AHLAN WA SAHLAN

Puisi adalah jiwa. Luapan perasaan. Dalam puisi ada cinta, nostalgia, ideologi, dan rasa syukur.


Tulislah apa yang ada di pikiranmu. Luapkan dalam coretan-coretan indahmu. Dan sepuluh tahun lagi mungkin kau akan tertawa atau bahkan mungkin coretan itu akan menjadi sebuah memori yang mahal. menjadi sebuah cerita tersendiri yang bisa dikenang. Yups, selagi kita masih bisa menulis, kenapa kita tidak meluapkannya dalam coretan-coretan? Meskipun coretan itu hanya bisa kita nikmati sendiri (hehe... menghibur diri ni?)

Pernah frustasi gara-gara karyamu gak pernah diterima? Nasiiib... nasiiib. Kalo iya, berarti kamu senasib dong ma aku. Asiiik ada temen senasib nih! Ceritanya aku lagi frustasi nih lianna (kan biasanya pake coz, sekarang ganti lianna ja biar lebih..... apa ya? lebih bernuansa kearaban gitu deh! Biar ga English mulu!) puisiku ga diterima di majalah yang pernah kukirim, akhirnya bikin blog sendiri ja deeeh. Yaah, nikmati sendirilah.

Selasa, 03 Juli 2012

Selasa, 26 Juni 2012



            Perjalanan pulangku kali ini benar-benar spesial. Beda dengan biasanya. Yups, Perjalanan 3 jam dalam bis Ponorogo-Jombang ternyata membuatku pengen pipis. Sebenarnya bukan naik busnya sih yang bikin aku pengen pipis, tapi karena aku terlalu banyak minum. Ya, aku minum air putih hampir setengah botol lebih dalam bus. Coz aku lagi batuk, and tenggorokanku serek, jadi ya minum terus. Satu-satunya jalan ekskresi hanya melalui urine, coz bus full AC, jadi aku gak berkeringat sedikitpun. Nyampek kertosono aku dah pengen pipis. Waduh, gimana nih, masa aku mau pipis di bus. Hihihiiii... Aku tahan... hampir setengah jam lebih. “Lima belas menit lagi Luk..”, hiburku dalam hati. Padahal aku tahu perjalananku masih sekitar setengah jam lebih. Dan akhirnya.... akuuu... Hah?!! Ngompol di dalam bus??? Enggak la yaww!
            Akhirnya aku mengambil ranselku yang lumayan berat. Isinya baju-bajuku yang dah gak kupakai lagi. Aku melangkah menuju pintu depan. “Pak, terminal Jombang masih jauh ya Pak?”, tanyaku kepada sang kondektur.
            “Masih jauh Mbak.”, jawab sang kondektur.
            “Pak, turun di pom bensin terdekat.”, ujarku
            “Mau ke toilet ya Mbak?”, tanya sang kondektur. Tau aja nih sang kondektur.
            Aku mengiyakan.
            Sang sopir menurunkanku di pinggir jalan dekat pertigaan. 50 meter ke kanan ada toilet umum, jadi aku gak perlu menunggu lama untuk sampai di pom bensin. Aku mengikuti arahan sang sopir, setelah sebelumnya aku dengan PEDEku nongol di depan toko milik orang china “Cik, boleh numpang ke toilet!”, pintaku.
            “Sebelah situ Mbak ada toilet umum. Nyebrang terus jalan 50 meter”, seorang mas-mas, sepertinya sih pembeli, memberiku arahan lain. Hmm... susahnya numpang pipis zaman sekarang. Mau pipis aja harus bayar.
            Selesai dari toilet aku bingung mau ke terminal naik apa. Kalau bingung ya tanya, tapi liat-liat dulu mau tanya ke siapa. Coz, banyak penipu oy. Aku melihat seorang mbak-mbak. Kutanya aja deh dia. “naik angkutan mbak.”, gitu jawabnya.
            Sepuluh menit aku menunggu di pinggir jalan. Hampir saja aku memberhentikan mobil ceri. Hihihii... Untungnya aku ingat kalau mobil angkutan umum tuu... platnya warna hijau. Hmm... Akhirnya ada angkutan juga. So, Cap Cus. Go ke terminal.
            Di tengah jalan, mobil berhenti. Ada penumpang yang mau naik oy, seorang kakek, berkemeja putih plus celana hitam. Rapi. Necis. Semua tersetrika licin. Wah, jadi bikin aku  inget bapakku aja nich. Aku duduk berhadapan dengan sang kakek. Penumpangnya Cuma berdua. Kasihan juga aku melihat Pak Sopir. Ya, this is life. Keras. Kejam.
Setelah diem-dieman hampir lima menit, sang kakek bersuara. Basa-basi gitu, tanya mau kemana. Ah, pertanyaan wajaar. Kujawab aja mau ke Terminal. Sang kakek bicara lagi. Kali ini aku benar-benar terkejut. Dalam Hati aku sebel juga sih dikit. “PEDE banget nih Kakek”. Sang kakek bilang ongkos dia kurang tiga ribu. Aku diminta membayarinya. Wuih... baru ngobrol satu dua kata dah minta dibayarin. Gayanya uangnya kurang, padahal bajunya necis Oy. Bawa ayam jago lagi. Habis beli ayam jago sepertinya. Sang kakek mendesak. Aku gak mengiyakan. Aku Cuma tersenyum. Tersenyum aneh. Asli gak tulus banget senyumku. Ah, ni Kakek, aku Cuma membawa uang lima puluh ribu. Cuma itu satu-satunya uang terakhirku. Tadi sudah terpakai empat belas ribu buat ongkos naik bus. Tinggal tiga puluh enam ribu nih. Tiga puluh enam ribu ini untuk naik bus Jombang-Babat sembilan ribu. Trus naik bus lagi Babat-Semlaran tiga ribu. Trus naik Ojek Semlaran-Rumah lima belas ribu. 9 + 3 + 15 = 27. Ah, masih cukup kok. Bersyukur juga aku berangkat dari rumah ke terminal Ponorogo diantar temanku. Jadi aku bebas bayar ongkos ojek lima belas ribu. -Teman adalah kekayaan yang tak ternilai-.
            “Dia memelihara ayam mungkin Luk... Atau dia cuma tinggal berdua sama istrinya. Anak-anaknya pergi jauh, jadi dia sendiri yang belanja.” Hati baikku berhusnudzon.
            Sampai di terminal, aku segera turun.
            “Pinten Pak?”, tanyaku kepada sang sopir angkutan
            “Gangsal ewu”, jawab Pak sopir.
            Aku memberikan uang sepuluh ribu kepada Pak Sopir.
            “Kalian Mbah niku Pak.”, ucapku sambil memberikan uang sepuluh ribuan. Wah, hati baikku nih yang menang.
            Ternyata uangku masih kembali dua ribu. Berarti ongkos buat si kakek tadi ya Cuma tiga ribu.
            Aku terus berjalan memasuki terminal khusus untuk bus. Sempat kutengok ke belakang. Sang kakek masih berjalan agak jauh di belakangku. Arah yang dia tuju sama seperti arahku. Apa mungkin sang kakek tersebut mau naik bus? Hendak kemana dia?
Lalu Beberapa menit setelah itu aku tak tahu kemana perginya kakek tersebut.

2 komentar:

  1. dari sumlaran terus naik ojek ke arah mana? ke utara atau selatan?

    BalasHapus
  2. ke utara. anak lamongan juga ya?

    BalasHapus