AHLAN WA SAHLAN

Puisi adalah jiwa. Luapan perasaan. Dalam puisi ada cinta, nostalgia, ideologi, dan rasa syukur.


Tulislah apa yang ada di pikiranmu. Luapkan dalam coretan-coretan indahmu. Dan sepuluh tahun lagi mungkin kau akan tertawa atau bahkan mungkin coretan itu akan menjadi sebuah memori yang mahal. menjadi sebuah cerita tersendiri yang bisa dikenang. Yups, selagi kita masih bisa menulis, kenapa kita tidak meluapkannya dalam coretan-coretan? Meskipun coretan itu hanya bisa kita nikmati sendiri (hehe... menghibur diri ni?)

Pernah frustasi gara-gara karyamu gak pernah diterima? Nasiiib... nasiiib. Kalo iya, berarti kamu senasib dong ma aku. Asiiik ada temen senasib nih! Ceritanya aku lagi frustasi nih lianna (kan biasanya pake coz, sekarang ganti lianna ja biar lebih..... apa ya? lebih bernuansa kearaban gitu deh! Biar ga English mulu!) puisiku ga diterima di majalah yang pernah kukirim, akhirnya bikin blog sendiri ja deeeh. Yaah, nikmati sendirilah.

Senin, 18 April 2011

Sekolah

“Sepuluh tahun lagi, ya anak saya sudah kuliah”, kata-kata itu masih menggema di benakku. Hingga jam istirahat pun aku masih belum bisa menghiraukan ucapan itu. Sebuah ucapan sepeleh dari guru Bahasa Indonesiaku, namun tidak sepeleh bagiku. Karena setelah mendengar ucapan itu, muncul sebuah pertanyaan di batinku, “Bisa gak ya aku kuliah? Aku kan tidak punya banyak uang. Orang tuaku juga tidak sekaya guru Bahasa Indonesiaku. Orang tuaku hanya seorang petani. Tepatnya buruh petani.”. Tapi aku kan juga ingin merasakan bagaimana rasanya belajar di bangku kuliah. Lalu menjadi ilmuan seperti Albert Einsten, Al-Khowarizmi, Thomas Alfa Edison, dan ilmuan-ilmuan lainnya yang pernah kubaca cerita dan biografinya. “Ah, hayalan tingkat tinggi. Sekarang saja aku baru duduk di kelas tiga SMP.”, aku menepis mimpiku.

Dan tiba-tiba perutku keroncongan. Aku baru sadar kalau tadi pagi aku belum sarapan karena aku terburu-terburu. Yups, kalau lapar seperti ini kebiasaanku yang sudah dihafal oleh teman-temanku adalah pulang ke rumah, makan. Kalau jam istirahat aku tidak ada di sekolah, berarti aku sedang asik makan di rumah. Rumahku yang berada tak jauh dari sekolah membuatku sengaja mengundur waktu sarapanku hingga jam istirahat. Hanya butuh waktu berjalan lima menit dari sekolah untuk sampai ke rumah.

Sekolahku terletak di sebuah pelosok desa. Sekolah kecil dengan jumlah murid yang sedikit. Tak ada kelas paralel karena jumlah murid tiap kelas hanya berkisar tiga puluhan. Sekolahku juga tidak berpagar, jadi kami bebas keluar masuk atau pulang ke rumah ketika jam istirahat. Hanya ada peraturan “siswa di larang meninggalkan sekolah jika jam pelajaran belum selesai, meskipun ketika jam istirahat.” Dan, peraturan itu selalu setia untuk kulanggar hampir tiap hari.

Aku melangkah melintasi beranda sekolah. Kulihat beberapa temanku tengah asik bermain voli.

"Da, pulang ta ?", panggil seorang temanku, Sugiarti yang sejak tadi duduk di beranda kelas melihat permainan voli anak-anak putra.

"Yuk, ikut gak ?", tawarku.

Aku sempat terkejut juga melihatnya beranjak mendekatiku. Aku pun menghentikan langkah. Biasanya jarang ada yang berminat untuk kuajak pulang ke rumahku. Tumben Sugiarti mau.

Tidak perlu naik sepeda, atau naik motor untuk sampai ke rumahku. Cukup jalan kaki sekitar lima menit, aku sudah sampai di depan rumah.

“Assalamu’alaikum”, salamku membuka pintu rumah yang tidak terkunci. Dan sudah kuketahui, tak ada seorang pun di rumah. Rumahku memang tidak pernah dikunci jika siang hari, meskipun tak ada seorang pun di rumah. Mungkin kami terlalu yakin tidak akan ada pencuri yang sudi masuk ke rumah kami. Kalaupun ada pencuri yang masuk, dapat kupastikan sang pencuri akan kebingungan hendak mencuri apa.

Di rumah ini hanya ada ibu, bapak, aku, dan kakakku satu-satunya. Ibuku sudah berangkat ke sawah sejak pagi tadi. Dan Bapak sudah tiga hari melaut. Ibuku seorang petani, dan ayahku seorang nelayan. Wah, club banget ya. Kakakku kalau jam segini biasanya masih keliling dengan sepeda onthelnya menjajakan es potong. Kakakku sudah duduk di bangku SMA. Dan sekolahnya juga sore. Jadi pagi hari dia berjualan es yang diambil dari Pak Ruslan, pemasok es potong yang tinggal di desa sebelah. Setelah dhuhur baru dia berangkat sekolah.

Aku ngeloyor ke dapur dan mengambil dua buah piring. Aku duduk mendekati meja makan. Kubuka tudung yang menutupi makanan di atas meja. Hmmm… enzim-enzim di mulutku keluar. Aku menelan air liurku. Ibuku membuatkanku sambal jeruk kesukaanku. Dua buah cabe tanpa tomat dicampur petis, lalu diulek. Ketika cabe sudah hancur dan menyatu dengan petis, lalu jeruk nipis dipotong tanpa dikupas kulitnya dan diulek juga bersama cabe dan petis tadi. Hmm…. Segarnya…

"Yuk, makan ! ", tawarku kepada Sugiarti.

Aku menikmati sarapanku bersama Sugiarti. Bukan sarapan berupa susu maupun roti seperti yang biasa dimakan anak-anak kota. Sarapanku sangat sederhana. Nasi, sambal jeruk, dan tahu goreng buatan ibuku. Meskipun sederhana tapi aku sangat menikmatinya. Kulihat Sugiarti juga tampak menikmati sambal buatan ibuku.

Selesai makan, kami segera mencuci piring yang kami pakai. Telah menjadi kebiasaan di rumahku bagi siapa yang makan harus mencuci piringnya sendiri. Setelah sarapan selesai, kami pun kembali ke sekolah dengan perut kenyang.

“Waa… sambal buatan ibumu mantap!”, puji Sugiarti.

Kurasa Sugiarti juga belum sarapan. Biasanya ia jarang mau jika kuajak makan di rumahku. Alasannya sih sudah sarapan di rumah.

@@@@

Sudah tiga hari ini aku tidak melihat raut muka Sugiarti di kelas. Entah kenapa dia tidak masuk kelas. Tidak ada kabar maupun surat ijin darinya. Kutanya kepada teman-teman yang lain juga tidak tahu. Rumahnya memang terletak jauh di seberang desa. Butuh waktu hampir setengah jam perjalanan naik sepeda dari rumahnya menuju sekolah. Itu pun harus melalui sawah-sawah. Kondisi jalanannya pun tidak semulus jalan aspal. Apalagi jika musim hujan turun, dapat dipastikan jalanan licin, becek dan banyak lubang yang tergenang air.

“Jangan-jangan dia sakit perut setelah kuajak makan pakai sambal di rumahku?”, tanyaku dalam hati. “Tapi… sambal buatan ibuku kemaren gak pedas-pedas banget kok.”. Meskipun aku suka pedas, tapi ibuku tidak pernah mengijinkanku makan sambal dengan cabe lebih dari dua buah.

