"Dek....", Gumam Ruhin setelah membuka pintu, menatap adiknya berdiri di pintu kostnya.
"Assalamu'alaikum.", Salam Fida kepada kakanya.
"Alaikumussalam. Kok ga bilang kalau mau kesini? Nyasar ga tadi?", Tanya Ruhin. "Kan bisa kakak jemput...", lanjutnya.
Fida hanya mematung.
"Masuk dek!"
"Ni tempat kost kakak. Ya... apa adanya.....", Ujar Ruhin. "Gimana kabar Ibu? Sehat? Bapak masih sakit?"
Fida hanya terdiam. Ia tak kuasa menahan air matanya. Kasihan melihat nasib kakaknya. Kakanya harus menjalani keras kehidupan jalanan. Menjadi seorang sales. Fida sendiri kurang tahu pastinya sales apa. Berada jauh di Surabaya. Jauh dari keluarga.
"Kok nangis? ah, cengeng nich! Katanya mau jadi wanita yang tegar....."
Dan lagi-lagi Fida hanya terdiam mengusap air matanya.
"Ga usah cengeng gitu. Kakak aja biasa aja kok. Hilang lho manisnya......", Goda kakaknya. Namun bualan Ruhin sama sekali tidak berpengaruh bagi Fida.
Ruhin menarik napas. "Ga usah bilang ke Ibu sama Bapak tentang keadaan kakak di sini. Kakak baik-baik saja kok. Sampaikan, kakak minta do'a, semoga tetap istiqomah di jalan yang benar. Di luar sana masih banyak dek orang-orang yang keadaannya lebih parah dari Kakak. Ini ga seberapa. Masa lupa sih cerita kakak tentang cangkir yang cantik? Hem?", Kata Ruhin. "Sebuah cangkir yang cantik tidak secara instan menjadi cangkir. Ia harus ditempa, dipukul, dibakar, diputar-putar, disemprot cat, dan dibakar lagi.", lanjutnya. "Ni kakak mau berubah menjadi cangkir cantik nih.", Lanjutnya. "Semangat dong dek! Kakak butuh suport. Bukan tangisan. Ah, cengeng nih!", Ruhin memegang kepala Fida, adiknya.
"Assalamu'alaikum.", Salam Fida kepada kakanya.
"Alaikumussalam. Kok ga bilang kalau mau kesini? Nyasar ga tadi?", Tanya Ruhin. "Kan bisa kakak jemput...", lanjutnya.
Fida hanya mematung.
"Masuk dek!"
"Ni tempat kost kakak. Ya... apa adanya.....", Ujar Ruhin. "Gimana kabar Ibu? Sehat? Bapak masih sakit?"
Fida hanya terdiam. Ia tak kuasa menahan air matanya. Kasihan melihat nasib kakaknya. Kakanya harus menjalani keras kehidupan jalanan. Menjadi seorang sales. Fida sendiri kurang tahu pastinya sales apa. Berada jauh di Surabaya. Jauh dari keluarga.
"Kok nangis? ah, cengeng nich! Katanya mau jadi wanita yang tegar....."
Dan lagi-lagi Fida hanya terdiam mengusap air matanya.
"Ga usah cengeng gitu. Kakak aja biasa aja kok. Hilang lho manisnya......", Goda kakaknya. Namun bualan Ruhin sama sekali tidak berpengaruh bagi Fida.
Ruhin menarik napas. "Ga usah bilang ke Ibu sama Bapak tentang keadaan kakak di sini. Kakak baik-baik saja kok. Sampaikan, kakak minta do'a, semoga tetap istiqomah di jalan yang benar. Di luar sana masih banyak dek orang-orang yang keadaannya lebih parah dari Kakak. Ini ga seberapa. Masa lupa sih cerita kakak tentang cangkir yang cantik? Hem?", Kata Ruhin. "Sebuah cangkir yang cantik tidak secara instan menjadi cangkir. Ia harus ditempa, dipukul, dibakar, diputar-putar, disemprot cat, dan dibakar lagi.", lanjutnya. "Ni kakak mau berubah menjadi cangkir cantik nih.", Lanjutnya. "Semangat dong dek! Kakak butuh suport. Bukan tangisan. Ah, cengeng nih!", Ruhin memegang kepala Fida, adiknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar