“Kakak..., aku dapat juara satu...!”,
Teriakku kepada Kak Galang yang tengah menyambutku di depan rumahku.
“Alhamdulillah,
Tos dulu!”, kami berdua saling mengangkat tangan kanan. Tos!
“Terimakasih
Kak.”, aku duduk di kursi depan rumah melepas sepatu bututku. Kak Galang duduk
di sampingku. “Ini semua karena Kak Galang yang menjadi pelatihku. Kalau tidak,
mana mungkin aku bisa menang.” Yup, aku menjadi juara 1 lomba catur PORSENI di
kabupaten.
“Itu
karena usaha dan kerja kerasmu berlatih. Jadi Allah memberikan kemenangan
padamu.”, jawab Kak Galang sambil mengusap kepalaku. Ah, Kak Galang memang
selalu bijak dan dewasa. Tidak seperti aku yang
kekanak-kanakan.
Kak
Galang usianya 4 tahun lebih tua dariku. Sekarang dia sudah duduk di bangku
kelas 2 SMA 1 Lamongan. Sedangkan aku masih duduk di kelas 1 SMP Muhammadiyah 3
Lamongan juga. Sebenarnya Kak Galang bukanlah kakak kandungku. Rumahnya berada
tepat di samping rumahku. Jadi kami terlihat akrab sekali. Kami sering bermain
bersama sepulang sekolah. Kak Galang mengajariku banyak hal. Memanjat pohon
jambu air di depan rumah, memancing ikan di sungai, bermain badminton, catur,
sampai bermain sepak bola. Ssstt... rahasia, jangan bilang-bilang ibu, nanti
aku bisa kena marah, eh, bukan marah deng.Nanti aku bisa dinasehati
puanjaang... sepanjang rel kereta api. Hehehee. Kak Galang juga yang telah
mengajariku naik sepeda. Meskipun aku jatuh berkali-kali tapi Kak Galang terus
memberiku semangat. Aku bahkan sudah menganggapnya seperti kakakku sendiri.
Sebenarnya
aku juga punya seorang kakak, tapi juga bukan kakak kandung. Satu Bapak beda ibu. Kami tinggal di kota
yang berbeda. Kakakku tinggal bersama ibunya. Aku tinggal bersama ibuku. ayah
kami sudah tiada sejak aku masih berumur 5 tahun. Aku hanya tinggal berdua
bersama ibuku.
“Kak,
aku ingin menjadi pemain catur tingkat nasional, boleh?”, tanyaku polos.
“Tentu
saja boleh. Jangankan tingkat nasional, tingkat dunia juga bisa.”
Ya,
Kami hanya dua anak desa yang mempunyai mimpi setinggi langit. Entah sampai
kapan mimpi itu akan terus bertahan. Semoga mimpi itu tidak bertahan lama, dan
segera berubah wujud menjadi kenyataan. “Amin”, do’aku dalam hati.
---------------------
Teman-temanku
bilang, sekarang aku berbeda. “Tambah alim aja Rin”, begitu ucap seorang
temanku ketika kami bertemu dalam acara reoni SMP di sekolah.
“Apaan?
sama aja. Tambah error, iya...”, balasku.
Tapi
kurasa aku memang sedikit berbeda. Lihatlah penampilanku. Aku bahkan tidak
memberi sedikit celah pun kepada rambutku untuk menatap dunia luar. Jilbab
lebarku menutupnya kaffah. Kaos kaki yang kukenakan juga membuatku sedikit
berbeda. Masih mending ini aku tidak memakai cadar. hehee...
Kutatap
teman-temanku dulu. Ah, hampir semuanya telah berkeluarga. Bahkan sudah banyak
yang membawa momongan. Mereka sekarang bukan lagi anak-anak kecil yang dulu
ingusan, ileran, i..., i apa aja dech, terusin sendiri ya. Apalagi yang perempuan. Tinggal aku yang masih
jomblo. Di usiaku yang ke 23 tahun ini aku masih saja menjomblo. Eh, gak juga
deng. Sebentar lagi aku juga akan menikah. O iya, aku belum cerita ya.
Beberapa
hari lalu, tepatnya dua hari yang lalu, seorang pria melamarku. Seorang ikhwan.
Tentu saja aku menerima. Perempuan mana yang mau menolak seorang ikhwan yang
sholeh seperti dia. Sholeh, mapan lagi. Ia melamarku setelah kita menjalani
proses ta’aruf satu bulan. Sebenarnya aku sudah mengenalnya cukup lama. Tapi
tidak dekat. Hanya sebatas tahu saja. Mungkin sekitar dua tahunan. Ketika aku
masih semester 4. Hanya saja kami jarang bertemu dan jarang berinteraksi. Dia
sibuk menempuh program S2 di Yaman. Dan sebulan yang lalu, dia datang ke rumah.
Tepat setelah aku menyelesaikan program S1ku. Dia juga telah menyelesaikan
program S2nya. Ia Ingin mengenal lebih dekat, katanya. Selanjutnya kami
bertukar biodata. Anehnya kami bahkan tidak pernah jalan keluar berdua.
Jangankan jalan keluar berdua, ngobrol berduaan dengannya saja jarang. Aku
sungguh tidak menyangka kalau dia yang akan menjadi suamiku nanti. Beruntung
sekali aku mendapatkan suami seorang ikhwan seperti dia.
Getar
hpku menyadarkanku dari lamunan. ada sms dari kak Galang, “Setelah acara
selesai, segera pulang ya dek... Kakak tunggu di rumah.”
“Lho,
bukannya Kak Galang masih di Jakarta? Kapan pulangnya? Kok di rumah? Katanya
seminggu lagi baru pulang?”,Tanyaku dalam hati. Selesai SMA, kak Galang
mendapat beasiswa kuliah di perguruan tinggi. Dia mengambil jurusan teknik
sipil. Ujung-ujungnya dia bekerja di perusahaan kontraktor terkenal di Jakarta.
Sedangkan
aku, boro-boro menjadi pemain catur tingkat nasional. Selesai SMP, aku
melanjutkan sekolah ke pondok yang berada di luar kota. Butuh waktu hampir 5
jam naik turun bis dari desaku ke pondok. Selesai belajar di pondok, aku
melanjutkan kuliah di pondok itu juga. hehehee... Setelah lulus kuliah, aku langsung
mengajar di SD di desaku. Baru sebulan aku mengajar di SD tersebut.
Setelah
membaca sms dari kak Galang, aku terbayang-bayang rumah. Terbayang kak Galang
tepatnya. Ingin cepat pulang. Ingin melihat mukanya. Hampir delapan tahun,
sejak aku belajar di pondok, aku tidak pernah melihatnya. “Apa aku pulang dulu
aja ya? ah, gak enak sama teman-temanku.” Tapi kalau begini aku juga tidak
tenang. Jasadku disini bersama teman-temanku, tapi jiwaku di rumah. Aku kangen
kak Galang. Sebenarnya lebih dari itu. Aku ingin menyampaikan berita gembiraku.
Aku ingin memberitahu dia bahwa dua hari yang lalu ada seorang pria yang
melamarku. Aku ingin bilang kalau ucapan kak Galang memang benar, “Tidak usah
hawatir Dek, yakin, serahkan pada-Nya, jodoh itu sudah ditentukan oleh-Nya. Yang
terpenting kita selalu menjaga diri. Menjaga hati. Menjaga izzah sebagai
seorang muslimah. Taat kepada aturan-Nya.”
---------------
“Kakaaak...”
teriakku melihat sosok kak Galang berdiri di depan rumah. Kak Galang terlihat
semakin ganteng. Hehehe...
Kak
Galang tersenyum menyambutku. Senyum yang selalu saja mampu menghapus
kesedihanku. Ah, aku bahkan pernah berpikir ada mantra di balik senyumnya.
hihihi...
“Kapan
datang? katanya seminggu lagi pulangnya?”, tanyaku
“Suprise.”,
Jawab kak Galang ringan.
“Hmm!”
Aku pura-pura cemberut.
Kak
Galang tertawa melihat ekspresiku. “Samaaa... aja. Gak berubah-berubah. Dasar anak
kecil!”, Ucap kak Galang kepadaku. Tapi kali ini tidak sambil mengusap
kepalaku. hehehe. Gak muhrim.
Sejenak
kami duduk terdiam di kursi depan rumah. Kursi yang dulu pernah kami duduki. Kursi
yang turut menjadi saksi persahabatan kami. Kursi itu juga tak berubah. Seperti
pertemananku dengan kak Galang yang tak pernah putus.
“Aku
punya berita gembira buat Kak Galang!”, aku mengawali pembicaraan yang ternyata
bersamaan dengan ucapan kak Galang “Aku mau bicara sesuatu Dek.”
Sekali
lagi kami terdiam untuk beberapa detik.
“Kak
Galang aja dulu.”, aku mengalah.
“Adek
aja dulu.”
“Enggak.
Kak Galang aja dulu yang ngomong. Kali ini aku mau belajar mengalah.” ucapku.
Aku
menunggu kak Galang bicara. Satu detik... dua detik... lima detik... kok gak
ngomong-ngomong.
Aku
menatapkak Galang, memberi isyarat “mau ngomong apa? kok diem?”
Kak
Galang menarik nafas.
“Dek,”
Aku
tidak menjawabnya. Aku masih menunggu kata-kata berikutnya.
“Adek
mau menjadi pendamping hidup Kakak?”, Seperti ada petir menyambar ulu hati. Aku
hanya terpaku. “Adek mau menemani perjuangan kakak?”, Kak Galang kembali
mengulang pertanyaannya.
Aku
hanya mampu terdiam. Bukan hanya petir. Ada kilat, hujan deras ditambah ribuat
belati menyayat hatiku. Pedih. Perih. Sakit. Mataku terasa panas. Ah, tidak,
air mataku hendak keluar. Aku harus menahannya. Aku menunduk agar kak Galang
tak melihat mataku yang berkaca-kaca.
“Kakak
minta maaf kalau Kakak terlalu terburu-buru. Sebenarnya telah lama Kakak
berniat...”,Kak Galang tidak melanjutkan ucapannya.
“Tidak
harus dijawab sekarang kok Dek..., terserah adek kapan mau menjawabnya.”,
lanjut Kak Galang.
“Ya
Rabb, inikah hidup. Ya Rabb, apa maksud semua ini? Ya Rabb tunjukkan kepada
hamba jalan yang Engkau ridhoi.”, ujarku dalam hati.
Petir,
kilat, dan hujan deras mengguyur hatiku...
“Seorang
laki-laki dan perempuan tidak akan pernah bisa berteman. Pasti akan lebih dari
itu. Pasti akan timbul rasa suka.”, ucapan seorang temanku menggaung di
memoriku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar