AHLAN WA SAHLAN

Puisi adalah jiwa. Luapan perasaan. Dalam puisi ada cinta, nostalgia, ideologi, dan rasa syukur.


Tulislah apa yang ada di pikiranmu. Luapkan dalam coretan-coretan indahmu. Dan sepuluh tahun lagi mungkin kau akan tertawa atau bahkan mungkin coretan itu akan menjadi sebuah memori yang mahal. menjadi sebuah cerita tersendiri yang bisa dikenang. Yups, selagi kita masih bisa menulis, kenapa kita tidak meluapkannya dalam coretan-coretan? Meskipun coretan itu hanya bisa kita nikmati sendiri (hehe... menghibur diri ni?)

Pernah frustasi gara-gara karyamu gak pernah diterima? Nasiiib... nasiiib. Kalo iya, berarti kamu senasib dong ma aku. Asiiik ada temen senasib nih! Ceritanya aku lagi frustasi nih lianna (kan biasanya pake coz, sekarang ganti lianna ja biar lebih..... apa ya? lebih bernuansa kearaban gitu deh! Biar ga English mulu!) puisiku ga diterima di majalah yang pernah kukirim, akhirnya bikin blog sendiri ja deeeh. Yaah, nikmati sendirilah.

Minggu, 30 Mei 2010

29 Mei 2010, 16.30

Subhanallah, sore yang indah. Hujan baru saja reda. Suasana sore hari setelah hujan. Sejuk. Bunga dan rumput-rumput di taman depan kamarku tampak segar.

Aku duduk di kursi ruang tamu kamar DEMA. Kulihat anak-anak berlalu lalang dengan berbagai kegiatan mereka. Ada empat orang anak siap dengan sapu di tangan. Tampaknya mereka hendak bersih-bersih. Ada juga yang menenteng plastik. Hmmm.... anak perempuan memang paling suka jajan dan belanja.

Suara Aukha, temenku mengisi ruangan DEMA. Jum'at besok Ushuluddin Ujian MKDU. Aukha yang selalu nyingkuk belajar. Belajar sambil diiringi musik. Suara "Rapuh" Opick, terus "Rindu Ilahi" Dawai Hati, disusul nasyid "Ayah" Mayada. Kuikutan dengerin lagunya sambil sedikit menyimak apa yang dihafalin Au. Lagunya sendu...Jadi inget kakakku Masruhin. Kakakku Masruhin yang kontra banget dengan musik, meskipun nasyid atau sholawat.

Belajar dengan bersuara memang telah menjadi kebiasaan kami. Meski kadang ada juga sih yang merasa terganggu.

Jadi inget sebelum masuk sini. Ketika aku masih di rumah, cara belajarku pun dengan bersuara keras. Apalagi kalau hafalan. Dan biasanya jika aku salah mengucapkan, Bapak segera membetulkan. Pernah suatu ketika aku membaca dengan suara keras. Ketika itu ada teman-teman kakakku yang bermain ke rumah. Dan mereka mengejekku, " We... ada yang ceramah-ada yang ceramah!". Aku pun ngambek dan segera masuk ke dalam rumah. Hehe... anak kecil...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar