By Muhammad Taufik Affandi
Sayangnya langit bukan milikku.
Jika langit milikku tentu sudah kuserahkan padamu.
Dari awannya, birunya, kilaunya, pelanginya, hingga bintang malamnya.
Semua kan kuletakkan di kakimu.
Karena engkau, Segara, tak pernah menghitung berapa banyak air yang kau uapkan saat surya menemuimu,
tak pernah sayang menghamparkan luas bayumu menjadi bulir kristal.
Karena kamu tahu bumi dan satria yang berjuang di atasnya memerlukan air untuk meneguk kehidupan.
Karena kamu insyafi bahwa kristal itu akan lahir pada pagi hari......
Menjadi
Sebulir
Embun.
Telapak daun, hijau tengadah menyambut kelahirannya.
Tak pernah kau bayangkan sesuatu yang tak tampak di mata seperti kristal air,
dapat membentuk sebuah kesempurnaan harmoni antara jiwa yang bening dan suci.
Dan yang bisa kau ombakkan dari dasar terdalammu hanyalah puji, puji, dan puji pada Allah.
Lalu syukur, syukur, dan syukur pada-Nya.
Hingga malam pupus di mata manusia.... segara terus mendeburkan tasbihnya.
Beitupun surya, belum dapat menuntaskan kekagumannya pada ciptaan-Nya, bertafakur dalam, merenungi keajaiban ini.
Keajaiban yang melahirkan kesejukan, senyum, dan kekuatan bagi bumi dan siapa saja yang melukis pagi sebagai tempat terindah dalam hidup.
Keajaiban yang setiap kali kita melihat ke dalam beningnya tiba-tiba kita melihat diri kita sendiri, kelucuan kita, sejarah dan mimpi-mimpi kita.
Sejarah dan mimpi pula yang mengingatkanku bahwa segara tak pernah meminta langit sebagai balasan.
Karena ia sendiri telah memiliki langit dan apapun yang ada pada langit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar