AHLAN WA SAHLAN

Puisi adalah jiwa. Luapan perasaan. Dalam puisi ada cinta, nostalgia, ideologi, dan rasa syukur.


Tulislah apa yang ada di pikiranmu. Luapkan dalam coretan-coretan indahmu. Dan sepuluh tahun lagi mungkin kau akan tertawa atau bahkan mungkin coretan itu akan menjadi sebuah memori yang mahal. menjadi sebuah cerita tersendiri yang bisa dikenang. Yups, selagi kita masih bisa menulis, kenapa kita tidak meluapkannya dalam coretan-coretan? Meskipun coretan itu hanya bisa kita nikmati sendiri (hehe... menghibur diri ni?)

Pernah frustasi gara-gara karyamu gak pernah diterima? Nasiiib... nasiiib. Kalo iya, berarti kamu senasib dong ma aku. Asiiik ada temen senasib nih! Ceritanya aku lagi frustasi nih lianna (kan biasanya pake coz, sekarang ganti lianna ja biar lebih..... apa ya? lebih bernuansa kearaban gitu deh! Biar ga English mulu!) puisiku ga diterima di majalah yang pernah kukirim, akhirnya bikin blog sendiri ja deeeh. Yaah, nikmati sendirilah.

Minggu, 24 Juli 2011

Untukmu Shobat

Aku duduk membisu dalam sebuah bis Dali Mas. Bis jurusan Bojonegoro-Surabaya yang akan mengantarku menuju kampung halamanku tercinta. Bis ketiga yang kunaiki setelah Sumber Kencono yang mengantarku sampai di terminal pertama, dan Cendana yang mengantarku menuju terminal selanjutnya.

Sengaja aku memilih duduk di bangku depan dekat dengan pintu agar aku bisa leluasa melihat jalan dan pemandangan di luar bis. Ya, hal yang paling kusukai ketika aku berada dalam bis adalah menikmati pemandangan yang ada di dalam maupun di luar bis. Mulai dari pemandangan berbagai macam pamflet, rumah-rumah penduduk, sawah nan hijau, luas langit biru,pedagang asongan, sampai tukang ojek maupun tukang becak yang mangkal di perempatan jalan. Sesekali aku melirik sopir bis yang tengah asik bermain-main dengan setir yang dipegangnya. “Kapan ya aku bisa nyetir mobil seperti dia?”, mimpiku dalam hati.

Setelah hampir setahun aku menetap di kota orang, akhirnya aku kembali ke kampungku tercinta. Ah, lebih tepatnya delapan tahun aku meninggalkan desaku. Hanya saja aku bisa pulang tiap tahun, meskipun hanya beberapa hari saja singgah di rumah. Hmmm… semua terasa begitu cepat. Seperti baru kemaren aku menginjakkan kaki di pondok Madani tempat aku belajar. Ternyata, telah delapan tahun aku mewarnai sejarah hidupku di pondok Madani tersebut. Dan kini aku benar-benar telah kembali ke tanah kelahiranku. Bukan hanya singgah beberapa hari seperti tahun-tahun sebelumnya.

Bis berhenti di pinggir jalan depan pasar Babat, Lamongan. Kulihat sang kondektur dan sopir bus keluar dari bis. Mungkin mereka hendak mencari penumpang, atau hendak mengisi perut. Mataku tertuju ke arah jam dinding di depan yang seakan tak pernah letih untuk memberi kabar kepada seluruh penumpang tentang perjalanan waktu. Yups, jam dua tepat. Itu artinya setengah jam lagi aku akan sampai di desaku. Lamongan, begitu aku dan orang-orang menyebutnya. Tepatnya di sebuah pelosok desa di kabupaten Lamongan. Setelah hampir empat jam aku berada dalam perjalanan dari pondok Madani, akhirnya sebentar lagi aku akan sampai di kampung halamanku tercinta.

“Wingko Babat, Mbak? Asli. Masih anget lho.”, tawar seorang pedagang asongan kepadaku. Dan aku hanya menjawabnya dengan gelengan kepala.

Aku menatap ke luar bis tanpa menghiraukan para pedagang asongan yang berisik sibuk menawarkan barang-barangnya di dalam bis. Ya, pasar Babat memang tak pernah sepi. Suasana ramai, jalanan macet, dan udara panas, itulah gambaran singkat tentang pasar Babat, Lamongan.

Mataku tertuju kepada sosok seorang pria di seberang jalan tak jauh dari bis. Mungkin hanya berjarak sekitar sepuluh meter dari bis yang kunaiki. Pria tersebut berjalan menuju ke arah bis yang kunaiki. “Sepertinya aku pernah melihat pria tersebut. Tapi siapa ya?”, pikirku. Dan aku begitu terkejut ketika kulihat pria yang sejak tadi kuperhatikan merampas dengan cepat tas seorang ibu yang tengah berdiri di pinggir jalan. Spontan sang ibu tersebut berteriak “Copeeet…!!!”.

Dan entah kenapa reflek aku berlari keluar dari bis. Dengan gerakan cepat dan gesit aku berlari menyeberang jalan dan mengejar pria yang mencopet tas sang ibu tersebut, meskipun rok panjang yang kukenakan sedikit membuatku susah untuk melangkah lebar. Jilbab lebar yang kukenakan pun tak mau kalah ikut berkibar. Seakan memberiku motivasi untuk terus berlari mengejar sosok pria tersebut. Disatu sisi, aku bersyukur karena sepatu yang kupakai berhak tipis, jadi tidak menyusahkanku untuk berlari.

Aku memasuki lorong-lorong jalan yang asing bagiku. Ya, sosok pria tersebut tampak tak jauh dariku. Dan pria tersebut pun tak mau kalah. Mungkin Ia sadar, seseorang tengah mengejar di belakangnya. Ia semakin mempercepat larinya, hingga tepat di sebuah lorong pertigaan yang sepi, pria tersebut menghentikan langkahnya. Aku pun menghentikan langkahku sambil ngos-ngosan menarik nafas setelah lelah berlari mengejarnya. Jarak antara kami hanya berkisar tiga meter. Ia berbalik ke belakang menghadapku. Dan alangkah terkejut aku menatap sosok pria yang berdiri di depanku tersebut. Aku mematung terheran menatapnya. Dan ia juga tampak terkejut melihatku. Ya, kini aku ingat siapa pria tersebut. Aku hafal betul tatapan mata itu.

Aku tersadar dari lamunanku setelah sebuah tas terlempar tepat mengenai diriku yang sengaja dilempar oleh pria tersebut. Aku segera menangkap tas tersebut, disusul kepergian pria tersebut. Entah kemana larinya. Aku tak lagi bersemangat mengejarnya. Aku masih shockdengan apa yang kulihat barusan.

Aku tahu betul sosok pria tersebut. Sosok yang hampir lebih dari delapan tahun tak pernah kutemui dan tak kudengar kabarnya. Ia yang dulu pernah duduk di bangku tepat di belakangku ketika aku masih berada di bangku SMP sebelum aku belajar di pondok Madani. Ia yang membantuku membuat bingkai foto ketika kami mendapat tugas dari guru Kesenian. Ah, lebih tepatnya ia yang membuatkanku bingkai foto tersebut. Ia yang dulu mengajariku, dan menjadi pelatihku dalam bermain catur. Ia yang menjadi temanku dalam kegiatan ekstrakurikuler pencak silat yang kami sebut dengan Tapak Suci.

Masih teringat di memoriku bagaimana kami berlomba lari, dan dia selalu lebih cepat dariku. Juga ketika kami bermain catur, dan aku selalu kalah darinya. Lalu aku tidak akan puas dengan kekalahanku, dan memintanya kembali bermain catur hingga aku yang menang. Meskipun aku tahu, sebenarnya ia sengaja mengalah untukku.

Bunyi klakson motor mengagetkanku dari lamunan. Aku ingat bahwa aku harus segera mengembalikan tas tersebut kepada pemiliknya. Aku segera berlari ke jalan raya tempat sang ibu tadi berada. Aku menatap kerumunan orang-orang di sekitar sang ibu tersebut.

“Permisi, ini tas ibu”, Aku menyerahkan tas tersebut. Dan semua mata terarah kepadaku. “Wah, kok aku kayak SARAS 008 ya ? ”, bisikku dalam batin. Ehem-ehem, Aku jadi pahlawan nih.

“Terimakasih banyak, Dek.”, jawab sang ibu tersebut tampak senang. “Alhamdulillah, semua masih utuh. Kemana larinya pencopet tadi?”, lanjut sang ibu yang segera memeriksa isi tasnya.

“Gak tahu Bu. Gak terkejar. Saya cuma bisa mengambil tas ibu saja. Lari. Gak tau kemana.”, ujarku.

“Makasih lho Dek…”,

“Gak apa-apa kok Bu, gak perlu berterimaksih seperti itu.”, Aku tersenyum. “Lain kali Ibu hati-hati.”

“Iya, makasih Dek.”

“Saya permisi dulu Bu.”, ucapku.

“Makasih banyak lho Dek…”, Ucap sang ibu mengiringi kepergianku.

Aku melangkah menuju tempat parkir bis yang tadi kunaiki. Pikiranku masih dipenuhi oleh sosok pria yang tadi kukejar. Aku sendiri juga heran, mengapa aku reflek mengejarnya dan tiba-tiba berubah menjadi sok jagoan seperti tadi? Andaikan orang yang tadi kukejar bukan dia yang dulu kukenal, mungkin tamatlah riwayatku. Atau entah apa yang akan terjadi denganku tadi. Mengapa ia pergi begitu saja? Mengapa juga aku menemuinya dalam situasi seperti tadi?

Ah, ingin sekali rasanya aku bercanda dengannya seperti dulu, ngobrol, menanyakan kemana saja ia menghilang, mendengar petualangannya, atau aku yang akan menceritakan perjalanan hidupku di pondok Madani, atau hanya sekedar menjabat tangannya dengan jabatan tangan khas kami dulu yang disertai dengan tonjokan tangan dan saling mengaitkan jari telunjuk dan mengatakan padanya bahwa aku adalah temannya yang dulu, dan tetap menjadi temannya sampai kapanpun. “Eh, kan sesama non muhrim dilarang bersentuhan.”, gumamku dalam diam. Aku senyum-senyum sendiri menertawakan hayalanku. “Waduh, gawat nih kalau ada yang memperhatikan. Bisa-bisa aku dikira orang gila aja.”

Hmmm, sungguh di luar dugaanku aku akan bertemu dengannya dalam situasi kejar-kejaran seperti tadi. Lama ia menghilang tanpa kabar. Aku hampir tidak percaya dengan apa yang kulihat. “Dia yang dulu kukenal baik, kok bisa sih dia berbuat seperti itu? Ada apa dengannya? mungkinkah kini ia berubah menjadi seorang pencopet?. Kuharap tidak.”, Aku bicara sendiri. Ya, Manusia sama sekali tidak tahu apa yang akan terjadi dengan dirinya esok hari. Semua berada dalam genggaman skenario-Nya. “Seindah apapun rencana kita, jauh lebih indah rencana Allah buat kita.”, begitu ungkapan yang pernah kudengar. Namun bukan berarti manusia hanya berpangku tangan tanpa usaha. Semua harus disertai dengan ikhtiar dan tawakkal kepada-Nya.

“Eh, mana ya bis yang tadi kunaiki?! Kok gak ada?”, Tanyaku seorang diri menyadari bis yang tadi kunaiki tak kutemukan lagi di tempatnya. “Jangan-jangan...”, pikirku. “Terus… tasku… barang-barangku… uangku… terus ongkos apa buat pulang? Aduh! Tolong...!!!”, ujarku dalam batin.

Ya, semua berada dalam genggaman skenario-Nya. Beberapa menit yang lalu, aku menjadi sang jagoan, namun kini aku kehilangan barang-barangku. Semua berubah hanya dalam hitungan menit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar