AHLAN WA SAHLAN

Puisi adalah jiwa. Luapan perasaan. Dalam puisi ada cinta, nostalgia, ideologi, dan rasa syukur.


Tulislah apa yang ada di pikiranmu. Luapkan dalam coretan-coretan indahmu. Dan sepuluh tahun lagi mungkin kau akan tertawa atau bahkan mungkin coretan itu akan menjadi sebuah memori yang mahal. menjadi sebuah cerita tersendiri yang bisa dikenang. Yups, selagi kita masih bisa menulis, kenapa kita tidak meluapkannya dalam coretan-coretan? Meskipun coretan itu hanya bisa kita nikmati sendiri (hehe... menghibur diri ni?)

Pernah frustasi gara-gara karyamu gak pernah diterima? Nasiiib... nasiiib. Kalo iya, berarti kamu senasib dong ma aku. Asiiik ada temen senasib nih! Ceritanya aku lagi frustasi nih lianna (kan biasanya pake coz, sekarang ganti lianna ja biar lebih..... apa ya? lebih bernuansa kearaban gitu deh! Biar ga English mulu!) puisiku ga diterima di majalah yang pernah kukirim, akhirnya bikin blog sendiri ja deeeh. Yaah, nikmati sendirilah.

Rabu, 27 Oktober 2010

Panggung Sandiwara

01.00, Rabu, 27 Oktober 2010

Firda duduk mematung di depan komputer. Sebuah headset terpasang di telinganya. Ia sedang asik dengan dunianya sendiri. Ya, seakan dunia miliknya sendiri. Ia nikmati lagu-lagu kesukaannya di playlist GOM player dengan tatapan mata kosong. Bukan tulisan-tulisan di layar komputer tua di depan matanya yang ia lihat. Entah kemana perginya jiwa dan sorot matanya.

Bunyi jam beker yang sengaja ia pasang membuyarkan lamunannya. Ia meraih jam beker di atas meja tepat di samping monitor dan menekan tombol off. Sudah jam satu dini hari namun ia tak jua mengantuk. Bukan insomnia yang menyerangnya, namun bayangan dan tatapan mata seseorang yang ia temui siang tadi yang mengganggunya. Seorang pria yang sempat membuatnya kelelahan karena mengejarnya. Ia hampir saja bergulat dan beradu tinju dengan pria tersebut jika saja pria tersebut tidak menyerahkan tas yang ia ambil. Ya, Firda kenal betul pemilik muka dan sorot mata itu. Namun sayangnya ia tak sempat bertatap muka lama ataupun berbincang dengannya. Bahkan ia menemuinya dalam situasi yang sungguh di luar dugaannya.

Firda mematikan komputernya. Ia rapikan kertas-kertas print out hasil laporan yang esok harus ia serahkan kepada atasan tempat ia bekerja. Ia segera beranjak ke kamar mandi untuk berwudhu dan menggoosk gigi setelah teringat bahwa ia belum menunaikan sholat Isya’. Sebuah mukenah putih ia ambil dari hanger yang tergantung di kamarnya. Mukenah kesayangannya, hadiah dari ibunya karena ia berhasil menyelesaikan skripsi S1nya tepat waktu. Ibunya yang tinggal jauh darinya. Di sebuah pelosok desa di kabupaten Lamongan ibunya berada. (“Kok Lamongan mulu sih?”. “Hehe…sayang daerah… cinta tanah air… suka-suka yang nulislah”). Sementara Firda tinggal di sebuah rumah kecil kos-kosan di kota Surabaya, kota tempat ia bekerja.

13.00, Rabu 27 Oktober 2010

Firda keluar dari tempat makan siangnya. Tempat makan siang yang selalu menjadi langganannya tiap hari, karena selain tempatnya yang lumayan dekat dengan kantor tempat ia bekerja, juga sederhana dan terjangkau oleh isi kantongnya. Di tempat itu juga disedikan kamar mandi dan tempat sholat, sehingga Firda tidak perlu jauh-jauh pergi ke masjid maupun musholah untuk menunaikan sholat Dhuhur.

Firda melangkah seorang diri menuju kantor tempat ia bekerja. Baru saja ia melangkah keluar dari pintu rumah makan tersebut, matanya merekam sosok pria di seberang jalan yang bergerak cepat sambil menarik sebuah tas milik seorang ibu usia 40 tahunan. Reflek sang ibu tersebut berteriak minta tolong. Tanpa berpikir panjang, dengan gerakannya yang cepat dan gesit ia berlari menyeberang jalan dan mengejar pria yang mencopet tas sang ibu tersebut. Firda memasuki lorong-lorong jalan yang asing baginya. Ya, sosok pria tersebut tampat tak jauh darinya. Dan pria tersebut tak mau kalah. Ia sadar seseorang sedang mengejar di belakangnya. Ia semakin mempercepat larinya, hingga sampai tepat di sebuah lorong pertigaan, pria tersebut menghentikan langkahnya. Ia berbalik ke belakang. Dan alangkah terkejutnya Firda menatap sosok pria yang berdiri di depannya. Dalam jarak sekitar tiga meter mereka berdiri. Untuk sejenak mereka berdua saling mematung terheran satu sama lain.

Firda tersadar dari lamunannya setelah sebuah tas terlempar tepat mengenai dirinya yang sengaja dilempar oleh pria tersebut. Firda segera menangkap tas tersebut, disusul kepergian pria tersebut. Entah kemana larinya. Firda tak lagi bersemangat mengejarnya. Ia masih shock dengan apa yang ia lihat barusan. Ia tau betul sosok pria tersebut. Sosok pria yang hampir lebih dari delapan tahun tak pernah ia temui. Pria yang dulu pernah duduk di bangku tepat di depan Firda ketika ia masih berada di bangku SMP.

Firda tersadar ia harus segera mengembalikan tas tersebut kepada pemiliknya. Ia segera berlari ke arah jalan raya tempat sang ibu tadi berada. Ia menatap kerumunan orang-orang mencoba menenangkan sang ibu tersebut.

“Permisi, ini tas ibu?”, Firda menyerahkan tas tersebut.

“Iya betul.”, jawab sang ibu tersebut nampak senang. “Trimakasih banyak dek.”, lanjut sang ibu yang segera memeriksa isi tasnya.

“Ada barang yang hilang buk?.”, tanya Firda.

“Alhamdulillah, semua masih utuh.” Jawab sang Ibu. “Kemana tadi larinya pencuri tadi?”, lanjutnya.

“Gak tahu Buk, gak terkejar. Cuman bisa keambil tas ibu aja. Lari. Gak tau kemana.”, ujar Firda.

“Makasih Dek…”.

“Sama-sama Buk.”, Firda tersenyum. “Lain kali Ibu hati-hati.”

“Iya, makasih dek.”

“Saya pamit dulu Buk.”, Firda berpamitan. “Permisi…”.

“Iya, makasih dek…”, Ucap sang ibu mengiringi kepergian Firda.

Firda berjalan kaki menuju kantor tempat ia bekerja. Ia bekerja di kantor pemerintahan daerah. Tepatnya di kantor kementrian pendidikan Surabaya. Di jalan, pikirannya masih dipenuhi bayangan sosok pria yang tadi ia kejar.


16.00 Kamis, 28 Oktober 2010

“Hemm… “ Firda mencicipi tumis kangkung masakannya. “Coba ibu bisa merasakan masakanku….”lamunnya.

Ia jadi teringat pernah diejek teman cowoknya ketika ia masih duduk di bangku kuliah gara-gara ia gak bisa masak. Tepatnya waktu ia masih semester 8.

“Gimana sih, cewek kok gak bisa masak?!” Ejek temannya. “Gimana mau jadi istri sholehah?!”, lanjutnya.

“Yee.. bisalah… enak aja!”, protes Firda.

“Iya, bisa. Masak air…..”, temannya kembali mengejeknya.

“Enak aja. Bisalah. Masak mie… goreng telur… hehe…” Firda nyengir.

“Whahaa… emang suaminya mau dikasih makan mie terus…”, temanya tertawa ngakak.

“Biarinlah… kan lebih hemat. Jadi gak perlu belanja lauk pauk. Cukup beli beras sama mei.”, gurau Firda.

“Hahahaa…”, temannya menertawakannya “cewek itu harus bisa masak.”, lanjut temannya.

“Iya tau…”

“Tau tapi gak dikerjakan.”

“Ya kan masih kuliah. Entarlah kalau udah waktunya.”

“Entarlah… alasan… belajarnya ya dari sekarang non... Emang bisa langsung pinter masak. Adanya tu… step by step dari sekarang.”

“Iya tau… sewot!”.

Firda tersadar dari lamunannya. Terdengar suara seseorang mengetuk pintu rumahnya. Ia segera melangkah menuju pintu depan. Lagi-lagi Firda dibuat terkejut oleh sosok yang berdiri di depan pintu tepat di hadapannya. Sosok tersebut adalah pria yang kemaren sempat berkejaran dengannya. Jika saja sosok di hadapannya itu seorang perempuan, pasti Firda sudah menjabat tangannya erat, dan memeluknya hangat sebagai suatu salam kerinduan dari seorang sahabat lama. Namun, sosok di hadapannya kini adalah seorang pria (Bukan muhrim non…). Sahabat lamanya ketika ia masih berada di bangku SMP, delapan tahun yang lalu. Sahabat yang membantunya membuatkan pigura ketika mendapat tugas dari guru mata pelajaran Kerajinan Tangan dan Kesenian. Tepatnya membuatkannya, karena Firda tidak bisa membuatnya. Namun sayang, belum sempat dikumpulkan, kacanya sudah pecah duluan. Hiks… Sahabat yang sering menjadi lawannya dalam bermain catur ketika pulang sekolah. Sahabat yang juga menjadi lawan tandingnya dalam latihan Taek Kwondo dengan nama Tapak Suci yang diikutinya. Namun, Firda selalu kalah. Sahabat yang juga menjadi lawannya dalam adu lari cepat ketika hari libur pagi hari. Dan lagi-lagi, Firda selalu kalah. Sahabatnya yang suka bolos sekolah tanpa keterangan, dan selalu kabur ketika pelajaran Fisika maupun Matematika. Untungnya Firda tidak ikutan bolos ataupun kabur. Belakangan Firda tahu kalau sahabatnya ini bolos karena kerja di bengkel. “Lumayan… dapat uang buat beli rokok.”, ujar sahabatnya. Hmmm… Sosok sahabat itu kini ada di hadapannya setelah lebih dari delapan tahun menghilang entah kemana. Edi, begitu Firda memanggilnya.

“Dor!”, Edi membuyarkan lamunan Firda. Firda jadi serba salah.

“Tenang… aku kesini bukan sebagai seorang pencuri kok.”, ujar Edi. Firda hanya tersenyum.

“Eh, masuk-masuk”, Firda mempersilahkan.

“Gak usah, Da. Di depan aja.”, tolak Edi.

“Ya udah kalo gitu.”

Edi dan Firda duduk di kursi depan rumah Firda. Dua kursi kecil yang dibatasi oleh satu meja kecil. Sejenak mereka terdiam.

“Gimana kabarnya? Kamu menghilang kemana aja sih, Di?”, Firda membuka percakapan.

“Seneng banget Da aku bisa melihatmu lagi.”, Ujar Edi tersenyum tanpa menghiraukan pertanyaan Firda. “Gak nyangka ternyata kita bisa ketemu lagi. Padahal… udah berapa tahun ya gak ketemu. Delapan tahun lebih deh.”

“Ya… kupikir aku gak akan melihat kamu lagi.” Ucap Firda. “Eh, kok tahu alamatku? Tahu dari mana?” Tanya Firda.

“Taulah… siapa dulu dong…!!!”

Firda hanya tersenyum. “Kamu ini gak berubah-berubah dari dulu.”

“Berubah Da. Aku sudah punya istri sekarang. Sudah punya anak juga.”

Firda tampak terkejut mendengar pengakuan temannya. “Gitu ya, menikah gak ngasih tahu. Gak ngasih undangan. Punya anak juga gak bilang-bilang.”, Ucap Firda. “Terus, kok istrinya gak diajak kesini tadi?”

“Enggaklah Da… istriku di rumah. Di desanya. Ngapain diajak kesini.”

“Eh, emang dapet orang mana sih?”

“Kamu gak kenal pasti. Orang habis SMP kamu langsung pergi kok, gimana aku ngasih tahu. Nomor hp kamu gak aktif lagi.”

“Iya, udah mati nomor hpku yang dulu. Maaf deh…”, Firda tersenyum.

Lagi-lagi mereka terdiam.

“Aku… Aku menikah gara-gara MBA, da.”, ujar Edi.

Firda benar-benar terkejut mendengar pengakuan sahabatnya ini. “Kok bisa?!”

“Bisa lah, Da. Namanya juga manusia. Cewekku datang ke rumah. Ia minta aku menikahinya. Ibuku yang mendengar langsung shock, Da.”, jelas Edi.

“Ya iyalah… Kalau aku waktu itu disitu juga pasti aku udah nonjokin kamu. Kok bisa-bisanya aku punya sahabat kayak kamu.”

Edi tersenyum manis. “Sok berani nonjok… orang lomba lari sama aku aja kalah gitu kok.”, ejek Edi.

Firda jadi teringat kejadian kemaren ketika ia mengejarnya. “Emm… mau nanya sesuatu. Tapi gak boleh marah ya?!”, Ucap Firda berhati-hati.

“Aku seorang pencuri, Da.”, Ucap Edi yang telah paham arah pembicaraan Hayun dan apa yang hendak ia tanyakan.

Untuk kesekian kalinya Firda dibuat terkejut oleh pernyataan dan pengakuan sahabatnya ini.

“Aku bukan orang baik, Da.”, lanjut Edi. “Aku tau sih ini salah. Aku tahu kalau yang kulakukan ini gak bener. Hmm… Udah nasibku kayaknya.”

“Jangan salahkan nasib. Salahkan dirimu.”, kata Firda. Edi hanya tersenyum mendengar ucapan Firda.

“Kamu gak berubah ya, Da. Tetep aja sama kayak dulu. Tetep bawel.”, balas Edi.

“Bawel… Kamu tuh yang bandel.”, Firda gak mau kalah.

“kalo gak gitu bukan Edi dong da namanya.”

Mereka sama-sama tersenyum.

“Eh, kemaren ngapain kamu ngejar-ngejar aku?”, Edi kembali membuka percakapan. “Udah pake rok, pake sepatu pentopel. Lumayan tinggi lagi haknya. Eh, pake jilbab lagi. Lari-lari. Untung aja kemaren gak jatuh. Mau sok jadi pahlawan ya?!”, lanjut Edi.

Firda hanya tertawa. “Reflek aja pengen nangkep pencurinya.”.

“Besok lagi gak usah sok jadi jagoan. Untung aja kemaren aku yang kamu kejar. Coba kalo orang lain. Habis kamu, Da.”, ucap Edi.

“Habis… emang apaan…?!”

“Eh, ente udah menikah belom sih, Da?”, Tanya Edi mengalihkan pembicaraan.

“Belum”, Firda tersenyum.

“Gak usah nunggu lama-lama… Entar keburu tua.”, ucap Edi.

“Yes, Bos!”, Firda member hormat kepada Edi.

“Coba aku belom nikah, Da. Aku pasti melamarmu.”, ucap Edi.

Mereka berdua tertawa. “Bercanda-bercanda…”, lanjut Edi.

Lagi-lagi mereka kembali terdiam.

“Hmm… hidup. Ya, hidup memang seperti panggung sandiwara. Panggung sandiwara yang sementara. Ada berbagai peran dan karakter disana.”, ujar Firda dalam hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar