AHLAN WA SAHLAN

Puisi adalah jiwa. Luapan perasaan. Dalam puisi ada cinta, nostalgia, ideologi, dan rasa syukur.


Tulislah apa yang ada di pikiranmu. Luapkan dalam coretan-coretan indahmu. Dan sepuluh tahun lagi mungkin kau akan tertawa atau bahkan mungkin coretan itu akan menjadi sebuah memori yang mahal. menjadi sebuah cerita tersendiri yang bisa dikenang. Yups, selagi kita masih bisa menulis, kenapa kita tidak meluapkannya dalam coretan-coretan? Meskipun coretan itu hanya bisa kita nikmati sendiri (hehe... menghibur diri ni?)

Pernah frustasi gara-gara karyamu gak pernah diterima? Nasiiib... nasiiib. Kalo iya, berarti kamu senasib dong ma aku. Asiiik ada temen senasib nih! Ceritanya aku lagi frustasi nih lianna (kan biasanya pake coz, sekarang ganti lianna ja biar lebih..... apa ya? lebih bernuansa kearaban gitu deh! Biar ga English mulu!) puisiku ga diterima di majalah yang pernah kukirim, akhirnya bikin blog sendiri ja deeeh. Yaah, nikmati sendirilah.

Minggu, 02 Mei 2010

Sekilas Syafii Maarif

Tepatnya Selasa, 27 April 2010. Aku membaca Resonansi Republika yang ditulis oleh Ahmad Syafii Maarif, Salah seorang petinggi Muhammadiyah.

Enntah kenapa aku merasa janggal dengan Resonansi yang ia tulis. Ia banyak menyinggung tentang kebebasan berpikir. Seakan memutlakkan kebenaran hasil kebebasan berpikir. Padahal, akal dan cara berpikir manusia tidak mutlak benar. Akal manusia punya keterbatasan yang kadang tidak mampu dijangkaunya, baik disadari oleh manusia itu sendiri maupun tidak.

Syafii Maarif juga mengatakan bahwa kebebasan berpikirlah yang paling bertanggungjawab bagi mekar dan munculnya menara-menara peradaban sepanjang sejarah. Sebuah pertanyaan muncul di benakku, "Kebebasan berpikir yang bagaimana?", "bebas terserah akal manusia atau bebas berpikir tanpa mengindahkan batas-batas yang haq dan yang batil?", "lalu.... peradaban yang bagaimana yang dimaksud? Apakah peradaban yang tanpa moral seperti peradaban Barat yang mengagungkan kebebasannya? Kebebasan yang seakan tanpa batas. Kebebasan yang mengikis kebenaran.

Dalam artikel tersebut, ia juga mengusulkan agar merubah nama majlis tarjih dan tajdid dalam Muhammadiyah menjadi Majlis Tarjih dan Kemerdekaan Berpikir. Alasannya demi menghargai kerja keras intelektual para pendahulu. Mengapa Syafii Maarif lebih tertarik menggunakan istilah "Kemerdekaan berpikir" dari pada "Tajdid"? Kok berkesan liberal gitu ya? Bukankah istilah Majlis Tajdid itu juga merupakan ijtihad para tokoh Pendahulu Muhammadiyah?

Sore harinya, masih tanggal 27 April 2010, aku membuka laptop temenku. Ku klak-klik isinya. Subhanallah, Kok pas banget ya? Kutemukan sebuah artikel tentang tokoh Muhammadiyah yang satu ini. Yups, tentang Syafii Ma'arif dan beberapa kritik tentang pemikiran dan pernyataan-pernyataannya di media massa. Semua semakin membuatku yakin dan lebih tahu sedikitlah tentang pemikirannya.

Jujur, aku sebagai anggota Muhammadiyah (ga ada yang nanya neng!) merasa kecewa dengan pemikiran dan cara pandang sosok Syafii Maarif yang menurutku berkesan liberal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar