AHLAN WA SAHLAN

Puisi adalah jiwa. Luapan perasaan. Dalam puisi ada cinta, nostalgia, ideologi, dan rasa syukur.


Tulislah apa yang ada di pikiranmu. Luapkan dalam coretan-coretan indahmu. Dan sepuluh tahun lagi mungkin kau akan tertawa atau bahkan mungkin coretan itu akan menjadi sebuah memori yang mahal. menjadi sebuah cerita tersendiri yang bisa dikenang. Yups, selagi kita masih bisa menulis, kenapa kita tidak meluapkannya dalam coretan-coretan? Meskipun coretan itu hanya bisa kita nikmati sendiri (hehe... menghibur diri ni?)

Pernah frustasi gara-gara karyamu gak pernah diterima? Nasiiib... nasiiib. Kalo iya, berarti kamu senasib dong ma aku. Asiiik ada temen senasib nih! Ceritanya aku lagi frustasi nih lianna (kan biasanya pake coz, sekarang ganti lianna ja biar lebih..... apa ya? lebih bernuansa kearaban gitu deh! Biar ga English mulu!) puisiku ga diterima di majalah yang pernah kukirim, akhirnya bikin blog sendiri ja deeeh. Yaah, nikmati sendirilah.

Sabtu, 28 April 2012

Kakak Galang



 
             “Kakak..., aku dapat juara satu...!”, Teriakku kepada Kak Galang yang tengah menyambutku di depan rumahku.
            “Alhamdulillah, Tos dulu!”, kami berdua saling mengangkat tangan kanan. Tos!
            “Terimakasih Kak.”, aku duduk di kursi depan rumah melepas sepatu bututku. Kak Galang duduk di sampingku. “Ini semua karena Kak Galang yang menjadi pelatihku. Kalau tidak, mana mungkin aku bisa menang.” Yup, aku menjadi juara 1 lomba catur PORSENI di kabupaten.
            “Itu karena usaha dan kerja kerasmu berlatih. Jadi Allah memberikan kemenangan padamu.”, jawab Kak Galang sambil mengusap kepalaku. Ah, Kak Galang memang selalu bijak dan dewasa. Tidak seperti aku yang  kekanak-kanakan.
            Kak Galang usianya 4 tahun lebih tua dariku. Sekarang dia sudah duduk di bangku kelas 2 SMA 1 Lamongan. Sedangkan aku masih duduk di kelas 1 SMP Muhammadiyah 3 Lamongan juga. Sebenarnya Kak Galang bukanlah kakak kandungku. Rumahnya berada tepat di samping rumahku. Jadi kami terlihat akrab sekali. Kami sering bermain bersama sepulang sekolah. Kak Galang mengajariku banyak hal. Memanjat pohon jambu air di depan rumah, memancing ikan di sungai, bermain badminton, catur, sampai bermain sepak bola. Ssstt... rahasia, jangan bilang-bilang ibu, nanti aku bisa kena marah, eh, bukan marah deng.Nanti aku bisa dinasehati puanjaang... sepanjang rel kereta api. Hehehee. Kak Galang juga yang telah mengajariku naik sepeda. Meskipun aku jatuh berkali-kali tapi Kak Galang terus memberiku semangat. Aku bahkan sudah menganggapnya seperti kakakku sendiri.
            Sebenarnya aku juga punya seorang kakak, tapi juga bukan kakak kandung.  Satu Bapak beda ibu. Kami tinggal di kota yang berbeda. Kakakku tinggal bersama ibunya. Aku tinggal bersama ibuku. ayah kami sudah tiada sejak aku masih berumur 5 tahun. Aku hanya tinggal berdua bersama ibuku.
            “Kak, aku ingin menjadi pemain catur tingkat nasional, boleh?”, tanyaku polos.
            “Tentu saja boleh. Jangankan tingkat nasional, tingkat dunia juga bisa.”
            Ya, Kami hanya dua anak desa yang mempunyai mimpi setinggi langit. Entah sampai kapan mimpi itu akan terus bertahan. Semoga mimpi itu tidak bertahan lama, dan segera berubah wujud menjadi kenyataan. “Amin”, do’aku dalam hati.


---------------------

            Teman-temanku bilang, sekarang aku berbeda. “Tambah alim aja Rin”, begitu ucap seorang temanku ketika kami bertemu dalam acara reoni SMP di sekolah.
            “Apaan? sama aja. Tambah error, iya...”, balasku.
            Tapi kurasa aku memang sedikit berbeda. Lihatlah penampilanku. Aku bahkan tidak memberi sedikit celah pun kepada rambutku untuk menatap dunia luar. Jilbab lebarku menutupnya kaffah. Kaos kaki yang kukenakan juga membuatku sedikit berbeda. Masih mending ini aku tidak memakai cadar. hehee...
            Kutatap teman-temanku dulu. Ah, hampir semuanya telah berkeluarga. Bahkan sudah banyak yang membawa momongan. Mereka sekarang bukan lagi anak-anak kecil yang dulu ingusan, ileran, i..., i apa aja dech, terusin sendiri ya.  Apalagi yang perempuan. Tinggal aku yang masih jomblo. Di usiaku yang ke 23 tahun ini aku masih saja menjomblo. Eh, gak juga deng. Sebentar lagi aku juga akan menikah. O iya, aku belum cerita ya.
            Beberapa hari lalu, tepatnya dua hari yang lalu, seorang pria melamarku. Seorang ikhwan. Tentu saja aku menerima. Perempuan mana yang mau menolak seorang ikhwan yang sholeh seperti dia. Sholeh, mapan lagi. Ia melamarku setelah kita menjalani proses ta’aruf satu bulan. Sebenarnya aku sudah mengenalnya cukup lama. Tapi tidak dekat. Hanya sebatas tahu saja. Mungkin sekitar dua tahunan. Ketika aku masih semester 4. Hanya saja kami jarang bertemu dan jarang berinteraksi. Dia sibuk menempuh program S2 di Yaman. Dan sebulan yang lalu, dia datang ke rumah. Tepat setelah aku menyelesaikan program S1ku. Dia juga telah menyelesaikan program S2nya. Ia Ingin mengenal lebih dekat, katanya. Selanjutnya kami bertukar biodata. Anehnya kami bahkan tidak pernah jalan keluar berdua. Jangankan jalan keluar berdua, ngobrol berduaan dengannya saja jarang. Aku sungguh tidak menyangka kalau dia yang akan menjadi suamiku nanti. Beruntung sekali aku mendapatkan suami seorang ikhwan seperti dia.
            Getar hpku menyadarkanku dari lamunan. ada sms dari kak Galang, “Setelah acara selesai, segera pulang ya dek... Kakak tunggu di rumah.”
            “Lho, bukannya Kak Galang masih di Jakarta? Kapan pulangnya? Kok di rumah? Katanya seminggu lagi baru pulang?”,Tanyaku dalam hati. Selesai SMA, kak Galang mendapat beasiswa kuliah di perguruan tinggi. Dia mengambil jurusan teknik sipil. Ujung-ujungnya dia bekerja di perusahaan kontraktor terkenal di Jakarta.
            Sedangkan aku, boro-boro menjadi pemain catur tingkat nasional. Selesai SMP, aku melanjutkan sekolah ke pondok yang berada di luar kota. Butuh waktu hampir 5 jam naik turun bis dari desaku ke pondok. Selesai belajar di pondok, aku melanjutkan kuliah di pondok itu juga. hehehee... Setelah lulus kuliah, aku langsung mengajar di SD di desaku. Baru sebulan aku mengajar di SD tersebut.
            Setelah membaca sms dari kak Galang, aku terbayang-bayang rumah. Terbayang kak Galang tepatnya. Ingin cepat pulang. Ingin melihat mukanya. Hampir delapan tahun, sejak aku belajar di pondok, aku tidak pernah melihatnya. “Apa aku pulang dulu aja ya? ah, gak enak sama teman-temanku.” Tapi kalau begini aku juga tidak tenang. Jasadku disini bersama teman-temanku, tapi jiwaku di rumah. Aku kangen kak Galang. Sebenarnya lebih dari itu. Aku ingin menyampaikan berita gembiraku. Aku ingin memberitahu dia bahwa dua hari yang lalu ada seorang pria yang melamarku. Aku ingin bilang kalau ucapan kak Galang memang benar, “Tidak usah hawatir Dek, yakin, serahkan pada-Nya, jodoh itu sudah ditentukan oleh-Nya. Yang terpenting kita selalu menjaga diri. Menjaga hati. Menjaga izzah sebagai seorang muslimah. Taat kepada aturan-Nya.”

---------------

            “Kakaaak...” teriakku melihat sosok kak Galang berdiri di depan rumah. Kak Galang terlihat semakin ganteng. Hehehe...
            Kak Galang tersenyum menyambutku. Senyum yang selalu saja mampu menghapus kesedihanku. Ah, aku bahkan pernah berpikir ada mantra di balik senyumnya. hihihi...
            “Kapan datang? katanya seminggu lagi pulangnya?”, tanyaku
            “Suprise.”, Jawab kak Galang ringan.
            “Hmm!” Aku pura-pura cemberut.
            Kak Galang tertawa melihat ekspresiku. “Samaaa... aja. Gak berubah-berubah. Dasar anak kecil!”, Ucap kak Galang kepadaku. Tapi kali ini tidak sambil mengusap kepalaku. hehehe. Gak muhrim.
            Sejenak kami duduk terdiam di kursi depan rumah. Kursi yang dulu pernah kami duduki. Kursi yang turut menjadi saksi persahabatan kami. Kursi itu juga tak berubah. Seperti pertemananku dengan kak Galang yang tak pernah putus.
            “Aku punya berita gembira buat Kak Galang!”, aku mengawali pembicaraan yang ternyata bersamaan dengan ucapan kak Galang “Aku mau bicara sesuatu Dek.”
            Sekali lagi kami terdiam untuk beberapa detik.
            “Kak Galang aja dulu.”, aku mengalah.
            “Adek aja dulu.”
            “Enggak. Kak Galang aja dulu yang ngomong. Kali ini aku mau belajar mengalah.” ucapku.
            Aku menunggu kak Galang bicara. Satu detik... dua detik... lima detik... kok gak ngomong-ngomong.
            Aku menatapkak Galang, memberi isyarat “mau ngomong apa? kok diem?”
            Kak Galang menarik nafas.
            “Dek,”
            Aku tidak menjawabnya. Aku masih menunggu kata-kata berikutnya.
            “Adek mau menjadi pendamping hidup Kakak?”, Seperti ada petir menyambar ulu hati. Aku hanya terpaku. “Adek mau menemani perjuangan kakak?”, Kak Galang kembali mengulang pertanyaannya.
            Aku hanya mampu terdiam. Bukan hanya petir. Ada kilat, hujan deras ditambah ribuat belati menyayat hatiku. Pedih. Perih. Sakit. Mataku terasa panas. Ah, tidak, air mataku hendak keluar. Aku harus menahannya. Aku menunduk agar kak Galang tak melihat mataku yang berkaca-kaca.
            “Kakak minta maaf kalau Kakak terlalu terburu-buru. Sebenarnya telah lama Kakak berniat...”,Kak Galang tidak melanjutkan ucapannya.
            “Tidak harus dijawab sekarang kok Dek..., terserah adek kapan mau menjawabnya.”, lanjut Kak Galang.
            “Ya Rabb, inikah hidup. Ya Rabb, apa maksud semua ini? Ya Rabb tunjukkan kepada hamba jalan yang Engkau ridhoi.”, ujarku dalam hati.
            Petir, kilat, dan hujan deras mengguyur hatiku...
            “Seorang laki-laki dan perempuan tidak akan pernah bisa berteman. Pasti akan lebih dari itu. Pasti akan timbul rasa suka.”, ucapan seorang temanku menggaung di memoriku.
                 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar