AHLAN WA SAHLAN

Puisi adalah jiwa. Luapan perasaan. Dalam puisi ada cinta, nostalgia, ideologi, dan rasa syukur.


Tulislah apa yang ada di pikiranmu. Luapkan dalam coretan-coretan indahmu. Dan sepuluh tahun lagi mungkin kau akan tertawa atau bahkan mungkin coretan itu akan menjadi sebuah memori yang mahal. menjadi sebuah cerita tersendiri yang bisa dikenang. Yups, selagi kita masih bisa menulis, kenapa kita tidak meluapkannya dalam coretan-coretan? Meskipun coretan itu hanya bisa kita nikmati sendiri (hehe... menghibur diri ni?)

Pernah frustasi gara-gara karyamu gak pernah diterima? Nasiiib... nasiiib. Kalo iya, berarti kamu senasib dong ma aku. Asiiik ada temen senasib nih! Ceritanya aku lagi frustasi nih lianna (kan biasanya pake coz, sekarang ganti lianna ja biar lebih..... apa ya? lebih bernuansa kearaban gitu deh! Biar ga English mulu!) puisiku ga diterima di majalah yang pernah kukirim, akhirnya bikin blog sendiri ja deeeh. Yaah, nikmati sendirilah.

Minggu, 23 Mei 2010

Perjalanan Hidup.

Kali ini aku mencoba belajar bikin cerita. wkwkwk..... pertamanya dapet ide. Entah dari mana. Imajinasi gitu deh. Bingung dikasih nama siapa. Ah, nama keponakan sama nama mbak aja deh! Ada Hayun, Rexy, Rosyidah, Rois. Kurang satu nama yang depannya R. Biar nama anak-anaknya R semua gitu...... siapa ya? Kan satunya Rosyidah.... ah, Rosyad aja deh. Terus.... satu lagi nih yang huruf awalnya H. Biar matching sama Hayun. Siapa ya? Hendra.... ah, enggak ah! Heru.... Gak pas ah! Yups, dapet Haris. Lebih islami. Kayak Zaid bin Harits.... wkwkwk.... Terus.... cocokin tanggal dan tahun. Biar masuk akal dikitlah.... Tulis deh. Banyak salah? Pasti... namanya juga belajar.

Selanjutnya.... dikasih judul apa nih? "Perjalanan Haris dan Hayun"? ah, Gak Ah! terlalu sempit. Gimana kalo... "Perjalanan Hidup"? emmm... boleh juga. ok. Selesai deh. Copy paste apload dech di blog. Meski gak layak diapload..... biarinlah!

Sabtu, 18 Oktober 1986

Haris terbangun. Ditatapnya jam dinding yang terpasang di dinding kamarnya. “Jam 3”, gumamnya dalam hati. Ia masih terbaring di atas ranjang rumah sakit sejak seminggu yang lalu. Kecelakaan di tempat kerja membuatnya kehilangan kaki kanannya. Tangga yang ia naiki ternyata tidak cukup kuat terpasang hingga membuatya terjatuh dari lantai dua. Kaki kanannya tertimpa beban berat hingga mengharuskan untuk diamputasi. Meskipun begitu, namun Haris tetap merasa beruntung karena tidak terjadi pendarahan di kepalanya.

Ditatapnya istrinya, Hayun yang tengah berdo’a dalam akhir tahajjudnya. Istrinya yang tak pernah mengeluh menungguinya di rumah sakit. Yang selalu hadirkan canda dan keceriaan kala Haris berada dalam kesedihan. Istrinya yang tak pernah meninggalkannya terbaring sendirian di kamar rumah sakit. Kalaupun Hayun terpaksa meninggalkan Haris, ia pasti telah menyuruh anak-anaknya atau meminta bantuan kepada ibunya untuk menemani suaminya barang sejenak hingga Hayun kembali.

Semenjak Haris di rumah sakit, Hayun tak banyak mengurus rumah dan anak-anaknya di rumah. Ia percayakan anak-anaknya kepada ibunya yang juga tinggal serumah dengan Hayun.

“Mas, sudah bangun?”, sapa Hayun selesai berdo’a sambil menatap suaminya yang tengah terbaring di atas ranjang. Haris hanya tersenyum kecil.

“Subhanallah, Alhamdulillah, terimakasih Ya Allah, Engkau telah menganugerahi seorang Bidadari yang tiada duanya”, ujar Haris dalam hati menatap istrinya. “Dek”, panggi Haris.

“Hem? Kenapa Mas?”, Tanya Hayun sambil duduk di atas kursi plastik dekat kepala Haris.

“Mas mau ngomong sesuatu.”, ujar Haris serius.

“Mas mau ketemu anak-anak?” Tebak Hayun.

Lagi-lagi Haris hanya tersenyum.

“Dek”, Haris memanggil. Ia menarik napas panjang.

“Apa sih Mas……?” Hayun memegang tangan Haris.

“Mas tidak ingin menjadi beban buat Adek”, lanjut Haris. “Mas meng…..”

“Mas ini gomong apa sih?!”, potong Hayun. “Hayun tahu kemana arah pembicaraan Mas. Mas, Hayun tetap istri Mas. Hayun tetap sayang sama Mas bagaimanapun keadaan Mas.”, lanjut Hayun sambil berkaca-kaca. Hayun tak mampu membendung air matanya. Ya, meskipun ia tampak tegar, namun sebenarnya ia cukup cengeng. “Mas gak boleh bicara seperti itu lagi.”

“Emang Mas mau bicara apa tadi?”, gurau Haris. “Ah, sok tau nih….”

“Lho, terus tadi mau ngomong apa?” Hayun balik nanya

“Apa ya tadi?”, Haris pura-pura berpikir “ Tu…kan jadi lupa.”

“Makanya… kebanyakan mikir sih… jadinya pelupa sebelum waktunya”, komentar Hayun.

“Mikirin kamu terus sih sayang. Hayo, siapa coba yang salah?”, canda Haris

“Yeee… hmmm mulai lagi deh gombalnya…”, ujar Hayun diringi senyum Haris.

“Dek…”, panggil Haris.

“Apa lagi?!”, tanya Hayun ketus.

“Galaknya…”, ucap Haris.

“Apa Mas…?”, ujar Hayun lembut.

“Nah, gitu dong!”, kata Haris. “Mas mau nanya sesuatu. Tapi dijawab yang jujur.” Lanjut Haris.

“Lho, emang Hayun pernah bohong?”, tanya Hayun protes.

“Lho, siapa yang bilang adek pernah bohong?”

“Yang tadi itu?”

“Hmmm… perempuan itu emang kayak gini nih!”, gumam Haris.

“Lho, ngapain bawa-bawa nama perempuan?!”, protes Hayun kembali. Dan Haris hanya tertawa kecil.

“Aduh… kalo kayak gini Mas bisa-bisa gak sembuh-sembuh nih Dek”, ucap Haris diiringi tawa Hayun. “Mas mau nanya sesuatu.”, Haris terdiam sejenak.”Apa sih yang membuat adek cinta sama Mas?”

“Kok pertanyaannya gitu?”. Hayun tersenyum. “Apa ya?”, gumam Hayun. “Emmm…Ganteng juga enggak, kaya juga enggak, pinter… juga enggak, baik hati juga enggak…aduh!”, canda Hayun yang terpotong karena Haris menimpuk kepalanya dengan bantal. “Tu…kan, kasar lagi!”, Haris hanya senyum-senyum mendengar ucapan Hayun.

“Hmmm… Hayun…Hayun… bagaimana tidak bahagia punya istri seperti kamu”, ucap Haris dalam hati. “Mas serius nih nanyanya.” Lanjut Haris.

“Lho, Hayun juga beneran jawabnya”, Hayun tak mau kalah.

“Enggak tuh.”, bantah Haris. “Kalo ganteng… bolehlah dikit… ,pinter… masuk tuh, kalo kaya… wah… jelas tuh, kaya hati”, Haris memuji dirinya sendiri diiringi tawa mereka berdua.

“Cinta memang susah untuk digambarkan”, Hayun berfilosofi. “Seorang ibu pasti akan tetap cinta dan sayang kepada anak-anaknya bagaimanapun keadaan anaknya. Meskipun anaknya jelek atau cacat… seorang ibu tidak akan menyesal ataupun malu dengan kondisi anaknya. Ia akan tetap menyayangi anaknya.”

“Itu kan ibu dengan anak… kalau istri sama suaminya?”, Taya Haris memancing.

“Gak jauh beda kayaknya”, jawab Hayun.

“Emmm… gitu…”, Haris menganggukkan kepala. “Dek, kita sudah menikah berapa tahun sih Dek?”, Haris kembali bertanya.

“Berapa tahun ya Mas? Hitung aja umur Rosyad. Kan sekarang dia sudah delapan belas tahun. Delapan belas tahun ya Mas?”, Hayun balik nanya yang dijawab dengan anggukan kepala Haris.

“Selama ini kita sudah berapa kali bertengkar ya Dek?,” Haris kembali bertanya.

“Kok Mas nanyanya gitu?”.

“Ya nanya aja.”

“Kalo berapa kali bertengkar, Hayun lupa. Tapi kalo berapa kali Mas marah-marah di rumah… kayaknya Hayun ingat deh.”Haris tersenyum-senyum mendengar ucapan Hayun. “Mas marah-marah ketika pulang kerja. Kayaknya sih ada masalah di tempat kerja terus terbawa sampe ke rumah. Terus… Mas marah waktu gak punya uang… udah ah, lupa.”Jelas Hayun.

Haris tersenyum mendengar pengakuan istrinya. “Kenapa senyum-senyum?”, tanya Hayun.

“Kok, berapa kali bertengkarnya gak disebutin? Lupa apa malu nih?”, Haris menggoda.

“Udah ah, Hayun mau sholat Subuh dulu”, Hayun sengaja mengelak dari pembicaraan.

“Lho, emang sudah adzan subuh?”, Lagi-lagi Haris menggoda. “Sekarang kan baru jam empat.
Sejak kapan adzan subuh jam empat? Kan biasanya jam setengah lima.”

“Sejak hari ini.”, jawab Hayun sekenanya.


25 November 1986, 15.00 WIB

Hampir satu bulan Haris keluar dari rumah sakit. Selama satu bulan ia hanya berdiam diri di rumah tanpa aktivitas yang berarti. Ia mencoba menghubungi rekan-rekannya menanyakan kemungkinanan adanya tawaran pekerjaan yang bisa ia lakukan di rumah tanpa harus pergi ke tempat kerja. Namun semuanya nihil. Dalam hati ia merasa tertekan dan merasa bersalah terhadap Hayun, istrinya. Ia merasa seakan dirinya adalah suami yang tidak bertanggungjawab. Ia tidak dapat memenuhi kewajibannya untuk memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya. Terkadang ia merasa kasihan dan tidak tega melihat istrinya yang tampak kelelahan bekerja.

Kecelakaan yang menimpa Haris mengharuskan Hayun mencoba mencari penghasilan untuk keluarga dan anak-anaknya; Rosyad Arroyyan yang kini duduk di bangku kelas 3 SMA, Rosyidatul Azizah kelas 2 SMP, dan Rexy Ardian yang baru duduk di kelas 5 SD. Mau tidak mau Hayunlah yang harus membiayai biaya sekolah ketiga anaknya.

Kemampuan Hayun dalam menjahit dan membordir tidak ia sia-siakan begitu saja. Uang tabungannya ia jadikan modal untuk membuka toko kecil di depan rumahnya, yang menjual pakaian-pakaian, perlengkapan bayi, peralatan jahit-menjahit, busana muslim dan muslimah, juga menjual beberapa mukenah yang dihiasi dengan bordir-bordir cantik buatan Hayun sendiri. Keuletan dan keluwesan Hayun dalam bersikap cukup menarik perhatian pembeli, sehingga toko Hayun tak pernah terlihat sepi dari pembeli tiap harinya.

“Assalamu’alaikum”, sapa seseorang di depan pintu rumah Hayun.

“Alaikumussalam.”, jawab Haris yang mendengar salam tersebut. Hayun sendiri tengah terlelap tidur di kamar. Tampaknya ia terlalu letih bekerja sejak pagi, hingga tak mampu menahan matanya yang lelah.

“Maaf, betul ini rumah Bu Hayun?”, Tanya tamu tersebut. Seorang pria muda umur tiga puluhan dengan pakaian santai. Entah tamu dari mana. Haris sendiri baru pertama kali ini melihat pria tersebut.

“Ya, betul. Kenapa ya?”, jawab Haris tanpa mempersilahkan tamunya masuk.

“Kenalkan, saya Wahyudi.”, pria tersebut mengulurkan tangannya yang disambut dengan jabatan tangan Haris. Beberapa hari yang lalu saya sempat melihat blog Bu Hayun tentang karya-karya bordirannya. Kami melihat karya tersebut cukup bagus, dan kami berniat untuk survei langsung. Kami juga sudah buat janji dengan Bu Hayun kalau hari ini kami mau survei langsung.”, jelas Wahyudi.

“Blog?”, pikir Haris dalam hati. “Sejak kapan istriku aktif membuat blog lagi? Kok gak bilang?”, lanjutnya masih dalam hati. “Maaf, istri saya sedang istirahat. Tidak bisa diganggu.” Jawab Haris tampak ketus.

“O.. Anda suami Bu Hayun?”. Wahyudi memandang Haris sambil menatap tangan Haris yang menyangga enggrang kakinya.

“Ya. Istri saya sedang istirahat. Anda boleh pergi sekarang.”, Ucap Haris tanpa basa-basi. Ia sama sekali tidak mempersilahkan tamunya masuk. Entah apa yang membuat Haris bersikap kasar semacam itu. Itu sama sekali bukan sifat Haris yang sesungguhnya.

“Siapa Mas?” Tanya Hayun dari dalam tepat menjelang kepergian tamunya.

“Kok sudah bangun?”, Haris mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Siapa tadi Mas?”, selidik Hayun tanpa mempedulikan pertanyaan suaminya.

“Siapa? Bukan siapa-siapa.”, jawab Haris singkat.

“Kok gitu sih Mas jawabnya?”.

“Terus gimana? Memang bukan siapa-siapa kok!.”, gumam Haris.

Hayun melihat ke luar sambil mencoba mengira siapa gerangan yang datang. “jangan-jangan…”, tebak Hayun dalam hati. “Tadi tamunya nyari Hayun gak Mas?”, Hayun kembali bertanya.

“Iya.”, jawab Haris singkat.

“Terus, kok Mas gak bangunin Hayun?” Protes Hayun.

Haris menarik napas panjang. “Tadi kamu terlihat kecapean jadi aku sengaja tidak membangunkanmu.”

“Tapi kan…” Hayun tampak kecewa.

“Kalau memang penting juga pasti datang lagi kesini.”, ujar Haris.

“Jadi Mas anggap ini tidak penting, gitu?”. Nada bicara Hayun mulai meninggi. “O.. tau sekarang Hayun. Tadi juga Mas sengaja kan tidak membangunkan Hayun?! Bisa gak sih Mas berpikir luas?! Toh itu juga bukan buat Hay……”

“Plak!”, Haris menampar pipi Hayun, membuat Hayun tak mampu lagi melanjutkan kata-katanya. ("Ah, lebay-lebay!", koment pembaca. "Terserahlah, mau lebay kek, mau kurang kek, orang aku yang nulis kok!", elak penulis.). Sejak pertama kali menikah, baru kali ini ia bersikap kasar seperti itu kepada Hayun. Haris sendiri sama sekali tidak memikirkan apakah anak-anaknya melihat perlakuannya atau tidak terhadap Hayun.

Hayun terdiam menatap tajam mata suaminya. Ia sama sekali tidak menyangka kalau suaminya tega memukulnya. Hayun tak mampu membendung air matanya. Ia berlari memasuki kamarnya sambil menutup pintu keras-keras. (“Lagu lama nich! Basi-basi!”, kata pembaca. “Biarin…!”, penulis cuek. Hehehe…).

Dalam hati, Haris benar-benar menyesal telah memukul istrinya. “Ada apa denganmu Haris?!”, tanyanya dalam hati.

25 November 1986, 23.00 WIB

(“Awas nih kalo basi lagi!”, ancam pembaca. “Suka-sukalah… orang aku yang nulis kok!”, balas penulis).

Haris duduk di atas ranjang di samping Hayun yang tengah pura-pura sibuk membaca sebuah buku, padahal pikiran Hayun sama sekali tidak tertuju kepada isi buku yang ia baca. Mereka berdua masih saling berdiam diri sejak tadi sore.

Hayun sengaja menunggu suaminya untuk bicara. Entah bicara apa apa sajalah. Menyapanya, meminta maaf kepadanya, atau merayunyalah. Namun suaminya tak jua enggan berucap.

“Hayun minta maaf!”, ucap Hayun tanpa menutup buku yang ia pegang. akhirnya Hayun yang meminta maaf terlebih dulu. Ia tidak sabar terus menunggu suaminya dalam kebisuan.
Haris tampak terkejut. Sebenarnya Haris sadar bahwa dirinyalah yang harusnya meminta maaf kepada istrinya. Namun rasa gengsi tampaknya begitu besar terpaku dalam dirinya. Dasar laki-laki!

“Mas yang salah”. Akhirnya Haris mengaku juga. “Mas yang harusnya minta maaf.”, lanjutnya.

“Mas sudah menyakitimu.”

“Hayun juga yang salah. Hayun tidak bilang sama Mas rencana Hayun.”, ujar Hayun. “Maaf, Hayun sudah menyakiti perasaan Mas.”

Haris merengkuh Hayun dalam dekapnya. (“Wah, FIKTOR nih”, ucap pembaca. “FIKIRAN TOKCER…”, balas penulis. Wkwkwkkk…) “Mas sungguh beruntung punya istri seperti kamu Dek.”, ujar Haris tanpa ia sadari. “Bukan hanya cantik paras, namun hatimu pun juga sangat cantik”, lanjutnya dalam batin. “Mas tidak ingin melihatmu bekerja terlalu keras, sedangkan Mas hanya berdiam diri”, aku Haris. “O, iya, Mas punya kabar gembira. Tadi habis maghrib teman Mas telpon, katanya ada tender buat Mas untuk membuat gambar rancangan sebuah desain rumah.”, Haris melepas dekapannya.

“O… jadi karena ada berita gembira itu terus gak marah lagi?!… hmmm”, gumam Hayun dalam hati. “Alhamdulillah, nanti Hayun akan bantu sebisa Hayun.”, ucap Hayun.

“Haruslah. Nanti kan Mas pasti haus, biar Mas gak usah jauh-jauh ambil minum, kamu yang bikin minum buat Mas… terus bantuin mijit…”, Gurau Haris. (“Awas, pembaca gak boleh FIKTOR!”, ancam penulis).

“Yee…!!!”, protes Hayun.

“Lho, kan itu kewajiban istri.”, Haris mencari pembenaran.

“Iya deh, tenang… entar habis itu gambarnya aku coret-coret….”, Hayun tak mau kalah.

“Wah, jahat nih!”. Dan mereka pun kembali tertawa.

Sejak itu Haris tak lagi menganggur. Tawaran pekerjaan yang datang dari rekan-rekan kerjanya terus mengalir. Hampir tiap hari Haris sibuk di rumah menggambar desain bangunan sesuai dengan yang diminta rekannya.

23 Mei ‏2010‏‏

Haris duduk di atas kursi roda di dalam kamarnya. Ia tampak asik memandang foto sepasang suami-istri yang terpampang di atas meja kamar tidurnya.

“Opa…. Rois juara kelas lagi Pa…!!!”, teriak seorang anak kecil umur 7 tahun memasuki kamar Haris. Anak kecil itu tanpa ragu duduk di pangkuan Haris sambil menunjukkan nilai Raportnya kepada Haris.

“U…, cucu Opa… , coba Opa lihat mana Raportnya?”, ucap Haris memangku anak kecil tersebut yang ternyata adalah cucunya.. “Waah… pinter nih cucu Opa!”, puji Haris kepada Rois, cucunya.

“Opa kangen sama Oma ya?”, Rois menebak apa yang dipikirkan kakeknya.

Haris hanya tersenyum mendengar pertanyaan cucunya. “Andaikan Hayun masih ada, ia pasti akan sangat senang melihat cucunya yang lucu.”, Ujar Haris dalam hati.

“Yah…”, panggil Rosyad yang tanpa disadari Haris tengah berdiri di sampingnya. (“Ah, gak masuk akal nih ceritanya. Kok tiba-tiba ada di samping Haris?! Gak masuk akal-gak masuk akal!”, protes pembaca. “Ya Elaa… protes mulu nih, dibilangin suka-suka penulis juga masih aja protes!”, bantah penulis.) “Rosyad juga kangen sama Ibu.”

“Buku apa itu Yah?”, Tanya Rosyad melihat sebuah buku di atas meja Haris.

“Buku diary Ibumu.”, jawab Haris tersenyum.

“Boleh lihat Yah?”, pinta Rosyad.

“Baca saja. Itu kenang-kenangan dari ibumu”, izin Haris.

Rosyad membuka halaman pertama buku tersebut. Sebuah identitas lengkap tertulis di situ.

Hobies : Baca yang disuka, nulis, makan, tidur, maen catur, “dengerin musik is the best activities”.
Motto : Tetaplah tersenyum ramah dalam kondisi apapun.

Rosyad membaca biodata ibunya yang tertulis di halaman depan. Ia kembali membuka halaman berikutnya.

Semua Tentang Kita

Waktu terasa semakin berlalu
Tinggalkan cerita tentang kita
Akan tiada lagi kini tawamu
Tuk hapuskan semua sepi di hati

Ada cerita tentang aku dan dia
Dan kita bersama saat dulu kala
Ada cerita tentang masa yang indah
Saat kita berduka
Saat kita tertawa

Teringat di saat kita tertawa bersama
Ceritakan semua tentang kita

“Itu salah satu lagu yang disukai ibumu dulu”, kata Haris.

“Iya, Rosyad tahu itu Yah. Siapa yang nyanyiin Yah? Peterpan?”. Tanya Rosyad.

“Iya, itu zaman Ayah dulu. Sekarang sudah tidak pernah muncul lagi.”, jelas Haris.

“Rois mau bilang Umi dulu Yah”, Rois turun dari pangkuan Haris, dan keluar kamar entah kemana.

Dan Rosyad masih asik membuka lembar diary berikutnya.

What Do You Want To Be?
1. Lulus S1 dengan nilai mumtaz.
2. Pandai berbahasa Arab dan Inggris.
3. Mengajar.
4. Bisa memasak.
5. Bisa menjahit.
6. Bisa berenang.
7. Bisa nyetir mobil.
8. Memberikan nafkah buat orangtua.
9. Membangun perusahaan besar yang menampung banyak tenaga kerja. Setidaknya bisa mengurangi jumlah TKW maupun TKI yang bekerja di luar negeri.
10. Menikah maksimal umur 24 tahun.
11. Merawat Ibu dan Bapak dengan sabar dan sayang.
12. Zakat tiap bulan.
13. Membangun sekolah gratis buat anak-anak miskin dan anak-anak jalanan.
14. Mempunyai suami yang sholeh dan mau menerimaku apa adanya. Kamu sendiri gimana?dah sholehah belum???!!!
15. Merukunkan keluarga.
16. Mempunyai anak minimal 6 anak. Hehehe…
17. Haji bersama orangtua dan suami.
18. Jadi Ibu dan istri yang baik.
19. Mempunyai rumah sendiri, membeli mobil. “Wah, tamak nih!”.
20. Rajin sholat Tahajjud, Dhuha, dan sholat Rawatib. “This is number one!”.
21. Hafal Qur’an.
22. Memberi hadiah buat keluarga dan keponakan-keponakan.

“Gak nyangka ya Yah, ternyata Ibu segitunya.”, ujar Rosyid yang hanya dibalas Haris dengan senyuman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar