Tepatnya Selasa, 27 April 2010. Aku membaca Resonansi Republika yang ditulis oleh Ahmad Syafii Maarif, Salah seorang petinggi Muhammadiyah.
Enntah kenapa aku merasa janggal dengan Resonansi yang ia tulis. Ia banyak menyinggung tentang kebebasan berpikir. Seakan memutlakkan kebenaran hasil kebebasan berpikir. Padahal, akal dan cara berpikir manusia tidak mutlak benar. Akal manusia punya keterbatasan yang kadang tidak mampu dijangkaunya, baik disadari oleh manusia itu sendiri maupun tidak.
Syafii Maarif juga mengatakan bahwa kebebasan berpikirlah yang paling bertanggungjawab bagi mekar dan munculnya menara-menara peradaban sepanjang sejarah. Sebuah pertanyaan muncul di benakku, "Kebebasan berpikir yang bagaimana?", "bebas terserah akal manusia atau bebas berpikir tanpa mengindahkan batas-batas yang haq dan yang batil?", "lalu.... peradaban yang bagaimana yang dimaksud? Apakah peradaban yang tanpa moral seperti peradaban Barat yang mengagungkan kebebasannya? Kebebasan yang seakan tanpa batas. Kebebasan yang mengikis kebenaran.
Dalam artikel tersebut, ia juga mengusulkan agar merubah nama majlis tarjih dan tajdid dalam Muhammadiyah menjadi Majlis Tarjih dan Kemerdekaan Berpikir. Alasannya demi menghargai kerja keras intelektual para pendahulu. Mengapa Syafii Maarif lebih tertarik menggunakan istilah "Kemerdekaan berpikir" dari pada "Tajdid"? Kok berkesan liberal gitu ya? Bukankah istilah Majlis Tajdid itu juga merupakan ijtihad para tokoh Pendahulu Muhammadiyah?
Sore harinya, masih tanggal 27 April 2010, aku membuka laptop temenku. Ku klak-klik isinya. Subhanallah, Kok pas banget ya? Kutemukan sebuah artikel tentang tokoh Muhammadiyah yang satu ini. Yups, tentang Syafii Ma'arif dan beberapa kritik tentang pemikiran dan pernyataan-pernyataannya di media massa. Semua semakin membuatku yakin dan lebih tahu sedikitlah tentang pemikirannya.
Jujur, aku sebagai anggota Muhammadiyah (ga ada yang nanya neng!) merasa kecewa dengan pemikiran dan cara pandang sosok Syafii Maarif yang menurutku berkesan liberal.
Enntah kenapa aku merasa janggal dengan Resonansi yang ia tulis. Ia banyak menyinggung tentang kebebasan berpikir. Seakan memutlakkan kebenaran hasil kebebasan berpikir. Padahal, akal dan cara berpikir manusia tidak mutlak benar. Akal manusia punya keterbatasan yang kadang tidak mampu dijangkaunya, baik disadari oleh manusia itu sendiri maupun tidak.
Syafii Maarif juga mengatakan bahwa kebebasan berpikirlah yang paling bertanggungjawab bagi mekar dan munculnya menara-menara peradaban sepanjang sejarah. Sebuah pertanyaan muncul di benakku, "Kebebasan berpikir yang bagaimana?", "bebas terserah akal manusia atau bebas berpikir tanpa mengindahkan batas-batas yang haq dan yang batil?", "lalu.... peradaban yang bagaimana yang dimaksud? Apakah peradaban yang tanpa moral seperti peradaban Barat yang mengagungkan kebebasannya? Kebebasan yang seakan tanpa batas. Kebebasan yang mengikis kebenaran.
Dalam artikel tersebut, ia juga mengusulkan agar merubah nama majlis tarjih dan tajdid dalam Muhammadiyah menjadi Majlis Tarjih dan Kemerdekaan Berpikir. Alasannya demi menghargai kerja keras intelektual para pendahulu. Mengapa Syafii Maarif lebih tertarik menggunakan istilah "Kemerdekaan berpikir" dari pada "Tajdid"? Kok berkesan liberal gitu ya? Bukankah istilah Majlis Tajdid itu juga merupakan ijtihad para tokoh Pendahulu Muhammadiyah?
Sore harinya, masih tanggal 27 April 2010, aku membuka laptop temenku. Ku klak-klik isinya. Subhanallah, Kok pas banget ya? Kutemukan sebuah artikel tentang tokoh Muhammadiyah yang satu ini. Yups, tentang Syafii Ma'arif dan beberapa kritik tentang pemikiran dan pernyataan-pernyataannya di media massa. Semua semakin membuatku yakin dan lebih tahu sedikitlah tentang pemikirannya.
Jujur, aku sebagai anggota Muhammadiyah (ga ada yang nanya neng!) merasa kecewa dengan pemikiran dan cara pandang sosok Syafii Maarif yang menurutku berkesan liberal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar