AHLAN WA SAHLAN

Puisi adalah jiwa. Luapan perasaan. Dalam puisi ada cinta, nostalgia, ideologi, dan rasa syukur.


Tulislah apa yang ada di pikiranmu. Luapkan dalam coretan-coretan indahmu. Dan sepuluh tahun lagi mungkin kau akan tertawa atau bahkan mungkin coretan itu akan menjadi sebuah memori yang mahal. menjadi sebuah cerita tersendiri yang bisa dikenang. Yups, selagi kita masih bisa menulis, kenapa kita tidak meluapkannya dalam coretan-coretan? Meskipun coretan itu hanya bisa kita nikmati sendiri (hehe... menghibur diri ni?)

Pernah frustasi gara-gara karyamu gak pernah diterima? Nasiiib... nasiiib. Kalo iya, berarti kamu senasib dong ma aku. Asiiik ada temen senasib nih! Ceritanya aku lagi frustasi nih lianna (kan biasanya pake coz, sekarang ganti lianna ja biar lebih..... apa ya? lebih bernuansa kearaban gitu deh! Biar ga English mulu!) puisiku ga diterima di majalah yang pernah kukirim, akhirnya bikin blog sendiri ja deeeh. Yaah, nikmati sendirilah.

Minggu, 27 Februari 2011

Satu Keluarga

Dalam sebuah gubuk dia tinggal. Ah, mungkin tempat itu lebih cocok jika disebut sebagai kandang dari pada sebuah gubuk. Bedanya tempat itu terlihat bersih, meski hanya berdinding rajutan bambu dengan tambalan kardus dan karung disana-sini. Sepetak tanah sempit yang dihuni oleh satu keluarga kecil. Tak terdapat ranjang, kursi, maupun lemari layaknya rumah pada umumnya. Hanya ada gelaran tikar plastik, kardus yang berfungsi sebagai lemari pakaian dan rak buku, juga meja yang sama sekali tidak mirip dengan meja. Peralatan makan pun sangat sederhana. Mungkin orang-orang bilang jauh dari sederhana alias kurang.

Dan aku duduk di tempat itu. Terdiam. Sesekali aku menatap ke atas, melihat atap asbes yang tampak usang, terlihat celah disana-sini. Dapat kupastikan air hujan dapat dengan ceria memasuki rumah tersebut lewat banyak celah. Di tempat itu ia tinggal bersama istri dan kedua anaknya. Jauh dari hedonitas dunia yang selama ini diincar oleh banyak orang. Ia tak pernah menonton televisi dan tak pernah mengijinkan istri maupun anak-anaknya menonton, karena ia tahu bagaimana gencar serangan televisi dan internet menyerang.

Duduk aku bercengkrama bersamanya, istrinya juga anak-anaknya. Subhanallah, tak kudengar sedikit pun keluhan dari ucapan mereka tentang keadaan mereka. Yang ada hanya keceriaan dan rasa syukur.

“Tu kan... Ahsan gak salam... “, ujar anak perempuan yang berumur sekitar 12 tahun mengomentari adiknya yang masuk rumah tanpa mengucapkan salam.

“Mesti deh Ahsan…”, Ucap sang Ayah.

Dan aku hanya tersenyum mendengar ucapan mereka. Begitu juga Ahsan yang tampak cengar-cengir memasuki rumah.

“Duduk sini Dek!”, perintahku kepada Ahsan, anak kecil yang baru berumur berkisar 9 tahunan. Ia pun duduk di sampingku. Belum lima detik ia duduk di sampingku, tangannya meraih makanan yang ada di hadapannya.

“Bismillah dulu…”, ujar sang ibu kepadanya ketika ia hendak memakan kue yang diambilnya.

“Bismillahirrohmanirrohim”, ucap Ahsan sebelum memasukkan potongan kue di mulutnya.

Yups, tiap langkah dan gerakan penuh dengan do’a.

Seharian aku bersama mereka. Ngobrol dan makan bersama. Hmmm… soto ayam. Sang ibu mengambilkan nasi dan sayur untuk sang ayah dan Ahsan kecil. Barulah setelah itu ia mengambil nasi untuk dirinya sendiri. Hmmm romantisnya…

Aku makan dengan lahap.

“Dihabiskan, sunnah Rosul. Jangan ada sisa.”, ujar sang Ayah.

Aku tahu, pasti biasanya mereka hanya makan seadanya. Mungkin hanya dengan nasi dan sambal atau kerupuk. Karena hari ini aku kesini, maka sang ibu sengaja memasak soto ayam. Hmmm… segitunya….

Jujur, dalam hati aku salut padamu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar