AHLAN WA SAHLAN

Puisi adalah jiwa. Luapan perasaan. Dalam puisi ada cinta, nostalgia, ideologi, dan rasa syukur.


Tulislah apa yang ada di pikiranmu. Luapkan dalam coretan-coretan indahmu. Dan sepuluh tahun lagi mungkin kau akan tertawa atau bahkan mungkin coretan itu akan menjadi sebuah memori yang mahal. menjadi sebuah cerita tersendiri yang bisa dikenang. Yups, selagi kita masih bisa menulis, kenapa kita tidak meluapkannya dalam coretan-coretan? Meskipun coretan itu hanya bisa kita nikmati sendiri (hehe... menghibur diri ni?)

Pernah frustasi gara-gara karyamu gak pernah diterima? Nasiiib... nasiiib. Kalo iya, berarti kamu senasib dong ma aku. Asiiik ada temen senasib nih! Ceritanya aku lagi frustasi nih lianna (kan biasanya pake coz, sekarang ganti lianna ja biar lebih..... apa ya? lebih bernuansa kearaban gitu deh! Biar ga English mulu!) puisiku ga diterima di majalah yang pernah kukirim, akhirnya bikin blog sendiri ja deeeh. Yaah, nikmati sendirilah.

Kamis, 14 Oktober 2010

Hafid

Hafid duduk seorang diri bersandar di kursi bus yang dinaikinya. Jarum jam di tangannya menunjjuk ke angka dua belas. Sengaja ia memilih duduk di kursi deretan tengah yang masih kosong agar ia bisa menatap pemandangan di luar bus. Ia letakkan tas ransel miliknya di bawah kakinya. Sebuah keputusan besar sedang ia lalui saat ini. Kalau hanya meninggalkan keluarga dan orang-orang yang dicintainya, itu sudah biasa. Namun kali ini ia harus berjuang di sebuah desa pedalaman yang konon tingkat pendidikan penduduknya masih tertinggal jauh. Grobogan, kecamatan Klaka, Kabpaten Lumajang, desa itulah yang hendak ia tuju saat ini.

“Benar kamu sudah bertekad mau mengajar di tempat itu?”, Tanya Bapaknya meyakinkannya tadi malam. Bapak Hafid tau benar kalau anak bungsunya ini sejak dulu memiliki cita-cita untuk belajar ke Madinah.

“Ya Pak. Do’akan agar Hafid kuat.”, jawab Hafid singkat.

“Pasti Bapak selalu mendo’akan kamu. Terus bagaimana dengan rencana kamu bejalar ke Madinah?”,

“Hidup memang penuh dengan pilihan, Pak.”, Hafid menarik nafas dalam.

Masih teringat di benak Hafid tentang pengumuman dari bapak kepala Yayasan tempat ia mengajar bahwa ada sebuah sekolah yang terletak jauh di pelosok desa terpencil yang membutuhkan tenaga pengajar. Namun ternyata pengumuman itu tak mendapat respon yang berarti dari semua guru-guru. Ya, tak ada satu pun guru di yayasan tempat Hafid mengajar yang bersedia mengajar di desa terpencil tersebut. Aneh, ketika ada tawaran beasiswa belajar S2 ke madinah atau ke universitas-universitas besar di kota, hampir semua guru beradu cepat mendaftar. Begitu juga ketika ada tawaran mengajar di universitas besar, semua berbondong-bondong mendaftar. Tapi mengapa ketika ada pengumuman tawaran untuk berjuang di desa yang kecil, tak ada satu pun yang mendaftar? Seakan semua tak mau peduli.

Seminggu yang lalu, dalam sebuah rapat mingguan yayasan tempat Hafid mengajar, kembali bapak kepala yayasan menawarkan kepada seluruh guru tentang tawaran mengajar di desa terpencil tersebut. Melihat tak seorang pun mengangkat tangan bersedia mengajar di desa tersebut, Hafid mengangkat tangannya sebagai tanda ia bersedia berjuang di desa tersebut. Dan guru-guru yang hadir dalam rapat tersebut hanya mampu terdiam menatap Hafid. Ya, Hafid di usianya yang masih tergolong muda dibanding guru-guru yang lain ternyata jauh memiliki semangat juang dan pengorbanan yang tinggi dibanding lainnya. Hafid sudah bertekad meninggalkan beasiswa yang telah ia dapat untuk belajar di Madinah dan lebih memilih untuk berjuang di sebuah desa terpencil, Grobokan.

“Persiapan Klaka…”, Hafid tersadar dari lamunannya mendengar teriakan kondektur bus.
Ia segera berdiri melangkah di dekat pintu bus bersiap-siap turun.

“Bok Panjang Pak.”, Ujarnya kepada kondektur Bus.

Bus berhenti di pinggir Bok Panjang untuk menurunkan Hafid. Ia melangkah menuruni tangga menuju desa Grobokan yang terletak di daerah dengan daratan yang lebih rendah dari jalan raya yang baru saja ia lewati. Grobokan, sebuah desa kecil di kecamatan Klaka, kabupaten Lumajang. Sebuah desa terpencil dengan mata pencaharian mayoritas penduduknya bertani dan berkebun. Desa kecil yang cukup sulit ditemukan sumber air. Ya, mayoritas penduduknya mandi dan mengambil air dari aliran sungai. Khusus untuk minum, mereka membeli air dengan harga tiga ratus rupiah satu dirigen. Ya, sebuah perjuangan sedang dimulai oleh Hafid di sebuah desa dengan nama Grobokan.

“Ya Rabb, berikanlah kekuatan kepada hamba.”, doanya dalam hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar