AHLAN WA SAHLAN

Puisi adalah jiwa. Luapan perasaan. Dalam puisi ada cinta, nostalgia, ideologi, dan rasa syukur.


Tulislah apa yang ada di pikiranmu. Luapkan dalam coretan-coretan indahmu. Dan sepuluh tahun lagi mungkin kau akan tertawa atau bahkan mungkin coretan itu akan menjadi sebuah memori yang mahal. menjadi sebuah cerita tersendiri yang bisa dikenang. Yups, selagi kita masih bisa menulis, kenapa kita tidak meluapkannya dalam coretan-coretan? Meskipun coretan itu hanya bisa kita nikmati sendiri (hehe... menghibur diri ni?)

Pernah frustasi gara-gara karyamu gak pernah diterima? Nasiiib... nasiiib. Kalo iya, berarti kamu senasib dong ma aku. Asiiik ada temen senasib nih! Ceritanya aku lagi frustasi nih lianna (kan biasanya pake coz, sekarang ganti lianna ja biar lebih..... apa ya? lebih bernuansa kearaban gitu deh! Biar ga English mulu!) puisiku ga diterima di majalah yang pernah kukirim, akhirnya bikin blog sendiri ja deeeh. Yaah, nikmati sendirilah.

Selasa, 03 Juli 2012

Ahad, 1 Juli 2012




Ahad, 1 Juli 2012 pukul 8.15 aku berangkat kembali ke Ponorogo. Kepergianku kali ini juga berbeda. Ibuku tidak menangis. Padahal biasanya, setiap kali aku berangkat ke Pondok atau ke Ponorogo, pasti ibuku menangis. Meskipun aku sudah menghibur bahwa aku pergi bukan untuk bekerja mencari uang. Aku hendak mencari ilmu, mencari pengalaman. Aku hendak belajar. Ah, aku tahu kenapa ibuku kali ini tidak menangis. Karena beberapa hari sebelumnya aku menjelaskan kepada ibuku kalau Ramadhan ini aku akan pulang. Mungkin sekitar satu atau dua bulanan. Aku akan tinggal menemani Ma’ dan Bapak di rumah. Rencanaku ke depan, aku akan mengajar di sekolah atau pondok terdekat. Jadi aku bisa dengan mudah menjenguk Ma’ dan Bapak di rumah. Maklum, orangtuaku tinggal berdua di rumah. Sudah sepuh lagi. Beberapa bulan lalu, Ma’ sama Bapak sakit. Sakit pas barengan. Gak ada anak. Pengen ini pengen itu gak ada yang melayani. Ah, aku berdosa.
            Maafkan aku Bu’, Pak, hingga kini aku belum bisa memberikan sesuatu yang berarti. Aku belum bisa menjadi anak yang kau banggakan. Aku bahkan tak menemanimu kala engkau sakit.
            Perjalanan dari rumah ke Semlaran kutempuh dengan motor. Tepatnya aku diantar oleh tetanggaku. “Terimakasih Kak Bas.”, hanya ucapan itu yang bisa kuberikan. Andaikan kau tahu bagaimana jalannya. Wuihh... jalannya hancur oy. Rusak berat.
            Melihat jalan yang rusak seperti itu, aku jadi berpikir, “Berapa ya dulu anggaran untuk pembangunan jalan yang kulalui ini? Kenapa cepat rusak begini? Apa benar semua anggaran tersebut benar-benar digunakan untuk pembangunan jalan? Sudah benarkah laporan yang tertulis dengan pengeluaran yang sebenarnya? Atau pengeluaran yang dipakai memang sengaja diminimalisir dengan cara membuat pondasi jalan asal jadi dengan bahan-bahan yang kurang berkualitas dan harga murah agar sebagian uang bisa masuk kantong orang-orang tertentu?”. Aku bersuudzon.
            Hmm... jalan. Penting tau.
            Sampai di Semlaran, aku kebelet pipis. Padahal perjalanan dari rumah sampai ke Semlaran gak lama kok. Mungkin sekitar empat puluh lima menitlah. Aku berjalan melihat ke sekeliling. Mencari tulisan “TOILET UMUM”. Kok gak ketemu-ketemu juga. Aku pun berhenti tepat di depan sebuah toko. Tanpa berpikir panjang, aku mengucap salam cukup keras ke pemilik toko yang entah dimana berada. Ada segerombol pemuda membawa peralatan musik sedang kongkow di samping toko tersebut. Ada yang membawa gitar juga gendang kecil. Kurasa mereka pengamen. Mungkin mereka tidak menemukan pekerjaan lain yang lebih mulia selain mengamen. Atau belum diterima. Atau entah apalah alasan mereka yang membuat mereka mau mengamen. Bisa jadi hasil mengamen jauh lebih besar dari pada hasil kerja menjadi kuli.
            Tak ada seorangpun yang menjawab salamku. Kembali kuucap salam cukup keras. Yah, kali ini seorang ibu muda yang keluar. Pemilik toko sepertinya. Dengan PEDE aku minta izin mau ikut ke toilet. Eh, si ibu menunjukkan toilet umum. Letaknya di sebelah timur tokonya. Jalan dikitlah. Aku pun mengikuti saran si ibu.
            Yups, kutemukan toilet umum tersebut. Aku salam keras tapi tak ada yang menjawab. Toilet itu terletak di dalam halaman rumah orang. Ada tulisan tarif harganya juga. Tapi tak kulihat kotak untuk memasukkan uang. Harusnya ya ada yang jaga. Tapi kok sepi. Sekali lagi aku salam. Tapi tetap tak ada yang menjawab. Aku nyelonong masuk aja. Selesai, aku celingukan, mau bayar gitu. Tapi aku tak menemukan kotak maupun kaleng tempat bayar. Ya udah deh, aku pun meninggalkan TKP begitu saja. Hihiii... gak sopan juga sih.
            Aku menyeberang jalan yang cukup ramai. Maklum, jalan propinsi. Aku menunggu sekitar lima menit lebih. Eh, ada bus. Yaah... bus pariwisata. Ada bus lagi. Yaah... pariwisata lagi. Ada bus. Yups, kali ini bus yang kunanti. “Bojonegoro” begitu tulisan yang dipasang di kaca depan bus. Aku melambaikan tangan kiriku. Aku menaiki bus. Wuhuy, penuh cuy. Berdiri nih. Ah, dah biasa kok berdiri di bus. Nikmati aja. Gak ada yang spesial di bus Dali Mas jurusan bojonegoro yang kunaiki kali ini.
            Aku turun di pasar Babat. Ganti bus. Bus Widji warna biru jurusan Jombang. Tiap kali ke Jombang aku selalu menaiki bus Widji. Nah, disini aku mendapatkan pengalaman yang berkesan. Bus yang kunaiki penuh. Maklum, hari-hari ini masih termasuk hari liburan.  Tapi aku bersyukur, kali ini aku masih mendapatkan tempat duduk. Kulihat seorang pemuda. Mungkin sekitar umur 17 atau 18 tahunanlah. Kelihatannya sih lumayan bandel. Hehee... Luluk, jangan menilai orang lain dari penampilan dunk... Dia tidak mendapatkan tempat duduk. Tapi dia masih bisa duduk di jalan tengah depan dekat sopir. Lalu ada seorang ibu-ibu tua naik. Seorang nenek-nenek muda lah. Tapi kursi di bus sudah penuh. Mau gak mau ya berdiri. Jujur, aku kasihan melihat si ibu tersebut. Sepertinya dia juga tidak kuat berdiri lama. Apa aku harus berdiri dan mempersilahkan ibu tersebut duduk? Tapi di sekelilingku banyak mas-mas yang masih muda yang harusnya merekalah yang harus berdiri. Lagian, aku juga membawa tas yang lumayan berat. Tujuan yang kulalui juga jauh. Terminal terakhir. Dan aku yakin, bus ini gak akan kosong. Tapi pasti akan terus penuh terisi. Kalau aku berdiri dan mempersilahkan ibu itu untuk duduk, itu berarti aku akan berdiri selama dua jam ke depan. Sekilas aku melihat pemuda yang duduk di tengah jalan dekat sopir. Eh, dia juga menatapku. Xixixixiii. Lalu aku menatap si ibu tua yang tengah berdiri. Hmm... Dan sepertinya pemuda tersebut mengerti apa yang kupikirkan.
            Amazing. Pemuda tersebut berdiri. Mempersilahkan si ibu untuk duduk. Subhanallah, betapa mulia hatimu Dek. Aku tersenyum melihat si ibu tersebut tersenyum mendapatkan tempat duduk.
            Selang beberapa lama ada seorang ibu muda menggendong anaknya yang masih kecil. Kurasa baru beberapa bulan. Belum ada satu tahun. Wuih, pasti capek cuy berdiri di bus sambil menggendong anak kecil. Desak-desakan lagi. Kutunggu beberapa menit. Tapi, penantianku sia-sia. Tak ada seorang pemuda pun yang mau berdiri. Akhirnya akupun berdiri. Kupegang bahu si ibu tersebut. “Monggo Bu”, aku mempersilahkan si ibu menempati tempat dudukku. Sementara aku berdiri.
            Pemandangan yang sama juga kulihat di dalam bus Jombang-Ponorogo yang kunaiki. Ada seorang ibu bersama anaknya gak kebagian tempat duduk. Lalu ada seorang bapak rela memberikan tempat duduknya, mempersilahkan si ibu tersebut untuk duduk di samping istrinya. Ah, keren deh si Bapak. Bapak itu gak ganteng sih, tapi hatinya ganteng banget. Suer. Beruntung banget ya istrinya.    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar