyum melihat si ibu tersebut tersenyum mendapatkan tempat duduk.
Selang beberapa lama ada seorang ibu
muda menggendong anaknya yang masih kecil. Kurasa baru beberapa bulan. Belum
ada satu tahun. Wuih, pasti capek cuy berdiri di bus sambil menggendong anak
kecil. Desak-desakan lagi. Kutunggu beberapa menit. Tapi, penantianku sia-sia.
Tak ada seorang pemuda pun yang mau berdiri. Akhirnya akupun berdiri. Kupegang
bahu si ibu tersebut. “Monggo Bu”, aku mempersilahkan si ibu menempati tempat
dudukku. Sementara aku berdiri.
Pemandangan yang sama juga kulihat
di dalam bus Jombang-Ponorogo yang kunaiki. Ada seorang ibu bersama anaknya gak
kebagian tempat duduk. Lalu ada seorang bapak rela memberikan tempat duduknya,
mempersilahkan si ibu tersebut untuk duduk di samping istrinya. Ah, keren deh
si Bapak. Bapak itu gak ganteng sih, tapi hatinya ganteng banget. Suer.
Beruntung banget ya istrinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar