AHLAN WA SAHLAN

Puisi adalah jiwa. Luapan perasaan. Dalam puisi ada cinta, nostalgia, ideologi, dan rasa syukur.


Tulislah apa yang ada di pikiranmu. Luapkan dalam coretan-coretan indahmu. Dan sepuluh tahun lagi mungkin kau akan tertawa atau bahkan mungkin coretan itu akan menjadi sebuah memori yang mahal. menjadi sebuah cerita tersendiri yang bisa dikenang. Yups, selagi kita masih bisa menulis, kenapa kita tidak meluapkannya dalam coretan-coretan? Meskipun coretan itu hanya bisa kita nikmati sendiri (hehe... menghibur diri ni?)

Pernah frustasi gara-gara karyamu gak pernah diterima? Nasiiib... nasiiib. Kalo iya, berarti kamu senasib dong ma aku. Asiiik ada temen senasib nih! Ceritanya aku lagi frustasi nih lianna (kan biasanya pake coz, sekarang ganti lianna ja biar lebih..... apa ya? lebih bernuansa kearaban gitu deh! Biar ga English mulu!) puisiku ga diterima di majalah yang pernah kukirim, akhirnya bikin blog sendiri ja deeeh. Yaah, nikmati sendirilah.

Minggu, 11 Maret 2012

FENOMENOLOGI

FENOMENOLOGI

Beberapa sumber menyebutkan, dunia keilmuan telah berada dalam dominasi dan otoritas paradigma positivisme, tidak hanya dalam ilmu alam tetapi juga pada ilmu – ilmu sosial.

Persoalan serius yang selalu menarik perhatian dalam diskusi–diskusi ilmu–ilmu sosial adalah soal objek observasinya yang berbeda dari objek ilmu–ilmu alam, yaitu manusia dan masyarakat sebagai makhluk historis. Berbeda dengan proses–proses alam yang dapat diprediksi dan dan dikuasai secara teknik. Proses–proses social terdiri dari tindakan–tindakan manusia yang tak dapat begitu saja diprediksi, apalagi dikuasai secara teknis.

Problematik positivisme ilmu–ilmu social yang menghilangkan peran subjek semacam ini, sudah tentu tidak dapat dipecahkan dengan menghidupkan kembali epistemologi kuno ala Kant. Persoalan pengetahuan dewasa ini telah beralih menjadi persoalan metodologi. Hal inilah yang mendorong munculnya upaya mencari dasar dan dukungan metodologis baru bagi ilmu sosial dengan mengembalikan peran subjek ke dalam proses keilmuan itu sendiri. Di antara pendekatan yang menawarkan metodologi baru yang lebih memposisikan subjek yang menafsirkan objeknya sebagai bagian tak terpisahkan dalam proses keilmuan, yaitu fenomenologi.

Pengertian Fenomenologi

Secara terminologi, istilah fenomenologi berasal dari bahasa Yunani: Phainestai yang berarti “menunjukkan” dan “menampakkan diri sendiri”.[1]

Fenomenologi dalam arti luas berarti ilmu tentang fenomen – fenomen atau apa saja yang tampak. Dalam hal ini fenomenologi merupakan sebuah pendekatan filsafat yang berpusat pada analisis terhadap gejala yang membanjiri kesadaran manusia. Sedangkan fenomenologi dalam arti sempit yaitu ilmu tentang gejala yang menampakkan diri pada kesadaran kita.[2]

Fenomenologi juga bisa berarti aliran yang berpendapat bahwa hasrat yang kuat untuk mengerti yang sebenarnya dan keyakinan bahwa pengertian itu dapat dicapai, jika kita mengamat–amati fenomena atau pertemuan kita dengan realitas.[3]

Kontribusi Husserl

Sebagai aliran epistemologi, fenomenologi diperkenalkan oleh Edmund Husserl (1859 – 1938), meski sebenarnya istilah tersebut telah digunakan oleh beberapa lilsuf sebelumnya. Secara umum pandangan fenomenologi ini bisa dilihat dari dua posisi, yang pertama ia merupakan reaksi terhadap dominasi positivisme, dan yang kedua, ia sebenarnya sebagai kritik terhadap pemikiran kritisisme Immanuel Kant, terutama konsepnya tentang fenomenon-numenon.[4]

Fenomenologi merupakan metode dan filsafat. Sebagai metode, fenomenologi membentangkan langkah–langkah yang harus diambil sehingga kita sampai kepada fenomena yang murni. Fenomenologi mempelajari dan melukiskan ciri–ciri intrinsik dari gejala sebagaimana gejala itu menyingkapkan dirinya pada kesadaran. Kita harus bertolak dari subyek (manusia) serta kesadarannya dan berupaya untuk kembali kepada “kesadaran murni“. Untuk mencapai bidang kesadaran murni, kita harus membebaskan diri dari pengalaman serta gambaran kehidupan sehari–hari. Kalau hal ini sudah dikerjakan, akan tersisa gambaran–gambaran yang hakiki atau intuisi esensi.[5]

Sebagai filsafat, fenomenologi menurut Husserl memberi pengetahuan yang perlu dan esensial mengenai apa yang ada. Dalam tahap–tahap penelitiannya, ia menemukan obyek–obyek yang membentuk dunia yang kita alami. Dengan demikian, fenomenologi dapat dijelaskan sebagai metode kembali kepada benda itu sendiri. Dan ini justru karena benda itu sendiri merupakan obyek kesadaran langsung dalam bentuknya yang murni.[6]

Sebagai reaksi terhadap dominasi positivisme dan juga sebagai kritik terhadap pemikiran kritisisme Immanuel Kant, fenomenologi mempunyai dua pandangan yang cukup penting, yaitu prinsip epoche dan eidetic vision dan konsep “dunia-kehidupan”.[7]

a. Prinsip Epoche dan Eidetic Vision

Husserl dalam hal ini mengajukan metode epoche. Kata epoche berasal dari bahasa Yunani, yang berarti: “menunda keputusan” atau “mengosongkan diri dari keyakinan tertentu”. Epoche bisa juga berarti tanda kurung terhadap setiap keterangan yang diperoleh dari suatu fenomena yang tampil, tanpa memberikan putusan benar salahnya terlebih dahulu. Dalam hal ini Husserl mengatakan, bahwa epoche merupakan tesis of natural stand-point (tesis tentang pendirian yang natural), dalam arti bahwa fenomena yang tampil dalam kesadaran adalah benar-benar natural tanpa dicampuri oleh presupposisi pengamat.

Langkah selanjutnya, Husserl menyebutnya dengan eidetic vision atau membuat ide. Eidetic vision ini juga disebut “reduksi”, yakni menyaring fenomena untuk sampai ke intisarinya atau yang sejatinya (wesen). Hasil dari proses reduksi ini disebut wesenschau, artinya sampai pada hakikatnya. Dari penjelasan tersebut dapat diketahui, bahwa fenomenologi berusaha menangkap fenomena sebagaimana adanya (to show itself) atau menurut penampakannya sendiri.[8]

b. Konsep “dunia-kehidupan” (Lebenswelt)

Edmund Husserl, dalam bukunya, The Crisis of European Science and Transcendental Phenomenology, menyatakan bahwa konsep dunia-kehidupan merupakan konsep yang dapat menjadi dasar bagi ilmu pengetahuan yang tengah mengalami krisis akibat pola pikir positivistic dan saintistik. Ia mengatakan: “Dunia-kehidupan adalah dasar makna yang dilupakan bagi ilmu pengetahuan”.[9]

Husserl memahami fenomenologi sebagai suatu analisa deskriptif serta introspektif mengenai kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan pengalaman langsung. Perhatian filsafat hendaknya difokuskan pada penyelidikan tentang dunia kehidupan atau kehidupan subyektif dan batiniah. Penyelidikan ini hendaknya menekankan ciri intensional yang terdapat pada kesadaran, tanpa mengandaikan berbagai praduga konseptual dari ilmu–ilmu empiris. Filsafat bukan ilmu faktual dan tidak dapat menjadi ilmu faktual. Filsafat memiliki metode serta temuan uniknya sendiri, yang secara hakiki berbeda dari metode dan temuan ilmu–ilmu alam dan dari metode serta temuan system–system logika dan Matematika formal.[10]

Dunia-kehidupan dalam pengertian Husserl bisa dipahami, dunia sebagaimana manusia menghayati dalam spontanitasnya, sebagai basis tindakan komunikasi antarsubjek. Dunia-kehidupan adalah unsur–unsur sehari-hari yang membentuk kenyataan kita, yakni unsur dunia sehari-hari yang kita alami dan jalani, sebelum kita menteorikannya atau merefleksikannya secara filosofis.

Konsep dunia-kehidupan ini dapat memberikan inspirasi yang sangat kaya kepada ilmu–ilmu sosial, karena ilmu–ilmu ini menafsirkan suatu dunia, yaitu dunia sosial. Windelband membedakan ilmu–ilmu alam sebagai ilmu–ilmu nomotesis (menghasilkan hukum–hukum), dan ilmu sosial sebagai ilmu–ilmu idiografis (melukiskan keunikan). Dilthey juga membedakan metode verstehen (memahami) dari ilmu–ilmu budaya, dan Erklaren (menjelaskan) dari ilmu–ilmu alam. Pembedaan semacam ini kemudian dianut oleh Weber dan Schutz, meski keduanya terdapat perbedaan dalam melihat fenomena sosial. Weber lebih memusatkan perhatiannya pada tindakan bermakna dari individu yang terisolasi, yang menjadi objek pengamatan sosiologi interpretative itu. Sedangkan Schutz melihat suatu tindakan yang secara subjektif bermakna itu memiliki asal usul sosialnya, yaitu muncul dari dunia-kehidupan sosial. Dengan demikian segala tindakan berlangsung dalam dunia-kehidupan sosial yang mendahului segala penafsiran individu.[11]

Dunia-kehidupan sosial ini tak dapat diketahui begitu saja lewat observasi seperti dalam eksperimen ilmu – ilmu alam, melainkan terutama melalui pemahaman. Apa yang ingin ditemukan dalam dunia sosial adalah makna, bukan kausalitas yang niscaya. Seorang ilmuwan sosial dalam hal ini tidak lebih tahu dari pada para pelaku dalam dunia sosial itu. Oleh karena itu, dengan cara tertentu ia harus masuk ke dalam dunia-kehidupan yang unsur-unsurnya ingin ia jelaskan itu. Untuk dapat menjelaskannya, ia harus memahaminya. Untuk memahaminya, ia harus dapat berpartisipasi ke dalam proses yang menghasilkan dunia-kehidupan itu. Akhirnya, partisipasi itu mengandaikan bahwa ia sudah termasuk di dalam dunia-kehidupan itu.[12]

PENUTUP

Fenomenologi yaitu aliran yang berpendapat bahwa hasrat yang kuat untuk mengerti yang sebenarnya dan keyakinan bahwa pengertian itu dapat dicapai, jika kita mengamat–amati fenomena atau pertemuan kita dengan realitas. Fenomenologi mempunyai dua pandangan yang cukup penting, yaitu prinsip epoche dan eidetic vision dan konsep “dunia-kehidupan”.

Kontribusi dan tugas fenomenologi dalam dunia-kehidupan sosial adalah menemukan makna yang merekonstruksi kenyataan sehari-hari. Sejauh mana makna yang ditemukan benar-benar direkonstruksi dari dunia kehidupan sosial, dimana banyak subjek sama-sama terlibat dan menghayati. Unsur subjek dilihat sebagai bagisn tak terpisahkan dari proses terciptanya suatu ilmu pengetahuan sekaligus mendapatkann dukungan metodologinya.

DAFTAR PUSTAKA

Anshari, Endang Saifuddin, Ilmu, Filsafat, dan Agama, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987)

Bagus Lorens, Kamus Filsafat, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002)

Muslih, Muhammad, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Belukar, 2005)



[1] Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Belukar , 2005 ), P. 128

[2] Lorens bagus, Kamus Filsafat, ( Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002 ), P. 234

[3] H. Endang Saifuddin Anshari.M.A, Ilmu Filsafat dan Agama, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987 ), P. 99

[4] Muhammad Muslih, Op Cit, P.128

[5] Lorens Bagus, Op Cit, P.136

[6] Ibid, P. 237

[7] Muhammad Muslih, Op Cit, P. 129

[8] Ibid, P.130

[9] Ibid, P. 132

[10] Lorens Bagus, Op Cit, P. 236

[11] Muhammad Muslih, Op Cit, P.132-133

[12] Ibid, P. 134

Tidak ada komentar:

Posting Komentar