"Jika nanti aku terpilih menjadi ketua OSIS, aku akan mengajak teman-teman semuanya untuk Picnik tiap bulan. Aku juga akan membangun gedung yang baru.", Danu, salah seorang siswa yang menjadi calon ketua OSIS berorasi dalam acara pemilihan ketua OSIS di sekolahnya. Sementara itu, seluruh siswa bersorak mendukungnya.
Namun, ada beberapa siswa tang tampak terdiam. Mereka yang hanya diam, telah mengetahui bagaimana kepribadian Danu. Mereka lebih mendukung Bima, calon ketua OSIS yang lain. Berbeda dengan Danu, Bima memiliki kepribadian yang baik. Bima tidak sombong seperti Danu. Beberapa Guru juga tampak cenderung mendukung Bima.
Pemilihan pun berlangsung. danu berhasil mengalahkan Bima dari perolehan suara. Danu memperoleh 80% dari seluruh suara siwa. Beberapa pendukung Bima dan guru-guru di sekolah tidak bisa berbuat apa-apa, karena mereka telah kalah dalam perolehan suara. Akhirnya Danulah yang menjadi ketua OSIS tanpa ada pertimbangan-pertimbangan lanjutan.
Itulah sekilas gambaran fiktif bentuk penerapan demokrasi. Demokrasi yang tidak pada tempatnya. Demokrasi yang hanya mengutamakan suara tanpa mempertimbangan kualitas sang pemilik suara. Suara seorang guru yang lebih berpengalaman disamakan dengan suara siswa kelas 1. Demokrasi yang selama ini digembor-gemborkan oleh Barat. Demokrasi yang selama ini menjadi kiblat banyak negara. Ya, Demokrasi yang tidak seimbang. Nilai seorang guru tentunya tidak bisa disamakan dengan nilai seorang siswa. Suara seorang ulama nilainya tidak sama dengan suara seorang yang bodoh.
Sistem Demokrasi tampaknya juga telah dijadikan senjata yang dianggap cukup ampuh oleh beberapa partai politik untuk mendapatkan suara. Beberapa partai politik merekrut artis-artis sebagai calon yang mewakili partainya di tingkat legislatif. Yang mengherankan, adanya partai politik yang merekrut artis yang sama sekali belum pernah terjun ke dunia politik. Lucunya lagi adanya partai politik yang merekrut artis yang sering mengumbar aurat dalam setiap penampilannya untuk menjadi calon Bupati yang mewakili partainya. Apakah partai tersebut telah kehabisan kader dan sosok pemimpin yang benar-benar memiliki jiwa pejuang? Tidak adakah tokoh lain yang dirasa lebih baik? Atau... jangan-jangan... kehadiran artis tersebut hanyalah sebagai alat untuk mendapatkan suara dari masyarakat, yang ujung-ujungnya memberikan keuntungan bagi orang-orang dalam partai? Sama sekali tidak menunjukkan adanya jiwa perjuangan dan pengabdian untuk masyarakat. Partai politik hanya dijadikan alat untuk dapat mengantongi uang sebanyak-banyaknya. Terserah dengan cara apa. yang penting dapat uang.
Namun, ada beberapa siswa tang tampak terdiam. Mereka yang hanya diam, telah mengetahui bagaimana kepribadian Danu. Mereka lebih mendukung Bima, calon ketua OSIS yang lain. Berbeda dengan Danu, Bima memiliki kepribadian yang baik. Bima tidak sombong seperti Danu. Beberapa Guru juga tampak cenderung mendukung Bima.
Pemilihan pun berlangsung. danu berhasil mengalahkan Bima dari perolehan suara. Danu memperoleh 80% dari seluruh suara siwa. Beberapa pendukung Bima dan guru-guru di sekolah tidak bisa berbuat apa-apa, karena mereka telah kalah dalam perolehan suara. Akhirnya Danulah yang menjadi ketua OSIS tanpa ada pertimbangan-pertimbangan lanjutan.
Itulah sekilas gambaran fiktif bentuk penerapan demokrasi. Demokrasi yang tidak pada tempatnya. Demokrasi yang hanya mengutamakan suara tanpa mempertimbangan kualitas sang pemilik suara. Suara seorang guru yang lebih berpengalaman disamakan dengan suara siswa kelas 1. Demokrasi yang selama ini digembor-gemborkan oleh Barat. Demokrasi yang selama ini menjadi kiblat banyak negara. Ya, Demokrasi yang tidak seimbang. Nilai seorang guru tentunya tidak bisa disamakan dengan nilai seorang siswa. Suara seorang ulama nilainya tidak sama dengan suara seorang yang bodoh.
Sistem Demokrasi tampaknya juga telah dijadikan senjata yang dianggap cukup ampuh oleh beberapa partai politik untuk mendapatkan suara. Beberapa partai politik merekrut artis-artis sebagai calon yang mewakili partainya di tingkat legislatif. Yang mengherankan, adanya partai politik yang merekrut artis yang sama sekali belum pernah terjun ke dunia politik. Lucunya lagi adanya partai politik yang merekrut artis yang sering mengumbar aurat dalam setiap penampilannya untuk menjadi calon Bupati yang mewakili partainya. Apakah partai tersebut telah kehabisan kader dan sosok pemimpin yang benar-benar memiliki jiwa pejuang? Tidak adakah tokoh lain yang dirasa lebih baik? Atau... jangan-jangan... kehadiran artis tersebut hanyalah sebagai alat untuk mendapatkan suara dari masyarakat, yang ujung-ujungnya memberikan keuntungan bagi orang-orang dalam partai? Sama sekali tidak menunjukkan adanya jiwa perjuangan dan pengabdian untuk masyarakat. Partai politik hanya dijadikan alat untuk dapat mengantongi uang sebanyak-banyaknya. Terserah dengan cara apa. yang penting dapat uang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar