Kisah ini diambil dari novel LIVOR MORTIS karya Deasylawati P.
Seorang wanita paruh baya yang tampak kepayahan memboncengkan pria bertubuh gemuk tak wajar -seperti digembungkan dari dalam- dengan sepeda onthel tua yang berdecit memelas setiap kali ia mengayuhnya. Wanita itu menghentikan menghentikan sepedanya dengan hampir jatuh. Berhati-hati ia menuruni sepedanya sambil mempertahankan agar si pria tetap pada tempatnya, tidak terjatuh. Kemudian, ia menyandarkan sepedanya pada sebuah pohon di tepi jalan dengan hati-hati seraya memapah si pria untuk turun dengan berpegangan pada pundaknya.
Perlahan si wanita memapah pria itu masuk ke halaman rumah sakit. Fatiya terus mengamati pasangan tersebut. Si wanita bertubuh kurus. Kulitnya coklat dan terlihat berminyak karena keringat. Rambutnya yang sudah mulai memutih di bagian pangkal diikat tak begitu rapi di belakang. Sebagiannya masih menjulur-julur menghiasi wajah tirusnya. Ia hanya mengenakan baju kembang-kembang yang mungkin dulunya berwarna merah karena sudah begitu pudar warnanya. Si pria jauh lebih besar tubuhnya. Kulitnya jauh lebih gelap dan uban di rambutnya lebih banyak. Fatiya menebak keduanya adalah sepasang suami istri. Si suami tampak kepayahan sekali. Jalannya hampir terseret. Tubuh gemuknya benar-benar tampak seperti ditiup dri dalam saja, melembung, dan mengkilat tak wajar. Keduanya menghilang ke ruang IGD yang terletak di sayap kiri bangunan utama rumah sakit.
Fatiyah trenyuh, teringat pada kakek neneknya di desa yang sudah lama tak dijenguknya. Yang juga hidup berdua saja, dengan rumah yang jauh dari para tetangga.Sang kakek setiap hari harus berjalan puluhan kilometer dari rumah ke sawah, dengan membawa cangkul yang besar batangnya nyaris sama dengan lengan berbalut putih keriputnya. Kemudian, ketika hati sudah beranjak siang, sang nenek akan muncul dengan membawakan bekal makan siang;nasi jagung lauk tempe goreng yang diiris kotak-kotak besar dengan sambal terasi. Fatiya serasa dapat mencium wangi nasi jagung buatan neneknya.
Baru saja Fatiya meneleng kembali ke arah jalan raya, saat itulah ia melihat sepeda onthel tua yang disandarkan si ibu taditelah menghilang dari tempatnya semula! Fatiya langsung berdiri saking kagetnya. Ia yakin sekali si ibu tadi telah menyandarkan sepedanya pada batang pohon di tepi jalan tak jauh darinya.
Gadis berjilbab lebar itu segera bangkit, hendak melapor pada satpam. Tapi tepat pada saat itu, bus yang ditungguinya sejak setengah jam yang lalu telah tiba. Fatiya bimbang. Sang kenek bus yang ditunggu-tunggu melambaikan tangan. Sejenak Fatiya mengawasi ke arah mana sepeda tadi pernah berada, kemudian kepada bus yang telah setengah jam ditungguinya. Menimbang-nimbang apakah dia lapor satpam, yang berarti kehilangan bus yang dinanti dan belum tahu kapan akan datang lagi? akhirnya dia memutuskan untuk menjadi warga negara zaman sekarang, yang hidup dengan segala keegoisan. Fatiya memilih menaiki bus yang telah lama ditunggunya.
Wanita paruh baya itu berdiri begitu saja di samping suaminya yang terkapar tak berdaya di tempat tidur berkasur tipis yang dilihatnya punya roda. Ia hanya mengawasi para petugas berbaju putih dan biru muda itu sibuk mondar-mandir, sebagian sibuk meneriman, telepon, mencatat, dan lain-lainnya. Ia tak berani bertanya maupun sekedar mendekat ke arah mereka. Hanya diam di tempatnya seraya mencengkeram celana panjang suaminya.
Ia sudah berada di rumah sakit sekarang. Para tetangganya mengatakan, begitu datang ke rumah sakit, pasti nanti suaminya akan segera mendapat pertolongan. Keadaan suaminya yang belakangan mendadak lemah dan tidak bisa melakukan apapun, membuatnya harus mempercayai semua itu. Tapi apa yang dilihatnya disini , di rumah sakit milik pemerintah ini, tampaknya tidak demikian adanya. Ia hanya disuruh untuk menidurkan suaminya di atas kasur tipis berbalut kulit imitasi itu, kemudian diminta menunggu. Tak lama kemudian, seorang wanita berseragam putih dengan lengan atas yang menggelambir memandangnya, "Pun daftar, Bu?" Teriaknya.
Ponirah menggeleng takut-takut. "Dereng, Bu."
"Ndaftar sik. Ngajengan mrika, lhe!" ujar wanita dengan topi mungil di puncak kepalanya yang berambut keriting itu seraya menunjuk ke luar. Ponirah menurut. Keluar ruang dengan bingung sambil sesekali menengok cemas ke arah suaminya yang tak segera didekati oleh siapapun dari petugas yang berseragam putih-putih tersebut. Ibu itu memandang ke kanan-kirinya. Mengira-ngira dimana seharusnya ia mendaftar.
Sebuah ruangan serupa loket pembayaran listrik di PLN berada tepat di sebelah kanannya. Tampak ada dua orang yang sedang mengantri di depan loket tersebut. Ponirah mendekat. Pada waktu itu ada seorang pasien, seorang bapak bertubuh gemuk tak wajar yang sama seperti suami ibu tadi turun dari sebuah mobil mewah dan langsung didorong masuk ke dalam dengan kursi roda. Beberapa keluarganya mengiringinya dengan raut wajah cemas. Pria itu langsung dipasangi selang oksigen begitu dipindah dari tempat tidur. Seorang wanita bersanggul tinggi yang ikut mengiringinya, bersepatu hak setinggi lima senti, dan berpakaian cukup seksi, langsung berjalan ke arah loket pendaftaran. Begitu cepatnya sehingga terkesan seperti sedang meluncur saja. Poniran dan seorang lagi yang masih mengantri lagsung diselonongnya begitu saja. Satu orang yang diselonong, selain Ponirah, mengawasi, berdecak keras-keras berharap wanita bersanggul tinggi mengerti. Hei, antri! Mungkin begitu yang ingin dikatakannya. Tapi, ia diam saja, sambil menetap galak ke arah si wanita.
Ponirah yang takut-takut sekarang mengawasi wanita yang bersanggul tinggi. Wanita berparas cantik itu berbicara dengan cepat, sementara di ruang penerimaan pasien yang persis di belakang loket pendaftaran tersebut, si bapak yang baru datang langsung ditangani oleh dua orang petugas berseragam putih, mendapatkan perawatan.
Ponirah yang sebentar-sebentar menoleh ka arah suaminya yang masih terkapar tanpa penanganan, meremas-remas jarinya cemas. "Kenapa bapak yang baru datang tadi langsung ditangani? Kenapa suamiku yang sejak tadi belum juga didekati?" Pikirnya.
Si wanita bersanggul tinggi sudah menyelesaikan urusannya. Tanpa berkata permisi atau apa, dia melewati orang-orang yang diselonongnya dan kembali lagi pada pria gemuk yang baru didorong masuk barusan.
Sekarang tiba giliran Ponirah.
"Umun atau Askeskin?" tanya si pegawai di loket tersebut tanpa mengangkat wajahnya. Menanyakan Ponirah hendak mendaftar sebagai pasien apa. Askeskin adalah asuransi kesehatan untuk masyarakat miskin. tangannya sibuk mengambil lembaran-lembaran kertas baru, menyusunnya jadi satu, dan memisahkannya pada salah satu tumpukan di sisinya. Lalu ia mengambil lembaran yang lain lagi dari keranjang berleher pendek di depannya.
"Nopo niku?" jawab Ponirah dengan wajah polos. Kerut-kerut di wajahnya membuatnya semakin terlihat tua.
Si petugas menaikkan sebelah alisnya, memandang Ponirah dengan tatapan yang seolah mengatakan, "Masa kayak gitu aja tidak tahu!" Dan ia mendengus biasa. "Kalau umum, bayar penuh. Kalau pakai Askeskin, dibayar pemerintah. KTPne pundhi?"
Ponirah menggeleng. "Pun dangu boten gadah KTP, pak" jawabnya.
Seorang wanita paruh baya yang tampak kepayahan memboncengkan pria bertubuh gemuk tak wajar -seperti digembungkan dari dalam- dengan sepeda onthel tua yang berdecit memelas setiap kali ia mengayuhnya. Wanita itu menghentikan menghentikan sepedanya dengan hampir jatuh. Berhati-hati ia menuruni sepedanya sambil mempertahankan agar si pria tetap pada tempatnya, tidak terjatuh. Kemudian, ia menyandarkan sepedanya pada sebuah pohon di tepi jalan dengan hati-hati seraya memapah si pria untuk turun dengan berpegangan pada pundaknya.
Perlahan si wanita memapah pria itu masuk ke halaman rumah sakit. Fatiya terus mengamati pasangan tersebut. Si wanita bertubuh kurus. Kulitnya coklat dan terlihat berminyak karena keringat. Rambutnya yang sudah mulai memutih di bagian pangkal diikat tak begitu rapi di belakang. Sebagiannya masih menjulur-julur menghiasi wajah tirusnya. Ia hanya mengenakan baju kembang-kembang yang mungkin dulunya berwarna merah karena sudah begitu pudar warnanya. Si pria jauh lebih besar tubuhnya. Kulitnya jauh lebih gelap dan uban di rambutnya lebih banyak. Fatiya menebak keduanya adalah sepasang suami istri. Si suami tampak kepayahan sekali. Jalannya hampir terseret. Tubuh gemuknya benar-benar tampak seperti ditiup dri dalam saja, melembung, dan mengkilat tak wajar. Keduanya menghilang ke ruang IGD yang terletak di sayap kiri bangunan utama rumah sakit.
Fatiyah trenyuh, teringat pada kakek neneknya di desa yang sudah lama tak dijenguknya. Yang juga hidup berdua saja, dengan rumah yang jauh dari para tetangga.Sang kakek setiap hari harus berjalan puluhan kilometer dari rumah ke sawah, dengan membawa cangkul yang besar batangnya nyaris sama dengan lengan berbalut putih keriputnya. Kemudian, ketika hati sudah beranjak siang, sang nenek akan muncul dengan membawakan bekal makan siang;nasi jagung lauk tempe goreng yang diiris kotak-kotak besar dengan sambal terasi. Fatiya serasa dapat mencium wangi nasi jagung buatan neneknya.
Baru saja Fatiya meneleng kembali ke arah jalan raya, saat itulah ia melihat sepeda onthel tua yang disandarkan si ibu taditelah menghilang dari tempatnya semula! Fatiya langsung berdiri saking kagetnya. Ia yakin sekali si ibu tadi telah menyandarkan sepedanya pada batang pohon di tepi jalan tak jauh darinya.
Gadis berjilbab lebar itu segera bangkit, hendak melapor pada satpam. Tapi tepat pada saat itu, bus yang ditungguinya sejak setengah jam yang lalu telah tiba. Fatiya bimbang. Sang kenek bus yang ditunggu-tunggu melambaikan tangan. Sejenak Fatiya mengawasi ke arah mana sepeda tadi pernah berada, kemudian kepada bus yang telah setengah jam ditungguinya. Menimbang-nimbang apakah dia lapor satpam, yang berarti kehilangan bus yang dinanti dan belum tahu kapan akan datang lagi? akhirnya dia memutuskan untuk menjadi warga negara zaman sekarang, yang hidup dengan segala keegoisan. Fatiya memilih menaiki bus yang telah lama ditunggunya.
Wanita paruh baya itu berdiri begitu saja di samping suaminya yang terkapar tak berdaya di tempat tidur berkasur tipis yang dilihatnya punya roda. Ia hanya mengawasi para petugas berbaju putih dan biru muda itu sibuk mondar-mandir, sebagian sibuk meneriman, telepon, mencatat, dan lain-lainnya. Ia tak berani bertanya maupun sekedar mendekat ke arah mereka. Hanya diam di tempatnya seraya mencengkeram celana panjang suaminya.
Ia sudah berada di rumah sakit sekarang. Para tetangganya mengatakan, begitu datang ke rumah sakit, pasti nanti suaminya akan segera mendapat pertolongan. Keadaan suaminya yang belakangan mendadak lemah dan tidak bisa melakukan apapun, membuatnya harus mempercayai semua itu. Tapi apa yang dilihatnya disini , di rumah sakit milik pemerintah ini, tampaknya tidak demikian adanya. Ia hanya disuruh untuk menidurkan suaminya di atas kasur tipis berbalut kulit imitasi itu, kemudian diminta menunggu. Tak lama kemudian, seorang wanita berseragam putih dengan lengan atas yang menggelambir memandangnya, "Pun daftar, Bu?" Teriaknya.
Ponirah menggeleng takut-takut. "Dereng, Bu."
"Ndaftar sik. Ngajengan mrika, lhe!" ujar wanita dengan topi mungil di puncak kepalanya yang berambut keriting itu seraya menunjuk ke luar. Ponirah menurut. Keluar ruang dengan bingung sambil sesekali menengok cemas ke arah suaminya yang tak segera didekati oleh siapapun dari petugas yang berseragam putih-putih tersebut. Ibu itu memandang ke kanan-kirinya. Mengira-ngira dimana seharusnya ia mendaftar.
Sebuah ruangan serupa loket pembayaran listrik di PLN berada tepat di sebelah kanannya. Tampak ada dua orang yang sedang mengantri di depan loket tersebut. Ponirah mendekat. Pada waktu itu ada seorang pasien, seorang bapak bertubuh gemuk tak wajar yang sama seperti suami ibu tadi turun dari sebuah mobil mewah dan langsung didorong masuk ke dalam dengan kursi roda. Beberapa keluarganya mengiringinya dengan raut wajah cemas. Pria itu langsung dipasangi selang oksigen begitu dipindah dari tempat tidur. Seorang wanita bersanggul tinggi yang ikut mengiringinya, bersepatu hak setinggi lima senti, dan berpakaian cukup seksi, langsung berjalan ke arah loket pendaftaran. Begitu cepatnya sehingga terkesan seperti sedang meluncur saja. Poniran dan seorang lagi yang masih mengantri lagsung diselonongnya begitu saja. Satu orang yang diselonong, selain Ponirah, mengawasi, berdecak keras-keras berharap wanita bersanggul tinggi mengerti. Hei, antri! Mungkin begitu yang ingin dikatakannya. Tapi, ia diam saja, sambil menetap galak ke arah si wanita.
Ponirah yang takut-takut sekarang mengawasi wanita yang bersanggul tinggi. Wanita berparas cantik itu berbicara dengan cepat, sementara di ruang penerimaan pasien yang persis di belakang loket pendaftaran tersebut, si bapak yang baru datang langsung ditangani oleh dua orang petugas berseragam putih, mendapatkan perawatan.
Ponirah yang sebentar-sebentar menoleh ka arah suaminya yang masih terkapar tanpa penanganan, meremas-remas jarinya cemas. "Kenapa bapak yang baru datang tadi langsung ditangani? Kenapa suamiku yang sejak tadi belum juga didekati?" Pikirnya.
Si wanita bersanggul tinggi sudah menyelesaikan urusannya. Tanpa berkata permisi atau apa, dia melewati orang-orang yang diselonongnya dan kembali lagi pada pria gemuk yang baru didorong masuk barusan.
Sekarang tiba giliran Ponirah.
"Umun atau Askeskin?" tanya si pegawai di loket tersebut tanpa mengangkat wajahnya. Menanyakan Ponirah hendak mendaftar sebagai pasien apa. Askeskin adalah asuransi kesehatan untuk masyarakat miskin. tangannya sibuk mengambil lembaran-lembaran kertas baru, menyusunnya jadi satu, dan memisahkannya pada salah satu tumpukan di sisinya. Lalu ia mengambil lembaran yang lain lagi dari keranjang berleher pendek di depannya.
"Nopo niku?" jawab Ponirah dengan wajah polos. Kerut-kerut di wajahnya membuatnya semakin terlihat tua.
Si petugas menaikkan sebelah alisnya, memandang Ponirah dengan tatapan yang seolah mengatakan, "Masa kayak gitu aja tidak tahu!" Dan ia mendengus biasa. "Kalau umum, bayar penuh. Kalau pakai Askeskin, dibayar pemerintah. KTPne pundhi?"
Ponirah menggeleng. "Pun dangu boten gadah KTP, pak" jawabnya.
Petugas berkumis itu melongok-longok ke sekitar Ponirah. "Keluarganya mana?"
Ponirah tampak kebingungan. "Mboten gadah, mas. Kulo namung piyambakan niki...."matanya mulai berkaca.
"Wa, lha gimana tu? Begini saja, Ibu pulang, minta Pak RT untuk menguruskan surat keterangan buat Askestin. Nanti Pak RTnya sudah tahu itu."Ujarnya dalam bahasa jawa pula.
Mata Ponirah semakin berkaca. "Lha mangke engkang nenggo garwa kulo sinten?"
Petugas itu menghela nafas. "Lha, sinten?" jawabnya acuh. Ia memilih menaggapi antrian berikutnya yang telah menunggu di belakang Ponirah.
Ponirah membuka mulutnya, namun tak tahu apa yang hendak dikatakannya. Ia terpekur. Kalut. Tak tahu harus berbuat apa. Mata lelahnya kembali menatap suaminya yang terkapar tak berdaya. Dan orang-orang berseragam putih-putih itu masih saja berlalu lalang tanpa mengacuhkannya. Sementara si bapak yang ditemani oleh wanita bersanggul tinggi itu sudah mulai diperiksa. Butiran bening mengalir perlahan dari mata tuanya. Sebuah kekuatan yang bernama ketegaran tiba-tiba merasuk dari dalam relung jiwanya. Memaksanya menahan isak tangisnya, menghempaskan gemuruh sakit yang entah bagaimana terasa begitu mrnghimpit dadanya, dan menegarkan langkahnya untuk segera melakukan yang terbaik untuk suaminya.
"Hei, Bu!" si petugas memanggil, hendak mendaftar si pasien. Tapi ibu itu tidak mendengar dan malah bergegas menuju halaman, berlari tergopoh-gopoh hendak mencari bantuan kepada orang yang dikenalnya. Ia kembali ke tempat tadi menyandarkan sepeda tuanya. Dan betpa terkejut dirinya ketika mendapati sepeda kayunya tak lagi berada pada tempat bersandarnya! Ia mencengkeram kedua pipinya, menjerit histeris.
"GUSTIIII!!!"
Beberapa tukang becak dan tukang taksi yang biasa mangkal di jalan depan rumah sakit segera menghampiri Ponirah yang malang itu. Menanyainya dengan berbagai macam hal. Ponirah menangis tersedu-sedu. remuk sudah hatinya yang berharap bisa segera pulang mencari bantuan dengan sepeda satu-satunya itu. Luluh sudah harapannya untuk mengandalkan sepeda yang sudah pasti akan dijualnya jika Karno suaminya jadi dirawat di rumah sakit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar