AHLAN WA SAHLAN

Puisi adalah jiwa. Luapan perasaan. Dalam puisi ada cinta, nostalgia, ideologi, dan rasa syukur.


Tulislah apa yang ada di pikiranmu. Luapkan dalam coretan-coretan indahmu. Dan sepuluh tahun lagi mungkin kau akan tertawa atau bahkan mungkin coretan itu akan menjadi sebuah memori yang mahal. menjadi sebuah cerita tersendiri yang bisa dikenang. Yups, selagi kita masih bisa menulis, kenapa kita tidak meluapkannya dalam coretan-coretan? Meskipun coretan itu hanya bisa kita nikmati sendiri (hehe... menghibur diri ni?)

Pernah frustasi gara-gara karyamu gak pernah diterima? Nasiiib... nasiiib. Kalo iya, berarti kamu senasib dong ma aku. Asiiik ada temen senasib nih! Ceritanya aku lagi frustasi nih lianna (kan biasanya pake coz, sekarang ganti lianna ja biar lebih..... apa ya? lebih bernuansa kearaban gitu deh! Biar ga English mulu!) puisiku ga diterima di majalah yang pernah kukirim, akhirnya bikin blog sendiri ja deeeh. Yaah, nikmati sendirilah.

Kamis, 24 November 2011

Hmmmmm

Since along time I did not write here........
My Blog..... My Home.......... Miss U..................

Hmm... mungkin aku adalah salah satu dari sekian orang yang GAPTEK. Dan sekarang aku sedang mencari tahu bagaimana cara memasukkan iklan di blogku yang enggak banget ni (heheeee).... ngimpiiiii......., yaaahhh...kan lumayan nambah uang saku...... Pernah nyoba sign in google adsence (eh,bener gak sih tulisannya?) tapi tetep aja Gaptek.

Any one who wants to help me?

Rabu, 10 Agustus 2011

Realita Dengan Uang



Adalah realita kalau kau punya uang, kau menang.
Adalah realita kau bisa mendapat pelayanan menyenangkan jika kau punya uang.
Adalah realita kau bisa membeli mereka yang berlabe "teman" jika kau ada uang.
Adalah realita kau bisa menang di pengadilan jika di kantongmu ada uang.
Adalah realita kau akan dihina tanpa uang.
Adalah realita kau bisa memilih wanita-wanita "cantik" jika kantongmu penuh uang.
Adalah realita mereka menghormat padamu karena uangmu.
Adalah realita kau bisa brdakwah luas jika kau punya uang.
Dan adalah realita manusia memandang manusia dengan kacamata uang.


Minggu, 24 Juli 2011

Untukmu Shobat

Aku duduk membisu dalam sebuah bis Dali Mas. Bis jurusan Bojonegoro-Surabaya yang akan mengantarku menuju kampung halamanku tercinta. Bis ketiga yang kunaiki setelah Sumber Kencono yang mengantarku sampai di terminal pertama, dan Cendana yang mengantarku menuju terminal selanjutnya.

Sengaja aku memilih duduk di bangku depan dekat dengan pintu agar aku bisa leluasa melihat jalan dan pemandangan di luar bis. Ya, hal yang paling kusukai ketika aku berada dalam bis adalah menikmati pemandangan yang ada di dalam maupun di luar bis. Mulai dari pemandangan berbagai macam pamflet, rumah-rumah penduduk, sawah nan hijau, luas langit biru,pedagang asongan, sampai tukang ojek maupun tukang becak yang mangkal di perempatan jalan. Sesekali aku melirik sopir bis yang tengah asik bermain-main dengan setir yang dipegangnya. “Kapan ya aku bisa nyetir mobil seperti dia?”, mimpiku dalam hati.

Setelah hampir setahun aku menetap di kota orang, akhirnya aku kembali ke kampungku tercinta. Ah, lebih tepatnya delapan tahun aku meninggalkan desaku. Hanya saja aku bisa pulang tiap tahun, meskipun hanya beberapa hari saja singgah di rumah. Hmmm… semua terasa begitu cepat. Seperti baru kemaren aku menginjakkan kaki di pondok Madani tempat aku belajar. Ternyata, telah delapan tahun aku mewarnai sejarah hidupku di pondok Madani tersebut. Dan kini aku benar-benar telah kembali ke tanah kelahiranku. Bukan hanya singgah beberapa hari seperti tahun-tahun sebelumnya.

Bis berhenti di pinggir jalan depan pasar Babat, Lamongan. Kulihat sang kondektur dan sopir bus keluar dari bis. Mungkin mereka hendak mencari penumpang, atau hendak mengisi perut. Mataku tertuju ke arah jam dinding di depan yang seakan tak pernah letih untuk memberi kabar kepada seluruh penumpang tentang perjalanan waktu. Yups, jam dua tepat. Itu artinya setengah jam lagi aku akan sampai di desaku. Lamongan, begitu aku dan orang-orang menyebutnya. Tepatnya di sebuah pelosok desa di kabupaten Lamongan. Setelah hampir empat jam aku berada dalam perjalanan dari pondok Madani, akhirnya sebentar lagi aku akan sampai di kampung halamanku tercinta.

“Wingko Babat, Mbak? Asli. Masih anget lho.”, tawar seorang pedagang asongan kepadaku. Dan aku hanya menjawabnya dengan gelengan kepala.

Aku menatap ke luar bis tanpa menghiraukan para pedagang asongan yang berisik sibuk menawarkan barang-barangnya di dalam bis. Ya, pasar Babat memang tak pernah sepi. Suasana ramai, jalanan macet, dan udara panas, itulah gambaran singkat tentang pasar Babat, Lamongan.

Mataku tertuju kepada sosok seorang pria di seberang jalan tak jauh dari bis. Mungkin hanya berjarak sekitar sepuluh meter dari bis yang kunaiki. Pria tersebut berjalan menuju ke arah bis yang kunaiki. “Sepertinya aku pernah melihat pria tersebut. Tapi siapa ya?”, pikirku. Dan aku begitu terkejut ketika kulihat pria yang sejak tadi kuperhatikan merampas dengan cepat tas seorang ibu yang tengah berdiri di pinggir jalan. Spontan sang ibu tersebut berteriak “Copeeet…!!!”.

Dan entah kenapa reflek aku berlari keluar dari bis. Dengan gerakan cepat dan gesit aku berlari menyeberang jalan dan mengejar pria yang mencopet tas sang ibu tersebut, meskipun rok panjang yang kukenakan sedikit membuatku susah untuk melangkah lebar. Jilbab lebar yang kukenakan pun tak mau kalah ikut berkibar. Seakan memberiku motivasi untuk terus berlari mengejar sosok pria tersebut. Disatu sisi, aku bersyukur karena sepatu yang kupakai berhak tipis, jadi tidak menyusahkanku untuk berlari.

Aku memasuki lorong-lorong jalan yang asing bagiku. Ya, sosok pria tersebut tampak tak jauh dariku. Dan pria tersebut pun tak mau kalah. Mungkin Ia sadar, seseorang tengah mengejar di belakangnya. Ia semakin mempercepat larinya, hingga tepat di sebuah lorong pertigaan yang sepi, pria tersebut menghentikan langkahnya. Aku pun menghentikan langkahku sambil ngos-ngosan menarik nafas setelah lelah berlari mengejarnya. Jarak antara kami hanya berkisar tiga meter. Ia berbalik ke belakang menghadapku. Dan alangkah terkejut aku menatap sosok pria yang berdiri di depanku tersebut. Aku mematung terheran menatapnya. Dan ia juga tampak terkejut melihatku. Ya, kini aku ingat siapa pria tersebut. Aku hafal betul tatapan mata itu.

Aku tersadar dari lamunanku setelah sebuah tas terlempar tepat mengenai diriku yang sengaja dilempar oleh pria tersebut. Aku segera menangkap tas tersebut, disusul kepergian pria tersebut. Entah kemana larinya. Aku tak lagi bersemangat mengejarnya. Aku masih shockdengan apa yang kulihat barusan.

Aku tahu betul sosok pria tersebut. Sosok yang hampir lebih dari delapan tahun tak pernah kutemui dan tak kudengar kabarnya. Ia yang dulu pernah duduk di bangku tepat di belakangku ketika aku masih berada di bangku SMP sebelum aku belajar di pondok Madani. Ia yang membantuku membuat bingkai foto ketika kami mendapat tugas dari guru Kesenian. Ah, lebih tepatnya ia yang membuatkanku bingkai foto tersebut. Ia yang dulu mengajariku, dan menjadi pelatihku dalam bermain catur. Ia yang menjadi temanku dalam kegiatan ekstrakurikuler pencak silat yang kami sebut dengan Tapak Suci.

Masih teringat di memoriku bagaimana kami berlomba lari, dan dia selalu lebih cepat dariku. Juga ketika kami bermain catur, dan aku selalu kalah darinya. Lalu aku tidak akan puas dengan kekalahanku, dan memintanya kembali bermain catur hingga aku yang menang. Meskipun aku tahu, sebenarnya ia sengaja mengalah untukku.

Bunyi klakson motor mengagetkanku dari lamunan. Aku ingat bahwa aku harus segera mengembalikan tas tersebut kepada pemiliknya. Aku segera berlari ke jalan raya tempat sang ibu tadi berada. Aku menatap kerumunan orang-orang di sekitar sang ibu tersebut.

“Permisi, ini tas ibu”, Aku menyerahkan tas tersebut. Dan semua mata terarah kepadaku. “Wah, kok aku kayak SARAS 008 ya ? ”, bisikku dalam batin. Ehem-ehem, Aku jadi pahlawan nih.

“Terimakasih banyak, Dek.”, jawab sang ibu tersebut tampak senang. “Alhamdulillah, semua masih utuh. Kemana larinya pencopet tadi?”, lanjut sang ibu yang segera memeriksa isi tasnya.

“Gak tahu Bu. Gak terkejar. Saya cuma bisa mengambil tas ibu saja. Lari. Gak tau kemana.”, ujarku.

“Makasih lho Dek…”,

“Gak apa-apa kok Bu, gak perlu berterimaksih seperti itu.”, Aku tersenyum. “Lain kali Ibu hati-hati.”

“Iya, makasih Dek.”

“Saya permisi dulu Bu.”, ucapku.

“Makasih banyak lho Dek…”, Ucap sang ibu mengiringi kepergianku.

Aku melangkah menuju tempat parkir bis yang tadi kunaiki. Pikiranku masih dipenuhi oleh sosok pria yang tadi kukejar. Aku sendiri juga heran, mengapa aku reflek mengejarnya dan tiba-tiba berubah menjadi sok jagoan seperti tadi? Andaikan orang yang tadi kukejar bukan dia yang dulu kukenal, mungkin tamatlah riwayatku. Atau entah apa yang akan terjadi denganku tadi. Mengapa ia pergi begitu saja? Mengapa juga aku menemuinya dalam situasi seperti tadi?

Ah, ingin sekali rasanya aku bercanda dengannya seperti dulu, ngobrol, menanyakan kemana saja ia menghilang, mendengar petualangannya, atau aku yang akan menceritakan perjalanan hidupku di pondok Madani, atau hanya sekedar menjabat tangannya dengan jabatan tangan khas kami dulu yang disertai dengan tonjokan tangan dan saling mengaitkan jari telunjuk dan mengatakan padanya bahwa aku adalah temannya yang dulu, dan tetap menjadi temannya sampai kapanpun. “Eh, kan sesama non muhrim dilarang bersentuhan.”, gumamku dalam diam. Aku senyum-senyum sendiri menertawakan hayalanku. “Waduh, gawat nih kalau ada yang memperhatikan. Bisa-bisa aku dikira orang gila aja.”

Hmmm, sungguh di luar dugaanku aku akan bertemu dengannya dalam situasi kejar-kejaran seperti tadi. Lama ia menghilang tanpa kabar. Aku hampir tidak percaya dengan apa yang kulihat. “Dia yang dulu kukenal baik, kok bisa sih dia berbuat seperti itu? Ada apa dengannya? mungkinkah kini ia berubah menjadi seorang pencopet?. Kuharap tidak.”, Aku bicara sendiri. Ya, Manusia sama sekali tidak tahu apa yang akan terjadi dengan dirinya esok hari. Semua berada dalam genggaman skenario-Nya. “Seindah apapun rencana kita, jauh lebih indah rencana Allah buat kita.”, begitu ungkapan yang pernah kudengar. Namun bukan berarti manusia hanya berpangku tangan tanpa usaha. Semua harus disertai dengan ikhtiar dan tawakkal kepada-Nya.

“Eh, mana ya bis yang tadi kunaiki?! Kok gak ada?”, Tanyaku seorang diri menyadari bis yang tadi kunaiki tak kutemukan lagi di tempatnya. “Jangan-jangan...”, pikirku. “Terus… tasku… barang-barangku… uangku… terus ongkos apa buat pulang? Aduh! Tolong...!!!”, ujarku dalam batin.

Ya, semua berada dalam genggaman skenario-Nya. Beberapa menit yang lalu, aku menjadi sang jagoan, namun kini aku kehilangan barang-barangku. Semua berubah hanya dalam hitungan menit.

Terimakasih Anak-Anakku

Terimakasih
Meski kutahu semua takkan terbalas hanya dengan ungkapan terimakasih
Kau buatku tersenyum
Tertawa
Lepaskan beban
Kau sambut aku dengan senyummu di pagi biru
Kau buatku tersenyum dengan panggilanmu
Kau doakan aku dengan salammu
Kau teduhkanku dengan ciummu di tanganku
Kau buatku damai dengan pelukmu
Kau buatku tertawa dengan ceritamu
Seakan aku berada di lautan embun
Di lapangan putih
Semua suci
Damai....
Polos....
Terimakasih
Anak-anakku
Aku janji
Tak akan melupakanmu
Terimakasih anak-anakku
Kau lukis sejarahku dengan tawa candamu
Kau sebarkan tawa kepadaku.
Salam sayang selalu
Dariku untukmu
Anak-anakku......

Biasakan dalam Keluarga Anda

Entah kenapa muncul di otakku sebuah … apa ya? Ah, bingung mau dikasih nama apa. Langsung aja deh, berikut ini peraturan, eh, salah-salah. Bukan peraturan. Lebih enak kalau disebut KEBIASAAN yang bisa diterapkan dalam keluarga kita semua:

J Biasakan untuk selalu mengucapkan salam ketika keluar maupun masuk rumah. Bahkan setingkat masuk kamar.

J Selalu meminta izin dan bilang kepada anggota keluarga yang ada di dalam rumah jika hendak keluar rumah.

J Biasakan sholat fardhu On Time. Tambah sholat nafilah bagus tuh!

J Biasakan makan bersama.

J Sholat jamaah bersama keluarga dong. Eh, kalau si Bapak harus ke masjid.

J Membiasakan bicara kepada anak-anak dengan bahasa yang halus. Kalau orang Jawa ya… bahasa Kromo.

J Membagi tugas piket rumah kepada seluruh anggota keluarga.

J Dilarang keluar rumah setelah maghrib. Kecuali kalau terpaksa.

J Biasakan untuk membaca qur’an setelah maghrib dan sesudah sholat subuh dilanjutkan belajar (setelah maghrib dan sehabis subuh). Ketika itu televisi maupun musik harus dimatikan. Kalau bisa orang tua ikutan membimbing anak-anaknya belajar. Si ibu membimbing belajar. Si bapak baca-baca buku apalah… Jadi semua bernuansa belajar.

J Ketika Anda membimbing anak Anda belajar, harus sabar… jangan memarahi anak Anda jika ia tidak bisa atau gak paham-paham.

J Biasakan untuk menghafal Qur’an satu hari satu ayat. Boleh setelah sholat ashar atau sesudah sholat subuh. Jadi tidak boleh beranjak dari tempat sholat sebelum menghafal satu ayat. Setelah sholat ashar menghafal satu ayat. Setelah subuh mengulang dari awal hingga akhir biar hafalannya gak lupa.

J Orang tua harus mengetahui dan menyeleksi buku-buku apa saja yang dibaca anggota keluarganya, juga tontonan apa yang dilihat dan bunyi-bunyian apa yang didengar, dan dengan siapa anak-anak Anda bermain, karena semua itu tanpa sadar akan membentuk pola pikir kita dan mereka.

J Biasakan untuk berkumpul dan ngobrol bersama atau boleh juga nonton tv rame-rame setelah sholat isya’ sehabis belajar.

J Tentukan jam tidur malam bagi anak-anak Anda. Jika anak-anak diharuskan tidur jam sembilan, maka orang tua harus juga tidur jam sembilan malam. Paling tidak ya.. pura-pura tidurlah. Jangan sampai orang tua menyuruh anaknya tidur jam sembilan, sementara si Bapak masih asik nonton pertandingan sepak bola di televisi.

J Jangan pernah memarahi anak-anak anda jika mereka mendapatkan nilai merah atau nilai jelek di sekolah, tapi berilah motivasi dan semangat kepada mereka dan katakan bahwa kita menyayangi mereka.

J Orang tua so pasti harus jadi contoh yang baik buat anak-anak.

J Tanyakan kepada anak-anak Anda apa yang mereka pelajari ketika di sekolah. Mungkin suatu saat nanti anak Anda akan menjawab “Ngapain Ibu nanya-nanya?” atau “Ah, bosen ah ibu nanya itu terus.” Hehee… pengalaman menjadi anak nih. But it’s ok, karena suatu saat nanti anak Anda pasti sadar akan perhatian Anda, dan mungkin ketika anak Anda menjadi orang tua, ia akan meniru apa yang Anda lakukan.

J Berilah hadiah kepada anak-anak anda jika mereka berprestasi.

J Ajari anak-anak Anda untuk peduli. Misalnya, ketika Anda sedang berjalan di jalan bersama anak Anda, lalu melihat ada kayu atau batu (bukan kayu or batu yang guedee lho ya) di tengah jalan, perintahkan anak Anda untuk membuang kayu atau batu tersebut. Atau ketika ada pengemis, suruhlah anak Anda untuk memberikan uang kepada pengemis tersebut. Atau ketika anak Anda sedang makan snack, lalu ada temannya datang, suruhlah anak Anda untuk memberi sebagian snack yang dimakannya kepada temannya. Atau sesekali ajaklah anak Anda menjenguk kerabat yang sakit.

J Kenalkan anak Anda dengan kerabat-kerabat dan handai taulan.

J Ketika anak-anak sedang ujian di sekolah, maka televisi jangan dinyalakan selama hari-hari ujian. Kalau ujiannya dua minggu, ya televisi gak boleh dinyalakan selama dua minggu itu. Siapapun itu gak boleh nonton tv, baik kakak, adek, ibu, nenek, etc. Bila perlu tulis besar-besar di kertas dan temple di depan tv “UJIAN”.

J Meskipun nilai ujian anak-anak Anda tidak memuaskan / jelek, tetap berilah penghargaan atas usaha dan kesungguhan mereka dalam belajar. Kecuali kalau mereka bermalas-malasan.

J Biasakan untuk hemat dan menabung. Uang saku jangan berlebihan.

J Ajari anak-anak Anda untuk mandiri. Nyuci piring sendiri, nyuci baju sendiri. Oya, ajari juga untuk masak, baik laki-laki maupun perempuan. Kenapa laki-laki diajari memasak? Karena tidak tertutup kemungkinan suatu saat nanti ketika dia sudah dewasa, dia dihadapkan pada situasi hidup tanpa wanita or hidup sendiri.

J Oya, ceritakan kisah-kisah perjuangan para tokoh-tokoh, nabi-nabi, dan pejuang-pejuang Islam.

J Pendidikan pertama dan dasar yang harus diajarkan kepada anak-anak Anda adalah Al-Qur’an.

J Belikan anak-anak Anda buku bacaan (yang bermutu dan mendidik) minimal sebulan sekali. Kalau bisa buatlah ruang perpustakaan keluarga yang nyaman. Trus… budayakan dalam keluarga Anda cinta membaca.

J Ajari anak-anak Anda pentingnya kewajiban menutup aurat.

J Biasakan untuk selalu mengawali setiap pekerjaan dengan do’a atau basmallah dan mengakhiri dengan hamdalah.

J Tanyakan kepada guru yang mengajar anak-anak Anda di sekolah bagaimana anak Anda di sekolah.

J Sesekali telponlah ke sekolah, untuk memastikan bahwa anak Anda benar-benar masuk sekolah dan tidak bolos atau main-main. Jika anak Anda izin ke sekolah karena ada kegiatan ekstrakurikuler, cek benar-benar dan pastikan bahwa ketika itu memang ada kegiatan Ekskul. Bukannya tidak mempercayai anak, tapi… menjaga, atau bahasa Jawanya MEWANTI-WANTI.

J Jika anak Anda izin hendak bermain keluar bersama teman-temannya, tanyakan siapa temannya dan hendak main kemana. Bila perlu suruh aja main di rumah.

J Jangan pernah mengizinkan anak Anda menginap di rumah orang lain. Ini bukan masalah tidak mempercayai anak-anak kita. Tapi ya… menjaga dan menciptakan kebiasaan yang benar. Memang sih kesannya keras banget, tapi yaa… harusnya memang seperti itu. Akibat peraturan bergaul yang terlalu bebas nih jadi berkesan hal itu keras dan mengekang.

J Jangan belanja berlebihan. Ibu-ibu nih biasanya. Yang sesuai kebutuhan ajalah, jangan turuti nafsu keinginan. Bila perlu catat pemasukan dan pengeluaran Anda. Ini bisa mengontrol pengeluaran Anda.

J Jangan pelit-pelit untuk bersedekah. Kalau sudah mencapai nishab zakat ya bayar zakatlah.

J Jangan biasakan berhutang. Hiduplah sesuai kemampuan. Jangan suka pamer, eh ternyata hasil gali lubang.

J Harus selalu bersyukur. Gak boleh mengeluh. Bersyukur dan terus berusaha meningkatkan diri.

J Ceritakan kisah perjuangan hidup Anda kepada anak-anak Anda.

Ketulusan

Ketulusan....
Langka...

Semua topeng
Semua bohong
Semua pura-pura
Semua bermotif
Semua riya'
Semua untuk keuntungan pribadi
Semua tak sebaik yang kukira
Semua tak setulus yang kubayangkan
Semua tak sesayang yang kupikirkan
Semua omong kosong!

Ketulusan... aku mencarimu...

Coment

Baca berita seputar Ptira, n wawancara dengan Jaksa Agung dan MA... ah, rasanya ingin sekali aku bertanya kepada bapak ketua MA. "Dibayar berapa Anda sampai Anda menerima kasasi dari jaksa?", atau.. "Berapa uang yang masuk ke kantong Anda?", "Bapak gak malu ya kemaren bilang "benar" sekarang bilang "salah"?". "Hmm... MA kok gak konsisten gitu ya dengan keputusannya."

Pagi Ini

Pagi ini aku melihat seorang bapak usia 50 tahunan. Ia memikul galon berisi air. Mungkin bapak itu tahu bahwa berat baginya untuk memikul satu galon air penuh, jadi ia hanya mengisi 3/4 bagian dari galon. Dia terus melangkah menjauhiku. Namun aku tahu pasti kemana tujuannya.

Ah, ingin sekali kusodorkan sepedaku padanya dan menawarkan padanya "Pak, berat bawanya. Pakai sepeda ini aja Pak, dari pada dipikul kayak gitu!."

Tapi... aku hanya terpaku menatapnya.

Sad

I don't know why I'm crying when I read that article. That's not an imagination or a novel. Tha's a reality. So sorrow.

In a time there was a rich person who has millions money and alo of cars. But in a same time there was a poor person. very poor that makes you cry to know it.

Than I talk to my self that I must be a rich person to help them. I ough to be a clever person to teach them. I ough to help them!

Lapang Dada

Kadang kita dihadapkan pada situasi yang membuat kita kecewa
Berharap dan berangan-angan
Namun brujung pada kekecewaan
Atau mungkin setingkat sakit hati
Semua harusnya bisa dimaklumi
Semua harusnya bisa dipahami
Tidak ada di dunia ini manusia yang tanpa cela
Pun tidak ada manusia yang tanpa salah
Kita hanya bisa berusaha dan berharap
Tetap semua skenario ada pada-Nya

Kekecewaan jangan sampai berakibat pada sakit hati yang berlebihan
Jangan sampai berbuah kedengkian
Jangan sampai berbuah caci maki yang bisa berakibat luka-luka yang lain
Semua harus dihadapi dengan pandangan yang positif
Tanpa saling menyalahkan
Yang lapang dada... yang suci...
Tanpa rasa benci...
Tanpa rasa dengki...
Tanpa adanya permusuhan
Karena mungkin demikian skenarionya

Ukhuwah harus tetap dijaga
Harus tetap saling menyayangi
Saling mendo'akan yang baik.

Jumat, 06 Mei 2011

Memberi

Memang, suatu hal yang menyenangkan ketika kita diberi hadiah oleh orang lain. Namun lebih indah lagi ketika kita berada di tangan atas. Ketika kita berada di posisi sebagai pemberi.


Ketika kita punya banyak makanan, lalu kita membagikannya kepada orang-orang atau teman-teman di sekitar kita. Atau ketika kita memiliki banyak uang lalu kita membagikannya kepada orang-orang terdekat kita... hmmm... rasakan sensasinya. Sensasi bahagia karena melihat senyuman orang-orang di sekitar kita.

Kamis, 05 Mei 2011

I

I can't touch you
But I can still feel your presence
I can't see you
But I can still remember your face and your smile
I can't talk you
But I can still hear your warmful words
I can't love you
But you stil remain in my heart...
Forever.

تزكية النفس

Ingin memiliki hati yang bersih
Suci
Bebas dari penyakit-penyakit hati
Sekecil apapun itu
Tiada rasa benci atau rasa tidak suka
Semua positif
Tersenyum kepada semua orang
Siapapun itu
Dengan senyuman tulus
Ramah
Teduh
Bukan pura-pura
Juga bukan sekedar basa-basi
Sayang kepada semua
Semangat!
Seperti sosok yang pernah kulihat
My Inspirated teacher "......."
Seperti sosok Rasulullah
Yang pernah kubaca dalam shirohnya
Semoga aku bisa seperti mereka
amin.

Rabu, 04 Mei 2011

Media Massa?




Media Massa. Entah kenapa tiba-tiba muncul di otakku sebuah pikiran tentang media massa. Bingung hendak mengungkapkan opiniku ini kepada siapa, akhirnya kutulis sajalah. Kalau sudah ditulis/diungkapkan kan lega jadinya.

Mengapa tiba-tiba aku ingin bicara tentang media massa?

Ceritanya waktu itu aku sedang makan sambil nonton TV. Tepatnya nonton berita. Cukup serius juga sih beritanya. Tentang sekelompok organisasi yang diberi nama oleh media massa dengan sebutan NII. Melihat berita itu, orang-orang langsung heboh. Semua mengangguk kepada apa yang diberitakan oleh media massa.

Ya, lagi-lagi berita semacam itu. Kenapa Islam dibawa-bawa? Pastinya berita semacam itu akan menimbulkan asumsi buruk tentang Islam di mata mereka yang awam tentang Islam. Sempat terpikir juga sih di benakku akan kebenaran berita itu. Sudah validkah data-datanya? Atau jangan-jangan hal-hal semacam itu sengaja dimunculkan dengan tujuan untuk memberikan citra buruk terhadap Islam? Atau mungkinkah ada orang atau kelompok tertentu yang dengan sengaja merekayasa, mendanai, menentukan orang-orangnya, dan merancang alur cerita sedemikian rupa dengan tujuan untuk memberikan kesan bahwa Islam itu agama yang keras? Entahlah.

Karena peristiwa sekilas itulah aku jadi berkesimpulan tentang dahsyatnya pengaruh media massa dalam membentuk asumsi kita, bahkan bisa jadi setingkat membentuk cara berpikir, gaya hidup, dan kepribadian kita. Juga setingkat menentukan mana yang benar dan mana yang salah.

Ketika media massa bilang A, semua orang ikut bilang A. Ketika media massa berwarna kuning, semua orang ikut mewarnai diri dengan warna kuning. Dan realita yang ada sekarang memang demikian. Media massa menyuguhkan cara berpakaian yang serba terbuka, pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bebas, berbagai aksesoris tubuh yang berlebihan (anting-anting bagi laki-laki, cat rambut, tato dll), dan gaya hidup yang glamor dan serba hedonis. Dan kita terhipnotis dengan suguhan-suguhan tersebut. Kita menerima dengan senang hati tanpa filter semua yang ditawarkan media massa.

Harusnya kita punya pedoman, mana yang boleh diikuti dan mana yang tidak perlu. Harusnya kita menyaring kembali kebenaran suguhan-suguhan tersebut. Harusnya kita bersikap skeptis dan jangan asal mengamini apa yang dikatakan media massa. Dan yang paling penting, harusnya kita tahu, siapa orang-orang di balik media massa saat ini.

Peran media massa memang benar-benar dahsyat. Jika di sekolah-sekolah ada guru-guru yang mengajarkan pengetahuan dan nilai-nilai hidup, maka di lingkungan masyarakat, media massa mengambil alih posisi “guru” tersebut.

Masih ingatkah Anda bagaimana pidato Bung Tomo disiarkan lewat radio hingga demikian dahsyat membakar semangat arek-arek Surabaya dalam memperjuangkan kemerdekaan? Yups, media massa punya andil.

Atau masih ingatkah anda dengan berita anak kecil yang meloncat dari jendela lantai atas rumahnya hendak terbang dengan pakaian Superman yang dipakainya gara-gara meniru aksi Superman dalam film yang dilihatnya? Lagi-lagi media massa.

Begitu juga ketika media massa seakan mengait-kaitkan aksi-aksi peledakan bom dengan Islam, orang-orang memandang sebelah mata terhadap Islam. Padahal Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin. Islam tidak mengajarkan kekerasan.

Juga ketika media massa memberitahukan tentang keberhasilan NASA mengirim Neil Amstrong menginjakkan kaki di bulan untuk pertama kali. Mayoritas konsumen media massa mengangguk dan percaya. (Termasuk salah satunya aku). Ternyata belakangan kemudian, berita itu diragukan kebenarannya dengan penyangkalan-penyangkalan dan bukti-bukti yang cukup kuat.

Conclutionnya:

Tidak dipungkiri, media massa punya andil, peran, dan pengaruh yang cukup kuat dalam mewarnai kehidupan manusia. Maka, hendaknya kita berhati-hati terhadap kebenaran media massa. Pastinya orang yang berada di balik media massa ikut memberikan andil. Entah andil dalam bentuk apapun itu, langsung maupun tidak, jelas maupun samar dan tersembunyi. Dan hendaknya kita tahu siapa orang-orang di balik media massa saat ini.

Senin, 18 April 2011

Ibu VS Ayah


Tulisan ini kuberi judul Ibu VS Ayah. Bukan maksudku membanding-bandingkan untuk saling memusuhi Lho... tapi untuk saling melengkapi. Ehem, langsung mulai ke pokok permasalahan.

Suatu hari ada seorang Ayah bersama seorang anak laki-lakinya. Anak tersebut tampak baru berusia sekitar lima tahun. Si Ayah berjalan mengiringi si anak memasuki sebuah rumah makan kecil yang biasa disebut dengan Depot La Tansa atau biasa disingkat DLP. Semua berlangsung damai dan aman tanpa masalah, hingga si anak melihat sebuah box es krim.

“Ayah, aku mau es krim. ", ujar sang anak mendekati box es krim.

Si Ayah mengiyakan tanpa banyak koment.

Tapi, ah, sayang sekali. Sungguh malang nasib si anak. Box es krim itu kosong. Tak terdapat satu bungkus pun es krim di dalamnya.

“Es krimnya sudah habis, Pak. », terang seorang kasir DLP kepada sang ayah.

Si anak pun menangis karena apa yang diingini tak terkabulkan.

“Es krimnya sudah habis. Nanti ayah belikan di tempat lain ya ? », bujuk sang ayah. Namun, bujukan itu sama sekali tak berpengaruh bagi si anak.

« Gak mau-gak mau... !!! », rengek sang anak tak mau diam. « Mau es krim... », tangis si anak semakin keras. Sang ayah masih terus mencoba membujuk si anak agar tenang. Tapi, lagi-lagi bujukan itu sia-sia. Bahkan si anak semakin keras menangis, ia duduk selonjoran di atas lantai sambil menghentak-hentakkan kakinya.

Tampaknya kesabaran sang ayah telah habis. Si ayah pergi keluar DLP meninggalkan sang anak menangis dan merengek sendirian. Entah kemana si ayah pergi. Beberapa detik kemudian, muncullah seorang wanita memasuki DLP dan mendekati si anak tersebut.

"U... Sayang... ? ", Wanita tersebut mendekati si anak. "Yuk, sini sama Umi, Sayang", bujuk wanita tersebut yang ternyata adalah ibunya sambil merangkul si anak. Kini sang anak aman berada dalam gendongan wanita tersebut.

Rupanya si bapak tadi keluar DLP memanggil ibunya... heheee. Mungkin kesabaran si ayah telah habis.

"Eh, tu ada Yakult... ", Sang ibu mulai mengalihkan perhatian sang anak. Ia menunjuk ke sebuah lemari pendingin yang tampak dari luar penuh berisi Yakult. "Waah... enak ni ! beli Yakult yuuk... ", Si ibu membuka lemari pendingin dan memungut satu botol Yakult.

Dan sang anak pun terdiam di gendongan ibunya. Si ibu berhasil dengan mudah menenangkan anaknya. Atau... si anak sudah capek nangis kali ya.

Conclutionnya :

Emang ya, Ibu itu... beda sama ayah. Ibu itu... lebih berperasaan, lebih lembut, lebih sabar, lebih pengertian, Lebih mudah dekat dengan si anak dari pada sang ayah. Beda banget sama si ayah. Si ayah gak sabaran. Dengan kelebihan luar biasa yang dimiliki si ibu, so Pasti dong si anak akan lebih merasa dekat dan nyaman berada di samping ibu.

Sekolah

“Sepuluh tahun lagi, ya anak saya sudah kuliah”, kata-kata itu masih menggema di benakku. Hingga jam istirahat pun aku masih belum bisa menghiraukan ucapan itu. Sebuah ucapan sepeleh dari guru Bahasa Indonesiaku, namun tidak sepeleh bagiku. Karena setelah mendengar ucapan itu, muncul sebuah pertanyaan di batinku, “Bisa gak ya aku kuliah? Aku kan tidak punya banyak uang. Orang tuaku juga tidak sekaya guru Bahasa Indonesiaku. Orang tuaku hanya seorang petani. Tepatnya buruh petani.”. Tapi aku kan juga ingin merasakan bagaimana rasanya belajar di bangku kuliah. Lalu menjadi ilmuan seperti Albert Einsten, Al-Khowarizmi, Thomas Alfa Edison, dan ilmuan-ilmuan lainnya yang pernah kubaca cerita dan biografinya. “Ah, hayalan tingkat tinggi. Sekarang saja aku baru duduk di kelas tiga SMP.”, aku menepis mimpiku.

Dan tiba-tiba perutku keroncongan. Aku baru sadar kalau tadi pagi aku belum sarapan karena aku terburu-terburu. Yups, kalau lapar seperti ini kebiasaanku yang sudah dihafal oleh teman-temanku adalah pulang ke rumah, makan. Kalau jam istirahat aku tidak ada di sekolah, berarti aku sedang asik makan di rumah. Rumahku yang berada tak jauh dari sekolah membuatku sengaja mengundur waktu sarapanku hingga jam istirahat. Hanya butuh waktu berjalan lima menit dari sekolah untuk sampai ke rumah.

Sekolahku terletak di sebuah pelosok desa. Sekolah kecil dengan jumlah murid yang sedikit. Tak ada kelas paralel karena jumlah murid tiap kelas hanya berkisar tiga puluhan. Sekolahku juga tidak berpagar, jadi kami bebas keluar masuk atau pulang ke rumah ketika jam istirahat. Hanya ada peraturan “siswa di larang meninggalkan sekolah jika jam pelajaran belum selesai, meskipun ketika jam istirahat.” Dan, peraturan itu selalu setia untuk kulanggar hampir tiap hari.

Aku melangkah melintasi beranda sekolah. Kulihat beberapa temanku tengah asik bermain voli.

"Da, pulang ta ?", panggil seorang temanku, Sugiarti yang sejak tadi duduk di beranda kelas melihat permainan voli anak-anak putra.

"Yuk, ikut gak ?", tawarku.

Aku sempat terkejut juga melihatnya beranjak mendekatiku. Aku pun menghentikan langkah. Biasanya jarang ada yang berminat untuk kuajak pulang ke rumahku. Tumben Sugiarti mau.

Tidak perlu naik sepeda, atau naik motor untuk sampai ke rumahku. Cukup jalan kaki sekitar lima menit, aku sudah sampai di depan rumah.

“Assalamu’alaikum”, salamku membuka pintu rumah yang tidak terkunci. Dan sudah kuketahui, tak ada seorang pun di rumah. Rumahku memang tidak pernah dikunci jika siang hari, meskipun tak ada seorang pun di rumah. Mungkin kami terlalu yakin tidak akan ada pencuri yang sudi masuk ke rumah kami. Kalaupun ada pencuri yang masuk, dapat kupastikan sang pencuri akan kebingungan hendak mencuri apa.

Di rumah ini hanya ada ibu, bapak, aku, dan kakakku satu-satunya. Ibuku sudah berangkat ke sawah sejak pagi tadi. Dan Bapak sudah tiga hari melaut. Ibuku seorang petani, dan ayahku seorang nelayan. Wah, club banget ya. Kakakku kalau jam segini biasanya masih keliling dengan sepeda onthelnya menjajakan es potong. Kakakku sudah duduk di bangku SMA. Dan sekolahnya juga sore. Jadi pagi hari dia berjualan es yang diambil dari Pak Ruslan, pemasok es potong yang tinggal di desa sebelah. Setelah dhuhur baru dia berangkat sekolah.

Aku ngeloyor ke dapur dan mengambil dua buah piring. Aku duduk mendekati meja makan. Kubuka tudung yang menutupi makanan di atas meja. Hmmm… enzim-enzim di mulutku keluar. Aku menelan air liurku. Ibuku membuatkanku sambal jeruk kesukaanku. Dua buah cabe tanpa tomat dicampur petis, lalu diulek. Ketika cabe sudah hancur dan menyatu dengan petis, lalu jeruk nipis dipotong tanpa dikupas kulitnya dan diulek juga bersama cabe dan petis tadi. Hmm…. Segarnya…

"Yuk, makan ! ", tawarku kepada Sugiarti.

Aku menikmati sarapanku bersama Sugiarti. Bukan sarapan berupa susu maupun roti seperti yang biasa dimakan anak-anak kota. Sarapanku sangat sederhana. Nasi, sambal jeruk, dan tahu goreng buatan ibuku. Meskipun sederhana tapi aku sangat menikmatinya. Kulihat Sugiarti juga tampak menikmati sambal buatan ibuku.

Selesai makan, kami segera mencuci piring yang kami pakai. Telah menjadi kebiasaan di rumahku bagi siapa yang makan harus mencuci piringnya sendiri. Setelah sarapan selesai, kami pun kembali ke sekolah dengan perut kenyang.

“Waa… sambal buatan ibumu mantap!”, puji Sugiarti.

Kurasa Sugiarti juga belum sarapan. Biasanya ia jarang mau jika kuajak makan di rumahku. Alasannya sih sudah sarapan di rumah.

@@@@

Sudah tiga hari ini aku tidak melihat raut muka Sugiarti di kelas. Entah kenapa dia tidak masuk kelas. Tidak ada kabar maupun surat ijin darinya. Kutanya kepada teman-teman yang lain juga tidak tahu. Rumahnya memang terletak jauh di seberang desa. Butuh waktu hampir setengah jam perjalanan naik sepeda dari rumahnya menuju sekolah. Itu pun harus melalui sawah-sawah. Kondisi jalanannya pun tidak semulus jalan aspal. Apalagi jika musim hujan turun, dapat dipastikan jalanan licin, becek dan banyak lubang yang tergenang air.

“Jangan-jangan dia sakit perut setelah kuajak makan pakai sambal di rumahku?”, tanyaku dalam hati. “Tapi… sambal buatan ibuku kemaren gak pedas-pedas banget kok.”. Meskipun aku suka pedas, tapi ibuku tidak pernah mengijinkanku makan sambal dengan cabe lebih dari dua buah.

Dan siang ini, sepulang sekolah aku berniat ke rumah Sugiarti. Yups, tadi malam aku sudah mengutarakan niatku ini kepada ibuku. Dan ibuku mengangguk.

Aku duduk di depan rumah menanti kedatangan kakakku tercinta. Menanti sepedanya tepatnya. Dan tak lama, kakakku muncul dari seberang jalan. Tanpa ba bi bu, aku langsung mendekati sepeda dan memegang setir sepeda.

“Jadi?”, tanya kakakku.

“Jadi dong”, jawabku semangat.

" Sendiri ? berani gak ?"

"Berani ... !"

"Hati-hati", pesan kakakku.

“Oke Bos! Siap!”, Aku menghormat.

Kukayuh sepeda onthel milik kakak. Meskipun usia sepeda ini sudah lama, tapi terawat dan kelihatan kinclong. Ya, sepeda kesayangan kakakku nih. Dan kakak tidak pernah lupa untuk mengelapnya tiap pagi sebelum keliling berjualan es. Dia juga tak pernah mengijinkan lumpur menempel lama di roda sepedanya. Ya, sepeda ini menjadi saksi perjalanan kakakku tersayang.

Aku melewati hamparan sawah hijau yang berada di sebelah selatan desaku. Kukayuh sepedaku melewati jalan kecil berlumpur. Kulihat beberapa petani tengah asik membungkuk di tengah sawah sambil menanam padi. Dapat kupastikan rasa capek yang berat, atau punggung yang pegal karena membungkuk seharian. Eh, tapi… kok aku tidak pernah mendengar ibuku mengeluh kecapean ya. Hmmm… ibuku yang tegar. Ibuku yang tak pernah mengeluh. Ibuku yang selalu memberikan suport dan motivasi buat anak-anaknya. Meskipun kadang bawel juga sih. But, I love you mom.

Hampir setengah jam aku mengayuh sepeda. Akhirnya aku memasuki sebuah pedesaan. Singkul, begitu orang-orang menyebut desa ini. Dilihat dari kondisi rumah-rumah penduduknya, desa ini tampak lebih terbelakang dibanding desaku. Tak kulihat gapura desa ketika aku memasuki desa ini. Tahun lalu bahkan sempat terjadi tanah longsor yang menimpa beberapa rumah penduduk desa ini yang terletak tepat di pinggiran aliran bengawan Solo.

Waduh, rumah Sugiarti yang mana ya? Siapa lagi nama bapaknya? Kalau orang yang kutanya tidak kenal dengan Sugiarti kan kali aja kenal sama bapaknya. O iya, aku baru ingat kalau bapaknya sudah meninggal ketika dia masih SD.

Kulihat seorang ibu-ibu muda (menurutku lebih pas jika dipanggil mbak) sedang duduk di depan rumah menggendong seorang anak kecil sekitar usia satu tahunan. Aku mengerem sepeda, dan bertanya kepadanya.

“Lurus aja dek, nanti ada rumah warna coklat menghadap ke selatan. Ada amben di depan rumahnya.”, jelasnya.

Aku mengikuti arahannya. Kembali kukayuh sepedaku pelan sambil kepalaku terus menatap ke kiri, mencari-cari rumah warna coklat dengan amben di depan rumah. Ya, aku melihatnya.

Aku berhenti tepat di depan rumah tersebut. Kujagang sepedaku di halaman sempit rumah tersebut. Kudekati pintu rumah, lalu kuucap salam.

“Wa’alaikum salam.”, yups, tak salah lagi. Itu adalah suara Sugiarti. Sang pemilik suara muncul dari dalam.

"Lho, Da ?", Sugiarti tampak heran melihatku sampai di depan pintu rumahnya. Aku hanya tersenyum. "Kok tahu rumahku ? Sama siapa ?"

"Sendiri.", jawabku.

Sugiarti mempersilahkanku masuk da duduk. Ada dua buah kursi kayu kecil dan satu kursi kayu panjang plus meja kayu tanpa taplak meja. Semua tampak tua. Aku duduk di kursi panjang bersama Sugiarti.

Dalam hati, aku salut kepada Sugiarti. Tiap hari, pagi dan siang dia mengayuh sepeda bolak-balik dari rumahnya ke sekolah. Semua untuk satu kata, « SEKOLAH ». Ah, harusnya aku bersyukur karena rumahku berdekatan dengan sekolahku. Tak perlu jauh-jauh mengayuh sepeda.

"Kamu kenapa tiga hari gak masuk sekolah ?", tanyaku kepadanya.

"Ibuku sakit, Luk. Ya, aku harus jaga adikku.", aku terkejut melihat jawaban Sugiarti. "Tapi sekarang sudah baikan. Besok kalau gak ada halangan kayaknya aku bisa masuk kelas.", lanjutnya.

Aku meminta Sugiarti untuk menemaniku menemui ibunya di dalam. Aku duduk di samping tempat tidur ibunya.

Ternyata rumah Sugiarti jauh lebih kecil dan jauh lebih sederhana dari rumahku. Rumahnya hanya bersekat satu yang memisahkan ruang tamu dan ruang dalam. Di ruang tamu ada seperangkat kursi kayu tua dan satu meja. Sedangkan di ruang dalam hanya ada satu ranjang besi tua, satu lemari kayu yang juga tampak tua, dan peralatan dapur sederhana. Tak kulihat kamar mandi. Entah dimana kamar mandinya. Mungkin di luar.

Kulihat ibunya sedang tertidur. Sugiarti berniat membangunkan ibunya, tapi aku segera melarangnya dengan isyarat gelengan kepala. Kami pun kembali duduk di ruang tamu dan kembali bercengkrama.

“Ibumu sakit apa, Sug?”, tanyaku.

“Panas dingin.”

“Gak diperiksakan ke Puskesmas ta?”

“Ibuku gak mau diperiksa ke Puskesmas. Cuma minum obat beli di toko.”

Aku tidak menanyakan sebabnya. Karena aku bisa menebak. Pasti karena finansial yang kurang.

"Adikmu mana ?", tanyaku.

" Ke tetangga sebelah paling, main sama teman-temannya"

"Emang adikmu umur berapa sih Sug ?"

"Empat tahun."

O, pantas saja Sugiarti tidak masuk kelas. Dia harus menjaga ibunya yang sakit, juga mengurus adiknya. Pastinya juga Sugiarti yang memasak makanan untuk ibu dan adiknya. Kembali aku salut kepadnya, Sugiarti benar-benar hebat.

“O iya Sug, tadi ada pengumuman dari Pak Sabar, seminggu lagi try out.”, kataku.

Sugiarti hanya berekspresi datar.

“Gak tau Da, nanti aku bisa ikutan apa enggak.”, ujarnya.

Aku tampak terkejut mendengar ucapannya. "Haruslah Sug. ", balasku.

Sugiarti menarik napas. Ia menatapku dengan senyuman aneh.

@@@

Seminggu berlalu, dan hari ini try out Ujian Nasional akan dilaksanakan. Tapi tak kulihat kemunculan Sugiarti di sekolah. Apakah kondisi ibunya masih parah? Atau jangan-jangan dia lupa kalau hari ini ada try out? Aku duduk di depan kelas menatap ke arah jalan, mengharap kedatangan Sugiarti mengayuh sepedanya.

Namun harapanku pupus. Yang terekam di telingaku malah justru kabar bahwa Sugiarti sudah izin keluar sekolah karena ia akan menikah. Dan aku hanya terbengong mendengar berita itu.

Di satu sisi aku menyesalkan dia, karena sebentar lagi ujian. Mengapa dia tidak menunggu sampai selesai ujian ? "Ah, mungkin itu jalan yang terbaik buat dia. Tau apa aku.", ujarku kemudian dalam hati.