Dan siang ini, sepulang sekolah aku berniat ke rumah Sugiarti. Yups, tadi malam aku sudah mengutarakan niatku ini kepada ibuku. Dan ibuku mengangguk.

Aku duduk di depan rumah menanti kedatangan kakakku tercinta. Menanti sepedanya tepatnya. Dan tak lama, kakakku muncul dari seberang jalan. Tanpa ba bi bu, aku langsung mendekati sepeda dan memegang setir sepeda.

“Jadi?”, tanya kakakku.

“Jadi dong”, jawabku semangat.

" Sendiri ? berani gak ?"

"Berani ... !"

"Hati-hati", pesan kakakku.

“Oke Bos! Siap!”, Aku menghormat.

Kukayuh sepeda onthel milik kakak. Meskipun usia sepeda ini sudah lama, tapi terawat dan kelihatan kinclong. Ya, sepeda kesayangan kakakku nih. Dan kakak tidak pernah lupa untuk mengelapnya tiap pagi sebelum keliling berjualan es. Dia juga tak pernah mengijinkan lumpur menempel lama di roda sepedanya. Ya, sepeda ini menjadi saksi perjalanan kakakku tersayang.

Aku melewati hamparan sawah hijau yang berada di sebelah selatan desaku. Kukayuh sepedaku melewati jalan kecil berlumpur. Kulihat beberapa petani tengah asik membungkuk di tengah sawah sambil menanam padi. Dapat kupastikan rasa capek yang berat, atau punggung yang pegal karena membungkuk seharian. Eh, tapi… kok aku tidak pernah mendengar ibuku mengeluh kecapean ya. Hmmm… ibuku yang tegar. Ibuku yang tak pernah mengeluh. Ibuku yang selalu memberikan suport dan motivasi buat anak-anaknya. Meskipun kadang bawel juga sih. But, I love you mom.

Hampir setengah jam aku mengayuh sepeda. Akhirnya aku memasuki sebuah pedesaan. Singkul, begitu orang-orang menyebut desa ini. Dilihat dari kondisi rumah-rumah penduduknya, desa ini tampak lebih terbelakang dibanding desaku. Tak kulihat gapura desa ketika aku memasuki desa ini. Tahun lalu bahkan sempat terjadi tanah longsor yang menimpa beberapa rumah penduduk desa ini yang terletak tepat di pinggiran aliran bengawan Solo.

Waduh, rumah Sugiarti yang mana ya? Siapa lagi nama bapaknya? Kalau orang yang kutanya tidak kenal dengan Sugiarti kan kali aja kenal sama bapaknya. O iya, aku baru ingat kalau bapaknya sudah meninggal ketika dia masih SD.

Kulihat seorang ibu-ibu muda (menurutku lebih pas jika dipanggil mbak) sedang duduk di depan rumah menggendong seorang anak kecil sekitar usia satu tahunan. Aku mengerem sepeda, dan bertanya kepadanya.

“Lurus aja dek, nanti ada rumah warna coklat menghadap ke selatan. Ada amben di depan rumahnya.”, jelasnya.

Aku mengikuti arahannya. Kembali kukayuh sepedaku pelan sambil kepalaku terus menatap ke kiri, mencari-cari rumah warna coklat dengan amben di depan rumah. Ya, aku melihatnya.

Aku berhenti tepat di depan rumah tersebut. Kujagang sepedaku di halaman sempit rumah tersebut. Kudekati pintu rumah, lalu kuucap salam.

“Wa’alaikum salam.”, yups, tak salah lagi. Itu adalah suara Sugiarti. Sang pemilik suara muncul dari dalam.

"Lho, Da ?", Sugiarti tampak heran melihatku sampai di depan pintu rumahnya. Aku hanya tersenyum. "Kok tahu rumahku ? Sama siapa ?"

"Sendiri.", jawabku.

Sugiarti mempersilahkanku masuk da duduk. Ada dua buah kursi kayu kecil dan satu kursi kayu panjang plus meja kayu tanpa taplak meja. Semua tampak tua. Aku duduk di kursi panjang bersama Sugiarti.

Dalam hati, aku salut kepada Sugiarti. Tiap hari, pagi dan siang dia mengayuh sepeda bolak-balik dari rumahnya ke sekolah. Semua untuk satu kata, « SEKOLAH ». Ah, harusnya aku bersyukur karena rumahku berdekatan dengan sekolahku. Tak perlu jauh-jauh mengayuh sepeda.

"Kamu kenapa tiga hari gak masuk sekolah ?", tanyaku kepadanya.

"Ibuku sakit, Luk. Ya, aku harus jaga adikku.", aku terkejut melihat jawaban Sugiarti. "Tapi sekarang sudah baikan. Besok kalau gak ada halangan kayaknya aku bisa masuk kelas.", lanjutnya.

Aku meminta Sugiarti untuk menemaniku menemui ibunya di dalam. Aku duduk di samping tempat tidur ibunya.

Ternyata rumah Sugiarti jauh lebih kecil dan jauh lebih sederhana dari rumahku. Rumahnya hanya bersekat satu yang memisahkan ruang tamu dan ruang dalam. Di ruang tamu ada seperangkat kursi kayu tua dan satu meja. Sedangkan di ruang dalam hanya ada satu ranjang besi tua, satu lemari kayu yang juga tampak tua, dan peralatan dapur sederhana. Tak kulihat kamar mandi. Entah dimana kamar mandinya. Mungkin di luar.

Kulihat ibunya sedang tertidur. Sugiarti berniat membangunkan ibunya, tapi aku segera melarangnya dengan isyarat gelengan kepala. Kami pun kembali duduk di ruang tamu dan kembali bercengkrama.

“Ibumu sakit apa, Sug?”, tanyaku.

“Panas dingin.”

“Gak diperiksakan ke Puskesmas ta?”

“Ibuku gak mau diperiksa ke Puskesmas. Cuma minum obat beli di toko.”

Aku tidak menanyakan sebabnya. Karena aku bisa menebak. Pasti karena finansial yang kurang.

"Adikmu mana ?", tanyaku.

" Ke tetangga sebelah paling, main sama teman-temannya"

"Emang adikmu umur berapa sih Sug ?"

"Empat tahun."

O, pantas saja Sugiarti tidak masuk kelas. Dia harus menjaga ibunya yang sakit, juga mengurus adiknya. Pastinya juga Sugiarti yang memasak makanan untuk ibu dan adiknya. Kembali aku salut kepadnya, Sugiarti benar-benar hebat.

“O iya Sug, tadi ada pengumuman dari Pak Sabar, seminggu lagi try out.”, kataku.

Sugiarti hanya berekspresi datar.

“Gak tau Da, nanti aku bisa ikutan apa enggak.”, ujarnya.

Aku tampak terkejut mendengar ucapannya. "Haruslah Sug. ", balasku.

Sugiarti menarik napas. Ia menatapku dengan senyuman aneh.

@@@

Seminggu berlalu, dan hari ini try out Ujian Nasional akan dilaksanakan. Tapi tak kulihat kemunculan Sugiarti di sekolah. Apakah kondisi ibunya masih parah? Atau jangan-jangan dia lupa kalau hari ini ada try out? Aku duduk di depan kelas menatap ke arah jalan, mengharap kedatangan Sugiarti mengayuh sepedanya.

Namun harapanku pupus. Yang terekam di telingaku malah justru kabar bahwa Sugiarti sudah izin keluar sekolah karena ia akan menikah. Dan aku hanya terbengong mendengar berita itu.

Di satu sisi aku menyesalkan dia, karena sebentar lagi ujian. Mengapa dia tidak menunggu sampai selesai ujian ? "Ah, mungkin itu jalan yang terbaik buat dia. Tau apa aku.", ujarku kemudian dalam hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar