AHLAN WA SAHLAN

Puisi adalah jiwa. Luapan perasaan. Dalam puisi ada cinta, nostalgia, ideologi, dan rasa syukur.


Tulislah apa yang ada di pikiranmu. Luapkan dalam coretan-coretan indahmu. Dan sepuluh tahun lagi mungkin kau akan tertawa atau bahkan mungkin coretan itu akan menjadi sebuah memori yang mahal. menjadi sebuah cerita tersendiri yang bisa dikenang. Yups, selagi kita masih bisa menulis, kenapa kita tidak meluapkannya dalam coretan-coretan? Meskipun coretan itu hanya bisa kita nikmati sendiri (hehe... menghibur diri ni?)

Pernah frustasi gara-gara karyamu gak pernah diterima? Nasiiib... nasiiib. Kalo iya, berarti kamu senasib dong ma aku. Asiiik ada temen senasib nih! Ceritanya aku lagi frustasi nih lianna (kan biasanya pake coz, sekarang ganti lianna ja biar lebih..... apa ya? lebih bernuansa kearaban gitu deh! Biar ga English mulu!) puisiku ga diterima di majalah yang pernah kukirim, akhirnya bikin blog sendiri ja deeeh. Yaah, nikmati sendirilah.

Minggu, 24 Oktober 2010

Atthoyyibaatu li atthoyyibiin (dibaca: Atthoyyibaatu litthoyyibiin)

Hayun

“Assalamu’alaikum warohmatullah, Assalamu’alikum warohmatullah.”. Jam dinding menunjuk ke angka tiga tepat. Haris mengakhiri tahajjudnya diikuti Hayun, istrinya yang memakmum di belakangnya.

Tahajjud merupakan rutinitas dini hari yang selalu mengawali aktifitas mereka. Di keheningan malam mereka bersujud bersama-sama menghadap-Nya. Kebiasaan yang tercipta sejak awal mereka berumah tangga dan menjalin komitmen. Kebiasaan yang sebenarnya telah biasa mereka jalani jauh hari sebelum mereka bertemu dan tinggal serumah.
Selesai sholat, biasanya mereka berdua tidak akan melewatkan waktu untuk berdo’a, meskipun hanya lima menit. Begitu juga dini hari ini. Haris memimpin do’a diamini oleh Hayun dalam hati. Selesai berdoa, Hayun mencium tangan Haris, suaminya, yang dibalas dengan kecupan Haris di kening Hayun disertai do’a keberkahan dalam hati Haris.

“Mas, request surat Al-Baqoroh.”, Pinta Hayun kepada suaminya selesai sholat.
Mungkin Hayun merupakan salah seorang wanita yang paling beruntung di dunia ini karena dianugerahi Allah suami yang sholeh, juga hafidz Qur’an. Hayun sendiri baru mengetahui kalau suaminya ternyata benar-benar hafal 30 juz setelah hampir seminggu tinggal serumah dengan suaminya.

“Request…, emang penyiar radio….!”, protes Haris.

“Siapa yang bilang penyiar radio?!”, balas Hayun. “Orang aku langsung request dari kasetnya kok.”, lanjutnya.

“Buat tuan putri apa sih yang enggak…..”.

“Trimakasih Pangeran.”, jawab Hayun menyandarkan kepalanya di bahu Haris.

“Pintar menggombal ya sekarang…”, Haris tersenyum.

“Kan belajar dari pangeran…”, canda Hayun.

Haris pun mulai menghafal surat Al-Baqoroh dari ayat pertama dengan nada dan suaranya yang merdu. Dan Hayun mendengarkannya sambil mencoba menirukan dalam hati. Hayun sendiri juga pernah menghafal beberapa ayat surat Al-Baqoroh.

Di tengah Hayun menikmati indah alunan ayat Qur’an yang dibaca Haris, entah kenapa Hayun kembali teringat moment pertama kali ia bertemu dengan Haris, suaminya. Ya, sekitar tujuh tahun yang lalu. “Ah, kok gak kucatat ya tanggal berapa waktu itu!”, sesal Hayun dalam hati. Kala itu Hayun masih menempuh kuliahnya. Ia masih duduk di bangku semester 7 di sebuah perguruan tinggi swasta di Surabaya, Jawa Timur. Hayun sendiri berasal dari Lamongan. Dan karena jarak yang cukup jauh antara rumah dan tempat kuliahnya, Hayun menetap di kost yang tak jauh dari kampusnya.

Proses pernikahannya dengan Haris berlangsung dengan singkat tanpa proses perkenalan dan pertemanan yang memakan waktu lama. Berbeda sekali dengan orang-orang zaman sekarang. Jika orang-orang biasanya melewati masa-masa yang disebut dengan masa pacaran sebelum memasuki jenjang pernikahan, Hayun sama sekali tidak pernah mengalaminya. Jangankan pacaran, bicara hanya berduaan dengan yang bukan muhrim saja Hayun tidak pernah. Jika terpaksa harus berkomunikasi dengan yang bukan muhrim, ia akan memilih tempat dan suasana yang ramai. Banyak teman-teman kuliahnya yang menganggapnya terlalu ekstrim dan sok alim. Namun, Hayun sama sekali tidak mempedulikan hal itu. Ia tetap teguh memegang prinsipnya. Yang jelas semua itu ia lakukan bukan untuk mendapat pujian dari manusia. Ia hanya berusaha menjadi seorang hamba yang taat pada peraturan yang telah ditetapkan Sang Khalik.

Pernah ia bersikap kontra dan menentang kebiasaan teman kostnya, Santi yang bergaul akrab dengan teman prianya, atau bisa dibilang berpacaran. “Selama tidak melanggar norma, menurutku itu fine aja. Toh tujuan kita biar saling mengenal. Biar saling mengetahui lebih dekat sebelum nanti menyesal ketika telah menjadi pasangan hidup. Kalau kita tidak berusaha untuk mengenal, bagaimana kita bisa mendapatkan pasangan hidup? Kamu mau jadi perawan tua?”, Santi berargumen.

“Tapi bukan begitu cara untuk mengenal. Semua ada aturannya. Siapa yang menjamin dengan pacaran kita akan lebih mengetahui seseorang? Malah banyak bohongnya. Banyak sisi negatifnya.”, Hayun tak mau kalah.

“Terserah! Kamu, kamu. Aku, aku. Kita semua punya hak untuk menentukan pilihan dan prinsip kita masing-masing.”, Ucap santi.




Tujuh Tahun Silam.

Sekitar tujuh tahun yang lalu, ketika Hayun pulang ke rumah dalam rangka liburan akhir semester. Hayun merasa ada yang berbeda dengan orang-orang rumah dalam liburan kala itu. Ibunya menyinggung-nyinggung tentang pernikahan. Padahal ibunya sama sekali tidak pernah membicarakan hal semacam itu sebelumnya. Begitu juga dengan kakaknya. “Sudah ada calon belum, Dek?”, Tanya kakaknya. “Calon apa? Masih semester tujuh. Belum ada pikiran ke situ”, balas Hayun.

“Kalau ada laki-laki yang sholeh, meskipun tingkat pendidikannya rendah, ga sampai kuliah di perguruan tinggi, lalu ia berniat memperistri perempuan yang tingkat pendidikannya secara akademis lebih tinggi darinya, menurut kamu gimana?”, Tanya ibu Hayun.

“Ngapain ibu menanyakan hal kayak gitu? Gak biasanya…”, Tanya Hayun dalam hati. “Jangan-jangan…”, lanjutnya masih dalam hati.
“Ya terserah merekalah.”, jawab Hayun. Kali ini tidak dalam hati.
“Boleh ga menurut kamu?”, Ibunya kembali bertanya.
“Boleh aja. Kenapa enggak?”, jawab Hayun ringan.

Pertemuan Pertama

“Kuliah dimana?”, Tanya seorang laki-laki yang tengah duduk di ruang tamu kepada Hayun. Laki-laki tersebut adalah teman kakak Hayun yang tengah bertamu ke rumahnya. Entah anak mana. Hayun baru kali ini melihatnya.

“Di Surabaya.”, jawab Hayun singkat.

“Semester berapa sekarang?”, laki-laki tersebut kembali bertanya.

“Semester tujuh.”, jawab Hayun.

“Bentar lagi lulus dong.” Ujar laki-laki tersebut.

“Insya Allah setahun lagi.”, Hayun kembali menjawab.

Ya, itulah pembicaraan singkat antara Hayun dan Haris ketika pertama kali Hayun bertemu dengan Haris. Hayun sendiri kala itu tidak mengetahui siapa nama laki-laki tersebut.
Hayun baru mengetahui lebih lanjut setelah diberi tahu oleh ibunya, tepat ketika laki-laki tersebut telah berpamitan pulang. “Laki-laki tadi itu…. Teman kakakmu. Dia berniat melamarmu. “, Glek. Dalam hati ia begitu terkejut mendengar ucapan ibunya. “Tapi Ibu sudah bilang ke dia kalau kamu masih harus menempuh belajarmu setahun lagi.”, lanjut ibunya. Nampaknya Ibu Hayun dapat memahami apa yang dipikirkan Hayun. “Dia teman dekat kakakmu. Katanya sih…. dia sholeh.”, kembali ibu Hayun berucap.

Semenjak pertemuan itu, Hayun tidak pernah lagi melihat laki-laki tersebut. Ia juga tidak bertanya kepada ibu maupun kakaknya siapa nama dan identitas laki-laki yang katanya hendak mempersuntingnya tersebut. Hayun kembali menjalani aktivitas hariannya di Surabaya. “Belajar, dan terus belajar”, hanya itu yang ada di pikirannya. “Kalaulah jodoh tak akan kemana.”, demikian prinsip Hayun.

Hampir satu tahun Hayun tidak pernah lagi melihat laki-laki tersebut. Sama sekali tidak ada komunikasi antara mereka. Sempat terbersit di benak Hayun, mungkin laki-laki yang dulu ingin melamarnya sudah tidak lagi berniat ingin melamarnya. Mungkin terlalu lama baginya untuk menunggu Hayun selesai belajar di bangku kuliah. Atau mungkin juga ia beralih pikiran setelah melihat penampilan Hayun secara langsung.

Ya, dari sisi fisik, Hayun memang tidak secantik Tamara Blezinski ataupun Luna Maya. Apalagi ia juga bukan tipe wanita yang suka berhias. Ketika teman-teman kampusnya heboh dengan berbagai fashion dan model busana terbaru, Hayun sama sekali tidak tertarik sedikitpun. Ia lebih suka memakai busananya yang kedodoran, dan jilbab lebarnya. Pernah ada mahasiswa yang mengatakan kepadanya bahwa ia terlalu kolot, kampungan, dan konservatif. Namun hal itu sama sekali tidak menggoyahkan ideologinya sedikitpun. Ia tetap teguh dengan pakaian syar’i dan jilbab lebarnya.

Selesai Kuliah

Setahun berlalu. Hayun telah menyelesikan kuliahnya dan berhasil mendapatkan gelar sarjana. “Alhamdulillah, akhirnya semua selesai. Namun… hakekatnya ini adalah awal perjuangan. Hendak kemana jejak ini kan melangkah?”, Ujar Hayun dalam hati.

Dan semua sungguh di luar dugaannya, laki-laki yang dulu berniat melamarnya, ternyata datang kembali membawa proposal nikah dan mengutarakan niatnya secara langsung kepada Hayun. Ya, seindah apapun rencana manusia, jauh lebih indah rencana Allah. Namun, bukan berarti manusia berpasrah diri tanpa adanya usaha. Tawakkal haruslah disertai ikhtiar. Ikhtiar yang diridhoi oleh Allah SWT tentunya. “Memang benar, kalaulah jodoh tak akan kemana.”, ujar Hayun dalam hati. “Ya Allah, berikan yang terbaik buat hamba.”, pinta Hayun dalam tiap istikhorohnya.

Dari proposal tersebut, Hayun mengetahui identitas laki-laki tersebut. “Muhammad Haris, anak kedua, Bojonegoro, umur 28 tahun. Selisih lima tahun dengan Hayun yang kini memasuki usianya yang ke-23. Lulusan SMK. Pekerjaan tetap: montir.”, Hayun membaca dalam hati. Ia juga baru tahu, ternyata laki-laki tersebut juga pernah belajar di sebuah pondok pesantren.

Jika dilihat dari status pendidikan akademik, Hayun memang lebih tinggi dari Haris. Namun tingkat pendidikan akademik yang tinggi belum tentu menjamin bahwa seseorang akan memiliki ilmu dan pengetahuan serta adab yang tinggi pula. Tingkat pendidikan akademik yang tinggi tidak menjamin kesholehan seseorang.

Islam juga mengajarkan bahwa belajar tidak terbatas pada usia dan tempat. Belajar tidak harus melalui bangku kuliah yang formal. Islam mengajarkan manusia untuk belajar dari buaian hingga akhir hayat. Memang, belajar secara formal di bangku sekolah maupun perguruan tinggi lebih memberikan banyak kesempatan untuk belajar. Namun, bukan berarti kita lantas menilai seseorang hanya dari status akademiknya. Hayun banyak belajar dari sejarah hidup yang ia lalui.

Akad nikah antara Hayun dan Haris dilaksanakan seminggu setelah Haris mengajukan proposal. Semua berlangsung cepat. Setelah adanya persetujuan dari berbagai pihak, termasuk dari Hayun sendiri, tanggal akad nikah segera ditetapkan. Selama seminggu itupun Haris tidak banyak berkomunikasi dengan Hayun.

Hayun sadar, pernikahan bukan hanya sekedar menyatukan dua manusia. Pernikahan bukan hanya sekedar mencintai sosok manusia. Pernikahan bukan hanya sekedar membangun rumah dan keluarga. Dalam pernikahan, permasalahannya bukan hanya sekedar memikirkan bagaimana hidup, makan, punya penghasilan, lalu memiliki anak. Pernikahan hakikatnya lebih dari itu. Idealisme membangun sebuah keluarga harus lebih dari itu. Bagaimana mendidik keluarga untuk menuju Dia. Keluarga yang bisa membentangkan sajadah yang lebih panjang untuk beribadah kepada-Nya.

Hari pertama Hayun tinggal bersama Haris, ia sempat terkejut ketika bangun tidur mendapati seorang pria di sampingya. Namun ia segera sadar bahwa ia telah menikah, dan sosok yang berada di sampingnya adalah suaminya. Hayun jadi teringat pernah membaca novel yang isinya juga menceritakan seorang wanita yang terkejut kala bangun tidur mendapati seorang pria di sampingya, yang ternyata adalah suaminya. Dan kali ini Hayun mengalami hal yang sama dalam realita seperti apa yang pernah ia baca dalam novel.

Tujuh tahun berlalu begitu cepat. Kini ia telah memiliki dua buah hati yang sangat dicintainya; Rosyid Arroyyan, yang kini berusia lima tahun, dan Rosyidatul Azizah yang baru memasuki usia 3 tahun. Buah hati yang kelak akan meneruskan perjuangan dan dakwah sebagai hamba Allah di bumi.

“Bu…k!”, panggil Haris.

“Hem, apa mas?”, Hayun terkejut.

“Hmmm…kebiasaan…sukanya melamun…”

Hayun hanya tersenyum malu. “Ups, ketahuan nih!”, gumamnya dalam hati.

“Tuan putri harus tanggungjawab nih!”, ucap Haris. Hayun masih bingung, tanggungjawab apa yang dimaksud suaminya. Namun ia segera sadar setelah melihat suaminya memegangi bahunya.

“Aduh, kesemutan nih...”, Haris meringis diiringi oleh tawa Hayun. “Wah, tertawa di atas penderitaan orang lain nih!”, lanjut Haris.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar