AHLAN WA SAHLAN

Puisi adalah jiwa. Luapan perasaan. Dalam puisi ada cinta, nostalgia, ideologi, dan rasa syukur.


Tulislah apa yang ada di pikiranmu. Luapkan dalam coretan-coretan indahmu. Dan sepuluh tahun lagi mungkin kau akan tertawa atau bahkan mungkin coretan itu akan menjadi sebuah memori yang mahal. menjadi sebuah cerita tersendiri yang bisa dikenang. Yups, selagi kita masih bisa menulis, kenapa kita tidak meluapkannya dalam coretan-coretan? Meskipun coretan itu hanya bisa kita nikmati sendiri (hehe... menghibur diri ni?)

Pernah frustasi gara-gara karyamu gak pernah diterima? Nasiiib... nasiiib. Kalo iya, berarti kamu senasib dong ma aku. Asiiik ada temen senasib nih! Ceritanya aku lagi frustasi nih lianna (kan biasanya pake coz, sekarang ganti lianna ja biar lebih..... apa ya? lebih bernuansa kearaban gitu deh! Biar ga English mulu!) puisiku ga diterima di majalah yang pernah kukirim, akhirnya bikin blog sendiri ja deeeh. Yaah, nikmati sendirilah.

Sabtu, 05 Mei 2012

Bersyukur Luk...!



6 Agustus 2011
                Hari ini aku mendapat pelajaran yang sangat berharga. Pelajaran agar aku bersyukur. Agar aku tidak kufur nikmat.
            Yups, kala aku merasa sendiri menjalani hidup ini. Tak ada saudara maupun keluarga dekat yang menjengukku, seperti teman-temanku yang dikunjungi keluarganya, saudara-saudaranya, bulek pakliknya. Ah, ingin rasanya aku seperti itu. Dijenguk, dirangkul, dido’akan, hangat. Penuh dengan nuansa kekeluargaan. Saling menyayangi dan memperhatikan. “Kapan ya kakakku menjengukku?”, harapku sekilas. “Ah, aku tidak boleh egois. Semua punya kesibukan masing-masing.”, tepisku agar aku tetap berpositif thinking.
            Dan petang ini anak itu datang. Penuh dengan kesopanan. Kesopanan yang wajar. Tulus. Bukan pura-pura. Juga bukan untuk berPDKT ataupun caper.
            Zainab namanya. Oh, ternyata dia tidak sendiri. Ada orang lain di belakangnya. Zaitu. Awalnya kupikir mereka kembar. Eh, ternyata bukan. Tapi emang mirip banget.
            Zaenab dan zaitun. Ah, aku salut dengan mereka. Salut dengan prinsip yang mereka pegang. Kemandirian, kejujuran dan kesungguhan yang luar biasa. Kejujuran dan kesungguhan dalam belajar yang membuatku salut. Penuh dengan semangat dan pantang menyerah. Yups, mereka benar-benar hebat. Mereka jauh lenih kuat dariku.
            Ya, ketika aku berandai-andai dan merenungi diriku yang sendirian, Allah mengirimku sebuah cermin. Cermin yang bernama Zainab dan Zaitun. Agar aku berkaca pada mereka berdua. Seakan Allah berkata kepadaku, “Itu Lho Luk! Lihat! Renungkan! Zainab dan Zaitun yang tak pernah pulang selama empat tahun dan hanya dijenguk sekali! Bersyukur Luk! Bersyukur!”
            Dan akupun asik berbincang dengan mereka. Mendengar cerita dan kisah hidup mereka berdua. Cerita tentang bapak ibu mereka. Mereka daftar ke pondok diantar Bapaknya, dan hanya ditunggui satu jam, setelah itu langsung ditinggal. Kok hampir mirip ya denganku. Daftar langsung ditinggal. Segala perlengkapan urus sendiri. Cari teman. Urus sama temannya. Mungkin biar mandiri.
            Terimakasih ya Rabb atas pelajaran hidup yang sangat berharga yang kau berikan pada hamba petang ini.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar