AHLAN WA SAHLAN

Puisi adalah jiwa. Luapan perasaan. Dalam puisi ada cinta, nostalgia, ideologi, dan rasa syukur.


Tulislah apa yang ada di pikiranmu. Luapkan dalam coretan-coretan indahmu. Dan sepuluh tahun lagi mungkin kau akan tertawa atau bahkan mungkin coretan itu akan menjadi sebuah memori yang mahal. menjadi sebuah cerita tersendiri yang bisa dikenang. Yups, selagi kita masih bisa menulis, kenapa kita tidak meluapkannya dalam coretan-coretan? Meskipun coretan itu hanya bisa kita nikmati sendiri (hehe... menghibur diri ni?)

Pernah frustasi gara-gara karyamu gak pernah diterima? Nasiiib... nasiiib. Kalo iya, berarti kamu senasib dong ma aku. Asiiik ada temen senasib nih! Ceritanya aku lagi frustasi nih lianna (kan biasanya pake coz, sekarang ganti lianna ja biar lebih..... apa ya? lebih bernuansa kearaban gitu deh! Biar ga English mulu!) puisiku ga diterima di majalah yang pernah kukirim, akhirnya bikin blog sendiri ja deeeh. Yaah, nikmati sendirilah.

Minggu, 11 Maret 2012

HUKUMAN SEBAGAI ALAT PENDIDIKAN

HUKUMAN SEBAGAI ALAT PENDIDIKAN

PENDAHULUAN

Pada hari-hari pertama anak masuk sekolah biasanya ia merasa bangga dan gembira. Bangga karena sejak itu ia benar-benar diakui sebagai anak sekolah yang sebenarnya daripada waktu di Taman Kanak-Kanak. Gembira karena sejak itu ia berada di dalam pergaulan dengan teman-temannya yang lebih banyak lagi jumlahnya, dan akan mendapatkan kepandaian yang lebih tinggi dari pada di Taman Kanak-Kanak yang hampir tiap hari hanya menyanyi sambil bertapuk dan bermain dengan alat-alat yang tidak memuaskan keinginannya lagi.

Tetapi, makin lama anak memasuki dunianya yang baru itu, ia mulai merasakan hal-hal yang dirasakan sebagai hal yang menghilangkan rasa bangga dan gembiranya. Diantaranya karena adanya keharusan untuk mengikuti tata tertib sekolah dan tuntutan-tuntutan tertentu. Apalagi jika anak tersebut dihadapkan kepada suatu hukuman akibat ketidak mampuannya untuk menyesuaikan diri dengan tata tertib baru yang berlaku baginya. Akibat dari hukuman yang diterimanya, ia merasa mendapatkan penilaian yang tidak wajar dan merasa dirinya tidak dicintai oleh pendidiknya.

Padahal adanya tata tertib dan hukuman tersebut tidak lain merupakan suatu alat pendidikan bagi anak tersebut. Dengan adanya hukuman tersebut, seorang anak diharapkan dapat menyadari kesalahan yang diperbuatnya dan tidak akan mengulanginya.

PEMBAHASAN

A. Teori- Teori Pendidikan

Hukuman adalah suatu tindakan yang diberikan kepada anak secara sadar dan sengaja sehingga menimbulkan nestapa. Dengan adanya nestapa itu diharapkan anak akan menjadi sadar akan perbuatannya dan berjanji di dalam hatinya untuk tidak mengulanginya.

Dengan demikian, hukuman mempunyai dua pandangan. Yaitu pandangan ke belakang dan pandangan ke masa yang akan datang. Pandangan ke belakang yaitu suatu hukuman dijatuhkan sebagai akibat dari pelanggaran atau kesalahan yang diperbuat. Sedangkan yang dimaksud dengan pandangan ke masa yang akan datang yaitu suatu hukuman diberikan dengan tujuan untuk mengadakan perbaikan di masa selanjutnya.

Dari kedua macam pandangan tersebut, muncul beberapa macam pendapat mengenai hukuman yang disebut dengan teori-teori hukuman. Adapun teori-teori hukuman itu diantaranya adalah : 1

  1. Teori Hukuman Alam

Teori hukuman alam ini dikemukakan oleh penganjur pendidikan alam , yaitu J.J.Rousseau. Rousseau tidak menghendaki hukuman yang dibuat-buat. Biarkan alam sendiri yang menghukum. Yang dimaksud disini ialah bahwa hukuman itu hendaknya merupakan akibat yang sewajarnya dari suatu perbuatan. Hukuman harus merupakan sesuatu yang alami dan tidak dibuat-buat.

Misalnya, anak yang belum pandai mengendarai sepeda motor, tetapi telah berani berkendaraan di jalan-jalan yang ramai di tengah kota adalah wajar apabila suatu saat ia bertabrakan. Tabrakan merupakan hukuman alam sebagai akibat kurangnya perhitungan dalam diri anak tersebut.

Pada umumnya kita kurang setuju pada teori hukuman alam ini, karena akibat dari hukuman alam ini dirasa terlalu berat jika dibandingkan dengan perbuatan yang dilakukan, sehingga kita cenderung untuk melarang terlebih dahulu dari pada menanggung akibatnya. Kita dapat membayangkan bagaimana susah kita bila anak kita yang belum pandai bersepeda kita biarkan pergi ke tempat-tempat yang ramai, kemudian mendapat kecelakaan di tengah jalan. Anak menderita sakit, membawanya ke rumah sakit, menunggui, mencarikan obat dan sebagainya. Oleh karena itu lebih baik kita melarang sebelumnya dari pada kita menderita susah payah. Selain itu, kadang-kadang anak tidak segera menyadari kesalahannya.

  1. Teori Ganti Rugi

Dalam hal ini, anak diminta untuk bertanggung jawab atau menanggung resiko dari perbuatannya. Misalnya, anak yang merobek buku temannya harus menggantinya. Anak yang berkejar-kejaran di kelas kemudian memecahkan kaca jendela, ia harus mengganti kaca jendela itu . Dan lain sebagainya.

Kelemahan dari teori ganti rugi ini ialah bahwa sangat diragukan adanya nilai didik dari hukuman ini. Mungkin, bagi anak yang tidak mampu, hukuman demikian dirasa sangat berat sekali, karena ia tidak sanggup memenuhi hukuman itu. Bagi anak yang mampu, dengan mudah ia dapat membelikan gantinya. Dan setelah menggantinya, ia merasa bebas dan merasa boleh berbuat apa saja, karena ia sanggup menggantinya. Di dalam hatinya tak ada sama sekali kesan dari hukuman yang diterimanya. Dengan begitu hukuman itu tak mempunyai arti baginya untuk masa yang akan datang.

  1. Teori Menakut-Nakuti

Menurut teori ini, hukuman diberikan untuk menakut-nakuti anak agar anak tidak melakukan pelanggaran. Dalam hal ini nilai didik itu telah ada. Hanya saja perlu diperhatikan, jangan sampai anak itu tidak berbuat kesalahan lagi hanya karena rasa takut saja. Melainkan tidak berbuat kesalahan lagi karena adanya kesadaran. Sebab apabila tidak berbuat kesalahan itu hanya karena rasa takut, baik itu takut kepada bapak atau ibu guru, maka jika tidak ada bapak dan ibu guru, kemungkinan besar ia akan mengulang perbuatannya. Ia akan melakukan perbuatannya secara sembunyi-sembunyi. Jika terjadi demikian, maka dapat dikatakan bahwa nilai didik dari hukuman itu sangat minim sekali.

4. Teori Memperbaiki

Satu-satunya hukuman yang dapat diterima oleh dunia pendidikan adalah hukuman yang bersifat memperbaiki. Hukuman yang bisa menyadarkan anak kepada keinsyafan atas kesalahan yang diperbuatnya. Dan dengan adanya keinsyafan ini anak akan berjanji di dalam hatinya sendiri untuk tidak mengulangi kesalahannya. Hukuman yang demikian inilah yang dikehandaki oleh pendidikan. Hukuman yang bersifat memperbaiki ini disebut juga hukuman yang bernilai didik atau hukuman pedagosis.

B. Hukuman Sebagai Alat Pendidikan

Seperti yang telah diterangkan di atas, bahwa hukuman adalah suatu tindakan yang diberikan kepada anak secara sadar dan sengaja sehingga menimbulkan nestapa, dengan tujuan anak akan menjadi sadar akan perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulanginya. Jadi, meskipun wujud hukuman tersebut merupakan suatu nestapa, namun di dalamnya terdapat unsur pendidikan.

Dengan adanya nestapa yang diderita anak itu, kemungkina bisa menimbulkan akibat yang bermacam-macam. Mungkin anak merasa kecewa, putus asa, menjauhkan diri dari gurunya karena merasa dirinya tidak dicintai oleh pendidiknya, merasa mendapat penilaian yang tidak wajar dan sebagainya. Adanya penderitaan bagi si pelanggar adalah wajar, bilamana derita yang ditimbulkan akibat hukuman itu bernilai positif dan memberi sumbangan bagi perkembangan moral anak didik.

Pemberian hukuman harus tetap dalam jalinan kasih sayang. Kita memberikan hukuman kepada anak, bukan karena kita ingin menyakiti hati anak, bukan karena ingin melampiaskan rasa dendam, dan sebagainya. Kita menghukum anak demi kebaikan anak. Oleh karena itu, setelah hukuman itu dilaksanakan, maka tidak boleh berakibat putusnya hubungan kasih sayang antara anak dan pendidik.

Hukuman juga harus didasarkan pada suatu keharusan. Artinya sudah tidak ada alat pendidikan lain yang bisa digunakan. Hukuman harus merupakan tindakan yang terakhir yang kita laksanakan setelah digunakan alat-alat pendidikan lain tetapi tidak memberikan hasil. Kita tidak boleh terlalu terbiasa dengan hukuman. Hukuman kita berikan kalau memang hal itu betul-betul diperlukan, dan harus kita berikan secar bijaksana.

Pemberian hukuman pun harus menimbulkan kesan positif pada hati anak. Dengan adanya kesan itu, anak akan selalu ingat pada peristiwa tersebut. Dan kesan itu akan selalu mendorong anak pada kesadaran dan keinsyafan. Hukuman tidak boleh menimbulkan kesan yang negatif yang dapat memutuskan hubungan antara anak dan pendidiknya sehinnga anak tidak mau lagi menerima anjuran-anjuran yang diberikan oleh pendidiknya.

Pada akhirnya, pemberian hukuman harus diikuti dengan pemberian ampun dan disertai dengan harapan serta kepercayaan. Setelah anak menjalani hukumannya, pendidik harus memberikan kepercayaan kembali kepada anak bahwa anak itu pun akan sanggup dan mampu berbuat baik seperti kawan-kawannya yang lain.

Dalam memilih atau menentukan hukuman, ada hal-hal yang perlu dipertimbangkan, diantaranya ialah :

  1. Macam dan besar kecilnya pelanggaran.

Macam dan besar kecinya pelanggaran akan menentukan berat ringannya hukuman yang diberikan. Hukuman anak yang datang terlambat di sekolah, akan berbeda dengan hukuman anak yang suka mengganggu kawan-kawan putrinya. Hukuman kepada tiga orang anak yang sama-sama datang terlambat pun mungkin tidak sama. Kita harus melihat motif atau alasan yang menyebabkan keterlambatan tersebut. Hukuman bagi anak yang terlambat datang karena suka menyeleweng dalam perjalanan ke sekolah, harus berbeda dengan anak yang datang terlambat karena harus membantu pekerjaan ibunya. Oleh karena itu kita harus mempertimbangkan alasan-alasan itu dengan baik sebelum kita menentukan hukumannnya.

  1. Siapa yang melakukan pelanggaran.

Dalam hal ini harus diperhatikan siapa yang melakukan pelanggaran tersebut. Dua anak yang melakukan pelanggaran yang sama karena jenis kelaminnya berbeda, maka mungkin diberikan hukuman yang berbeda. Sebab hukuman yang diberikan untuk anak laki-laki tidak patut diberikan kepada anak perempuan.

Sifat anak yang melakukan pelanggaran juga perlu diperhatikan. Hukuman kepada anak yang memang dasarnya sudah nakal, harus berbeda dengan anak yang berbuat pelanggaran karena hasutan dari temannya saja. Anak yang mempunyai perasaan yang halus, mungkin dengan kata-kata saja sudah merupakan hukuman yang berat baginya. Lain halnya dengan anak yang memang kasar perasaannya.

  1. Harus diperhitungkan akibat-akibat yang mungkin timbul dari hukuman itu.

Dalam menentukan suatu hukuman, sebelumnya kita harus sudah memperhitungkan akibat-akibat yang mungkin bisa terjadi. Apakah kiranya hukuman itu tidak menyebabkan anak merasa terhina? Apakah kiranya tidak menyebabkan anak menjadi putus asa? Apakah kiranya tidak menimbulkan perasaan tidak adil di hati anak? Dan sebagainya. Hal-hal ini harus sudah dipikirkan masak-masak sebelum menjatuhkan hukuman.

  1. Sedapat mungkin jangan mempergunakan hukuman badan.

Yang dimaksud dengan hukuman badan ialah hukuman yang menyebabkan rasa sakit pada tubuh anak. Mengenai hukuman badan ini, ada sementara pihak yang membolehkan dengan alasan bahwa di dalam lingkungan keluarga hukuman badan ini sering pula dilakukan. Tetapi ada sementara pihak yang tidak menyetujui dengan alasan bahwa hukuman badan tidak layak bagi manusia. Kepada manusia cukup diberikan anjuran-anjuran melalui pikiran dan hati. Terlepas dari setuju atau tidak setuju, satu hal yang harus diingat ialah, bahwa hukuman badan itu tidak boleh sampai menimbulkan cedera atau cacat pada anak. Di samping itu , hukuman badan kiranya hanya cocok bagi anak-anak yang betul-betul bandel, anak yang tidak bisa lagi diberi peringatan dengan kata-kata saja.

PENUTUP

Dapat kitta simpulkan bahwasanya hukuman itu dapat diterapkan dalam pendidikan, terutama hukuman yang bersifat paedagosis, menghukum bilamana perlu. Jangan terus-menerus, dan hindarilah hukuman jasmani. Dalam menghukum juga harus disesuaikan dengan kesalahan yang telah dilakukan anak, umur anak, dan kesalahan anak.

Mengingat begitu rumitnya masalah hukuman ini, dan begitu besar resiko konsekuensinya, maka hendaklah kita sangat berhati-hati dengan hukuman. Kita harus berusaha sebisa mungkin untuk menjauhkan diri dari tindakan main hukum. Lebih baik kita mencegah sebelumnya dengan pengawasan dan kontrol dari pada kita harus menghukum. Dan sebenarnya jika kita mau meneliti, orang yang suka main hukum itu menunjukkan kelemahannya. Orang yang bijaksana selalu menjauhkan diri dari tindakan main hukum.

Referensi

  1. Agus Sujanto, Drs. Psikologi Perkembangan, Aksara Baru, Jakarta,1980.
  2. Amir Daien Indrakusuma, Drs. Pengantar Ilmu Pendidikan, Usaha nasional, Surabaya, 1973.
  3. Abu Ahmadi,Drs.H.& Nur Uhbiyati, Dra. Ilmu Pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta 1991.



1 Drs. Amir Daien Indrakusuma, Pengantar Ilmu pendidikan, ( Surabaya : Usaha Nasional, 1973), hal 148-151.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar