Puisi adalah jiwa. Luapan perasaan. Dalam puisi ada cinta, nostalgia, ideologi, dan rasa syukur.
Tulislah apa yang ada di pikiranmu. Luapkan dalam coretan-coretan indahmu. Dan sepuluh tahun lagi mungkin kau akan tertawa atau bahkan mungkin coretan itu akan menjadi sebuah memori yang mahal. menjadi sebuah cerita tersendiri yang bisa dikenang. Yups, selagi kita masih bisa menulis, kenapa kita tidak meluapkannya dalam coretan-coretan? Meskipun coretan itu hanya bisa kita nikmati sendiri (hehe... menghibur diri ni?)
Pernah frustasi gara-gara karyamu gak pernah diterima? Nasiiib... nasiiib. Kalo iya, berarti kamu senasib dong ma aku. Asiiik ada temen senasib nih! Ceritanya aku lagi frustasi nih lianna (kan biasanya pake coz, sekarang ganti lianna ja biar lebih..... apa ya? lebih bernuansa kearaban gitu deh! Biar ga English mulu!) puisiku ga diterima di majalah yang pernah kukirim, akhirnya bikin blog sendiri ja deeeh. Yaah, nikmati sendirilah.
“Kakak..., aku dapat juara satu...!”,
Teriakku kepada Kak Galang yang tengah menyambutku di depan rumahku.
“Alhamdulillah,
Tos dulu!”, kami berdua saling mengangkat tangan kanan. Tos!
“Terimakasih
Kak.”, aku duduk di kursi depan rumah melepas sepatu bututku. Kak Galang duduk
di sampingku. “Ini semua karena Kak Galang yang menjadi pelatihku. Kalau tidak,
mana mungkin aku bisa menang.” Yup, aku menjadi juara 1 lomba catur PORSENI di
kabupaten.
“Itu
karena usaha dan kerja kerasmu berlatih. Jadi Allah memberikan kemenangan
padamu.”, jawab Kak Galang sambil mengusap kepalaku. Ah, Kak Galang memang
selalu bijak dan dewasa. Tidak seperti aku yang
kekanak-kanakan.
Kak
Galang usianya 4 tahun lebih tua dariku. Sekarang dia sudah duduk di bangku
kelas 2 SMA 1 Lamongan. Sedangkan aku masih duduk di kelas 1 SMP Muhammadiyah 3
Lamongan juga. Sebenarnya Kak Galang bukanlah kakak kandungku. Rumahnya berada
tepat di samping rumahku. Jadi kami terlihat akrab sekali. Kami sering bermain
bersama sepulang sekolah. Kak Galang mengajariku banyak hal. Memanjat pohon
jambu air di depan rumah, memancing ikan di sungai, bermain badminton, catur,
sampai bermain sepak bola. Ssstt... rahasia, jangan bilang-bilang ibu, nanti
aku bisa kena marah, eh, bukan marah deng.Nanti aku bisa dinasehati
puanjaang... sepanjang rel kereta api. Hehehee. Kak Galang juga yang telah
mengajariku naik sepeda. Meskipun aku jatuh berkali-kali tapi Kak Galang terus
memberiku semangat. Aku bahkan sudah menganggapnya seperti kakakku sendiri.
Sebenarnya
aku juga punya seorang kakak, tapi juga bukan kakak kandung. Satu Bapak beda ibu. Kami tinggal di kota
yang berbeda. Kakakku tinggal bersama ibunya. Aku tinggal bersama ibuku. ayah
kami sudah tiada sejak aku masih berumur 5 tahun. Aku hanya tinggal berdua
bersama ibuku.
“Kak,
aku ingin menjadi pemain catur tingkat nasional, boleh?”, tanyaku polos.
“Tentu
saja boleh. Jangankan tingkat nasional, tingkat dunia juga bisa.”
Ya,
Kami hanya dua anak desa yang mempunyai mimpi setinggi langit. Entah sampai
kapan mimpi itu akan terus bertahan. Semoga mimpi itu tidak bertahan lama, dan
segera berubah wujud menjadi kenyataan. “Amin”, do’aku dalam hati.
---------------------
Teman-temanku
bilang, sekarang aku berbeda. “Tambah alim aja Rin”, begitu ucap seorang
temanku ketika kami bertemu dalam acara reoni SMP di sekolah.
“Apaan?
sama aja. Tambah error, iya...”, balasku.
Tapi
kurasa aku memang sedikit berbeda. Lihatlah penampilanku. Aku bahkan tidak
memberi sedikit celah pun kepada rambutku untuk menatap dunia luar. Jilbab
lebarku menutupnya kaffah. Kaos kaki yang kukenakan juga membuatku sedikit
berbeda. Masih mending ini aku tidak memakai cadar. hehee...
Kutatap
teman-temanku dulu. Ah, hampir semuanya telah berkeluarga. Bahkan sudah banyak
yang membawa momongan. Mereka sekarang bukan lagi anak-anak kecil yang dulu
ingusan, ileran, i..., i apa aja dech, terusin sendiri ya. Apalagi yang perempuan. Tinggal aku yang masih
jomblo. Di usiaku yang ke 23 tahun ini aku masih saja menjomblo. Eh, gak juga
deng. Sebentar lagi aku juga akan menikah. O iya, aku belum cerita ya.
Beberapa
hari lalu, tepatnya dua hari yang lalu, seorang pria melamarku. Seorang ikhwan.
Tentu saja aku menerima. Perempuan mana yang mau menolak seorang ikhwan yang
sholeh seperti dia. Sholeh, mapan lagi. Ia melamarku setelah kita menjalani
proses ta’aruf satu bulan. Sebenarnya aku sudah mengenalnya cukup lama. Tapi
tidak dekat. Hanya sebatas tahu saja. Mungkin sekitar dua tahunan. Ketika aku
masih semester 4. Hanya saja kami jarang bertemu dan jarang berinteraksi. Dia
sibuk menempuh program S2 di Yaman. Dan sebulan yang lalu, dia datang ke rumah.
Tepat setelah aku menyelesaikan program S1ku. Dia juga telah menyelesaikan
program S2nya. Ia Ingin mengenal lebih dekat, katanya. Selanjutnya kami
bertukar biodata. Anehnya kami bahkan tidak pernah jalan keluar berdua.
Jangankan jalan keluar berdua, ngobrol berduaan dengannya saja jarang. Aku
sungguh tidak menyangka kalau dia yang akan menjadi suamiku nanti. Beruntung
sekali aku mendapatkan suami seorang ikhwan seperti dia.
Getar
hpku menyadarkanku dari lamunan. ada sms dari kak Galang, “Setelah acara
selesai, segera pulang ya dek... Kakak tunggu di rumah.”
“Lho,
bukannya Kak Galang masih di Jakarta? Kapan pulangnya? Kok di rumah? Katanya
seminggu lagi baru pulang?”,Tanyaku dalam hati. Selesai SMA, kak Galang
mendapat beasiswa kuliah di perguruan tinggi. Dia mengambil jurusan teknik
sipil. Ujung-ujungnya dia bekerja di perusahaan kontraktor terkenal di Jakarta.
Sedangkan
aku, boro-boro menjadi pemain catur tingkat nasional. Selesai SMP, aku
melanjutkan sekolah ke pondok yang berada di luar kota. Butuh waktu hampir 5
jam naik turun bis dari desaku ke pondok. Selesai belajar di pondok, aku
melanjutkan kuliah di pondok itu juga. hehehee... Setelah lulus kuliah, aku langsung
mengajar di SD di desaku. Baru sebulan aku mengajar di SD tersebut.
Setelah
membaca sms dari kak Galang, aku terbayang-bayang rumah. Terbayang kak Galang
tepatnya. Ingin cepat pulang. Ingin melihat mukanya. Hampir delapan tahun,
sejak aku belajar di pondok, aku tidak pernah melihatnya. “Apa aku pulang dulu
aja ya? ah, gak enak sama teman-temanku.” Tapi kalau begini aku juga tidak
tenang. Jasadku disini bersama teman-temanku, tapi jiwaku di rumah. Aku kangen
kak Galang. Sebenarnya lebih dari itu. Aku ingin menyampaikan berita gembiraku.
Aku ingin memberitahu dia bahwa dua hari yang lalu ada seorang pria yang
melamarku. Aku ingin bilang kalau ucapan kak Galang memang benar, “Tidak usah
hawatir Dek, yakin, serahkan pada-Nya, jodoh itu sudah ditentukan oleh-Nya. Yang
terpenting kita selalu menjaga diri. Menjaga hati. Menjaga izzah sebagai
seorang muslimah. Taat kepada aturan-Nya.”
---------------
“Kakaaak...”
teriakku melihat sosok kak Galang berdiri di depan rumah. Kak Galang terlihat
semakin ganteng. Hehehe...
Kak
Galang tersenyum menyambutku. Senyum yang selalu saja mampu menghapus
kesedihanku. Ah, aku bahkan pernah berpikir ada mantra di balik senyumnya.
hihihi...
“Kapan
datang? katanya seminggu lagi pulangnya?”, tanyaku
“Suprise.”,
Jawab kak Galang ringan.
“Hmm!”
Aku pura-pura cemberut.
Kak
Galang tertawa melihat ekspresiku. “Samaaa... aja. Gak berubah-berubah. Dasar anak
kecil!”, Ucap kak Galang kepadaku. Tapi kali ini tidak sambil mengusap
kepalaku. hehehe. Gak muhrim.
Sejenak
kami duduk terdiam di kursi depan rumah. Kursi yang dulu pernah kami duduki. Kursi
yang turut menjadi saksi persahabatan kami. Kursi itu juga tak berubah. Seperti
pertemananku dengan kak Galang yang tak pernah putus.
“Aku
punya berita gembira buat Kak Galang!”, aku mengawali pembicaraan yang ternyata
bersamaan dengan ucapan kak Galang “Aku mau bicara sesuatu Dek.”
Sekali
lagi kami terdiam untuk beberapa detik.
“Kak
Galang aja dulu.”, aku mengalah.
“Adek
aja dulu.”
“Enggak.
Kak Galang aja dulu yang ngomong. Kali ini aku mau belajar mengalah.” ucapku.
Aku
menunggu kak Galang bicara. Satu detik... dua detik... lima detik... kok gak
ngomong-ngomong.
Aku
menatapkak Galang, memberi isyarat “mau ngomong apa? kok diem?”
Kak
Galang menarik nafas.
“Dek,”
Aku
tidak menjawabnya. Aku masih menunggu kata-kata berikutnya.
“Adek
mau menjadi pendamping hidup Kakak?”, Seperti ada petir menyambar ulu hati. Aku
hanya terpaku. “Adek mau menemani perjuangan kakak?”, Kak Galang kembali
mengulang pertanyaannya.
Aku
hanya mampu terdiam. Bukan hanya petir. Ada kilat, hujan deras ditambah ribuat
belati menyayat hatiku. Pedih. Perih. Sakit. Mataku terasa panas. Ah, tidak,
air mataku hendak keluar. Aku harus menahannya. Aku menunduk agar kak Galang
tak melihat mataku yang berkaca-kaca.
“Kakak
minta maaf kalau Kakak terlalu terburu-buru. Sebenarnya telah lama Kakak
berniat...”,Kak Galang tidak melanjutkan ucapannya.
“Tidak
harus dijawab sekarang kok Dek..., terserah adek kapan mau menjawabnya.”,
lanjut Kak Galang.
“Ya
Rabb, inikah hidup. Ya Rabb, apa maksud semua ini? Ya Rabb tunjukkan kepada
hamba jalan yang Engkau ridhoi.”, ujarku dalam hati.
Petir,
kilat, dan hujan deras mengguyur hatiku...
“Seorang
laki-laki dan perempuan tidak akan pernah bisa berteman. Pasti akan lebih dari
itu. Pasti akan timbul rasa suka.”, ucapan seorang temanku menggaung di
memoriku.
Kuacungi jempol, empat
jempol dech buat kamu yang gak pernah mengenal rasa sebel, jengkel, atau benci
ma orang lain. Suer.
Bukannya Q sok atau
gimana-gimana ya… tapi jujur, ku tu termasuk salah satu dari sekian orang yang
gak suka pake banget-banget kuadrat punya perasaan sebel atau benci ma orang
lain. Q tu maunya hidup tu… damai… tulus… saling menyayangi… gak usah dech
marah-marahan, bad mood, apalagi diem-dieman ma orang lain.
Nah, parahnya nich… saat
ini aku sengaja diem ma orang lain. Lho? Gimana tho? Ya gimana lagi coba. Bukannya aku sok paling bener. Tapi suer, Q
gak kuat cuy kalau kayak gini terus. Dah cukup hati ini menahan. Dah cukup
sudah kesabaran ini (jadi inget kata mbak Waqi’, “Sabar itu tiada batas dek…”).
Tapi kurasa kali ini sikap sabar bukan solusi yang paling tepat. Dan kurasa
sabar itu juga ada tempatnya kali ya. Gak semua kondisi harus disikapi dengan
sabar. Kalo kita dijajah n ditindas-tindas terus, masa harus sabar terus? Ya
gak lah… dan kutemukan solusi yang kurasa tepat. Yup, solusi yang paling tepat
adalah DIAM SERIBU BAHASA (Wuih… kayak apa aja nich). Gila, baru kali ini
seumur hidupku aku berinteraksi ma orang yang kayak gini.
Hati… maafkan aku, kali
ini kubiarkan kau membenci seseorang. Mulut… Lidah…. Maafkan aku, kali ini
kubiarkan kau diam kepada seseorang. Aku membenci bukan tak beralasan. Aku diam
pun bukan berarti tak beralasan juga. Aku membenci perangainya yang sering
melukai hati orang lain. Aku membenci cara bicaranya yang ketus melukai hati, membuat orang lain jadi naik
darah. Sama sekali tiada rasa sayang.
Dari pada aku marah, lebih baik aku menganggapnya tiada.
“Ribuan kilo jalan yang kau tempuh.
Lewati rintang untuk aku anakmu….”, lirik lagu Ibu milik Iwan fals terekam
merdu di telingaku.
Ya, kurasa tak ada seorang pun di
dunia ini yang mengenal kita begitu dekat melebihi ibu. Tak ada seorang pun di
dunia ini yang menyayangi kita melebihi
ibu.
Lihatlah cuy, Ibumu tertawa, padahal
kau pipis di pangkuannya.
“Maaf ya Dek… Ibu ganti popok adek
dulu ya…”, perhatikan, Ibumu begitu menghargaimu. Ibumu bahkan meminta maaf
sebelum mengganti popokmu.
“Alhamdulillah, adek buang air besar”,
begitu ucap ibumu kala kau buang air
besar. Sama sekali tak terlintas rasa jijik. Ah, tak ada seorang pun di dunia
ini yang mampu menandingi tulus cinta dan sayang ibumu.
Jum’at, 20 April 2012 dalam sebuah
masjid di Ponorogo, setelah sejak sore aku muter-muter di Sasana Praja Ponorogo
bersama dua temanku (ada booksfair disana). Adzan Maghrib menyeru kami tuk
singgah sejenak di masjid itu.
Kutatap sajadah dan tembok
putih itu. Ah, sudah berbulan-bulan aku tak menghadirkan diri di masjid. Aku
lalai dalam kesibukan fana dunia, hingga tak kuluangkan waktu untuk sekedar
sholat berjama’ah.
Dan memoriku asik memutar
potret masjid di Gontor Putri 1. Shaff depan, tepat depan tembok putih pas,
tempat favoritku dulu. Di situ aku merasa dunia seakan berada dalam
genggamanku. Aku merasa begitu dekat dengan Robbku. Sebuah rasa yang tak
ternilai. Ada ketenangan batin yang dahsyat. Ketika air mata deras mengalir,
dan wangi bunga-bunga puji dan do’a terangkai indah.
“Labbaikalloohumma
labbaik”, aku menghadap-Mu ya Rabb. Aku penuhi panggilan-Mu. Aku rindu bersua
dengan-Mu.
Pagi itu, 8 November 2012, aku duduk di tangga samping masjid. Aku asik menunggu dimulainya sholat Idul Adha sambil bertakbir dalam hati.
Dan seorang wanita, ah, lebih tepatnya seorang ibu muda datang bersama dua orang anaknya. Mereka juga sama sepertiku, hendak menunaikan sholat idul Adha. Menurut dugaanku, anaknya yang pertama sekitar kelas 5 atau 6 SD. Sedangkan anaknya yang kedua sekitar kelas 2 atau 1 SD. Anaknya yang pertama duduk di sampingku. Sementara, sang ibu dan anaknya yang kedua duduk di depanku yang saat itu masih kosong. Ya, kami bernasib sama. Sama-sama tidak kebagian tempat di masjid. Mau tidak mau ya aku ambil tempat di tangga masjid. Aku melihat dalam sekilas sosok ibu yang sederhana. Pakaian gamisnya yang sederhana namun tetap anggun dan sama sekali tak memperlihatkan bentuk tubuhnya. Raut mukanya yang ramah, penuh kerendahan hati.
Dengan penuh sayang ia memakaikan mukenah buat anaknya yang kecil. Entahlah, ada aura yang berbeda. Penuh dengan rasa syukur. Ah, jauh banget dari dari yang namanya kesombongan. Sederhana… jauh dari glamor. Sederhana tapi tetap excellent. Exellent luar dalam. Bukan hanya penampilan luar yang excellent, tapi hatinya pun excellent. Jika ada yang berpikir “excellent itu identik dengan kehidupan yang serba wah, mewah dan glamor”, itu hanya excellent sesaat. Excellent bungkus saja. Exellent yang sesungguhnya adalah exellent hati.