AHLAN WA SAHLAN

Puisi adalah jiwa. Luapan perasaan. Dalam puisi ada cinta, nostalgia, ideologi, dan rasa syukur.


Tulislah apa yang ada di pikiranmu. Luapkan dalam coretan-coretan indahmu. Dan sepuluh tahun lagi mungkin kau akan tertawa atau bahkan mungkin coretan itu akan menjadi sebuah memori yang mahal. menjadi sebuah cerita tersendiri yang bisa dikenang. Yups, selagi kita masih bisa menulis, kenapa kita tidak meluapkannya dalam coretan-coretan? Meskipun coretan itu hanya bisa kita nikmati sendiri (hehe... menghibur diri ni?)

Pernah frustasi gara-gara karyamu gak pernah diterima? Nasiiib... nasiiib. Kalo iya, berarti kamu senasib dong ma aku. Asiiik ada temen senasib nih! Ceritanya aku lagi frustasi nih lianna (kan biasanya pake coz, sekarang ganti lianna ja biar lebih..... apa ya? lebih bernuansa kearaban gitu deh! Biar ga English mulu!) puisiku ga diterima di majalah yang pernah kukirim, akhirnya bikin blog sendiri ja deeeh. Yaah, nikmati sendirilah.

Jumat, 07 Mei 2010

Ujian Nasional.... Pentingkah?:

Akhirnya UN or Ujian Nasional berlalu. Tiap kali UN berlangsung....media massa pun tak mau kalah. Hampir semua media massa mencari berita yang berhubungan dengan Ujian Nasinal. Khususnya berita yang tergolong langka.

Jadi inget beberapa waktu lalu kita (aku and temen-temen) pernah sekilas diskusi or ngobrol-ngobrollah tentang Ujian Nasional. Themanya 'Ujian Nasional..... Pentingkah?". Yups, lumayan seru. Banyak perbedaan pendapat. Ada yang kontra, tapi ada juga yang pro dan menganggap Ujian Nasional tetap penting.

Kita sendiri sih belajar di pondok dengan kurikulum yang otonomi. Jadi, keberadaan Ujian Nasional sama sekali tidak mengganggu stabilitas pondok. Yups, jujur .... bersyukur banget aku ada di sini. Bisa merasakan ujian yang benar-benar ujian (ujian dalam arti sempit yaitu ujian pelajaran di kelas). Sama sekali tidak ada contek-mencontek, kerpek, atau kecurangan dalam bentuk apapun. Semua berkompetisi untuk mengukur diri secara sportif. Seberapa usaha kita dalam belajar, ya itulah yang kita dapatkan. Sebuah pendidikan kejujuran yang luar biasa. Langka. Sekali kau bermalas-malasan dan tidak belajar, jangan harap bisa menjawab soal. Karena soal yang diujikan bukanlah soal pilihan ganda yang bisa dijawab dengan peruntungan jika kau tidak bisa. Semua soal yang diujikan berupa uraian.

Yups, di sini aku bisa tahu seberapa besar aku bisa memaksimalkan diri dalam belajar. Jadi inget nih ketika aku duduk di bangku kelas 5 KMI. Ada seorang temenku dari anak 'adi' yang selalu mendapat nilai bagus ketika ulangan umum. Nilai ulangan umum bisanya bisa langsung dilihat di papan pengumuman ketika malam hari. Ketika aku begitu senang karena bisa mendapat nilai 8, dia mendapatkan nilai 9. Padahal untuk mendapatkan nilai 8 saja, aku merasa telah belajar semaksimal yang aku bisa. Yups, dia jauh lebih hebat dariku.

Ujian di sini jauh berbeda dengan ujian yang dulu pernah kualami sebelum masuk pondok. Dulu aku bisa dengan bebas memberi contekan atau meminta contekan. Ga sportif deh pokoknya. Ternyata budaya semacam itu sudah menjadi suatu hal yang biasa di lembaga-lembaga pendidikan. Bahkan untuk setingkat UN. Ujian yang dijadikan patokan untuk mengukur tingkat pendidikan di seluruh wilayah Indonesia. Yups, seakan menjadi sebuah rahasia umum. Kecurangan dalam ujian. Baik dengan cara mencontek, cari jawaban lewat sms, lewat guru, atau naudzubillah ada guru maupun pihak sekolah yang mengganti atau lebih tepatnya membetulkan lembar jawaban anak-anak sebelum diserahkan ke kantor Diknas.

Namun ternyata ada juga yang membenarkan tindakan tersebut dengan alasan Nilai Ujian Nasional tidak bisa dijadikan kualitas suatu lembaga pendidikan. Dan ditakutkan, jika ada lembaga pendidikan yang hancur nilai Ujian Naionalnya, maka mastarakat tidak akan mempercayai lembaga pendidikan tersebut, dan tidak lagi memasukkan anaknya ke situ. Padahal ukuran kualitas suatu lembaga pendidikan bukan hanya dilihat dari nilai Ujian Nasionalnya, namun yang lebih penting adalah pendidikan agama dan akhlak.

Tpi.. bagaimanapun hal itu tetap tidak bisa dibenarkan. Harusnya sebuah lembaga pendidikan berusaha dengan cara yang sportif. Pengutamaan pendidikan agama dan akhlak tidak bisa dijadikan pembenaran atas ketidak sportifan proses Ujian.

Yups, Ujian Nasional sendiri bahkan seakan menjadi momok yang menakutkan bagi para pelajar. Untuk sebuah nilai yang bagus, mereka halalkan segara cara. Tak mempedulikan proses. Yang terpenting lulus dan nilai tinggi. Bahkan setingkat melakukan hal-hal yang tidak rasionil, seperti meminum air yang sudah dido'ai, atau memakai pensil yang juga telah dido'ai.

Tentu saja hal-hal semacam itu memicu banyak kontroversi. Bahkan ada yang mengusulkan agar Ujian Nasional ditiadakan.

Yups, kembali ke diskusi kita. Ceritanya kita lagi saling membicarakan pro-kontra ada atau ditiadakannya Ujian Nasinal. Temen-temen yang basicnya anak pondokan sejak kecil cenderung pro ditiadakan Ujian Nasional. Alasannya karena Materi yang diujikan dalam Ujian Nasional hanya tiga materi yang cenderung umum. dan hal itu tidak bisa dijadikan patokan untuk mengukur kualitas pendidikan di Indonesia, apalagi banyaknya praktek-praktek kecurangan yang sudah menjadi budaya dan rahasia umum hampir di semua lembaga pendidikan. Selain itu Ujian Nasional juga memberikan dampak yang buruk bagi psikologi siswa. Ujian Nasional juga bisa berdampak buruk bagi lembaga pendidikan swasta maupun pondok-pondok pesantren. Lembaga pendidikan swasta maupun pesantren yang berada di bawah naungan pemerintah akan menjadi lebih menyibukkan diri dengan Ujian Nasional daripada hal-hal lainnya yang lebih penting, seperti pelajaran-pelajaran agama.

Mereka yang tetap setuju diadakannya Ujian Nasional pun punya alasan sendiri. Begini alasannya: Ujian Nasional sebenarnya baik. Prosedur cara pengawasan dan tata tertib yang diwajibkan pun juga bagus. Ujian Nasional sebenarnya juga punya tujuan yang baik, yaitu untuk mengukur kualitas pendidikan di seluruh wilayah Indonesia dengan satu ukuran stsndar yang sama. Hanya saja prosesnya yang belum benar. manusia-manusia yang menjalankan proses tersebut yang salah. Guru-guru yang belum menjalankan aturan yang ada. Begitu juga siswa-siswi. Jadi dalam hal ini yang perlu dibenahi adalah proses Ujian Nasional itu, juga orang-orang yang menjalankannya. Guru harus tetap memegang idealisme kejujuran. Guru juga harus benar-benar sungguh-sungguh dalam mengajari anak-didiknya. Tentu saja kesungguhan tersebut harus juga dibarengi dengan kesungguhan siswa-siswi. Semua berjibaku untuk terus belajar, berusaha, dan berdo'a sungguh-sungguh. Kesungguhan dalam belajar tersebut tentunya tidak hanya dikhususkan untuk materi-materi yang diujikan dalam Ujian Nasional saja, namun dalam seluruh mata pelajaran. Karena pada hakekatnya adanya ujian agar kita belajar, bukan belajar untuk ujian. Selain itu guru dan siswa juga harus tetap memegang teguh jiwa kejujuran. Jangan sampai ada siswa maupun guru yang bermental curang. Selain itu harus juga diberikan pemahaman kepada masyarakat dan wali-wali murid bahwa Nilai Ujian Nasional bukanlah satu-satunya hal yang bisa menjadi ukuran kualitas suatu sekolah.

Munculnya berbagai praktek kecurangan dalam Ujian Nasional menunjukkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia maasih jauh dari standar.bbaik standar akademik maupun standar kejiwaan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar