AHLAN WA SAHLAN

Puisi adalah jiwa. Luapan perasaan. Dalam puisi ada cinta, nostalgia, ideologi, dan rasa syukur.


Tulislah apa yang ada di pikiranmu. Luapkan dalam coretan-coretan indahmu. Dan sepuluh tahun lagi mungkin kau akan tertawa atau bahkan mungkin coretan itu akan menjadi sebuah memori yang mahal. menjadi sebuah cerita tersendiri yang bisa dikenang. Yups, selagi kita masih bisa menulis, kenapa kita tidak meluapkannya dalam coretan-coretan? Meskipun coretan itu hanya bisa kita nikmati sendiri (hehe... menghibur diri ni?)

Pernah frustasi gara-gara karyamu gak pernah diterima? Nasiiib... nasiiib. Kalo iya, berarti kamu senasib dong ma aku. Asiiik ada temen senasib nih! Ceritanya aku lagi frustasi nih lianna (kan biasanya pake coz, sekarang ganti lianna ja biar lebih..... apa ya? lebih bernuansa kearaban gitu deh! Biar ga English mulu!) puisiku ga diterima di majalah yang pernah kukirim, akhirnya bikin blog sendiri ja deeeh. Yaah, nikmati sendirilah.

Minggu, 15 November 2009

Coment

Barusan baca buku sekilas. Buku cerita yang sangat super-super ga bermutu banget. Memuakkan dan menjijikkan. Judulnya sih tentang cerita di pesantren gitu deh. Eh, judul lengkapnya apa ya? tau ah, lupa. Kalo ga salah sih kisah biru di pesantren. Rada lupa.

Baru membaca beberapa lembar judul pertama sudah berkesan negatif. jadi pengen marah. Asli ga ada manfaatnya banget. Bukannya sok ato gimana ya, tapi emang kenyataannya gitu. Penasaran, siapa sih penulisnya? So, kulangsung buka halaman belakang. Mo tahu biografi penulisnya.

Gubrak deh! Hmmm..... Ternyata penulisnya juga alumni pesantren. Lalu melanjutkan ke IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Miris, alumni IAIN. Pesantren lagi. Kok bisa-bisanya menulis cerita semacam itu. Kayak ga ada inspirasi lain aja. Benar-benar memuakkan. Menjijikkan. Kok bisa-bisanya hal semacam itu muncul di otaknya? Heran deh! Penerbitnya juga. Sama aja. Atau..... semua itu hanya untuk kepentingan uang? Ah, lagi-lagi uang.

Si penulis membuat alur cerita tentang pesantren. Nyeleneh banget. Pesantren digambarkan seperti bangunan yang kumuh, sistem yang ga jelas, pergaulan yang seenaknya antara yang bukan muhrim, kebiasaan yang ga pantes banget deh, dan segala hal yang secara tidak langsung memberikan citra buruk tentang kehidupan di pesantren. Kalau pandangan dan wawasan penulis tentang pesantren adalah seperti apa yang digambarkannya dalam bukunya.... ah, picik sekali! Jorok lagi! Si penulis benar-benar kurang wawasan tentang pesantren. atao kalau toh itu terinspirasi dari pengalamannya selama menjadi santri.... kasihan sekali..... (Ukh, kasar sekali ngomongnya....)

Sejenak terpikir di otakku. Apa sih maksudnya menulis cerita semacam itu? Kalau ada orang awam yang belum tahu bagaimana pesantren, dan membaca buku ini, kemungkinan besar hanya citra buruk tentang pesantren yang akan terbayang dan menjadi kesimpulan di memorinya. Atau.... jangan-jangan..... memang itulah tujuan penulis? (Duh, kok jadi suudzon terus gini sih!).

Hmmm.......
Selanjutnya bagi kamu-kamu para santri, tunjukkan fren bahwa pesantren tidak identik dengan bangunan yang kotor dan kumuh. Bukankah "annadhofatu minal iman?". Tunjukkan bahwa pesantren tidak selalu identik dengan sarung. Tunjukkan bahwa santri tidak gaptek. Selain bisa berbahasa Arab, memahami ilmu agama, santri juga harus bisa bahasa Inggris. Santri juga harus mahir dalam hal-hal yang berbau elektronik dan mesin-mesin. Juga tidak kalah dalam pengetahuan umum. Seperti Yahya Ayash misalnya..... dll. Tunjukkan bahwa Islam itu rohmah lil 'alam. Bukan seperti apa yang diberitakan media massa dan pandangan orang-orang barat selama ini. Dan yang tidak kalah penting, jagalah izzah dan identitas sebagai santri dimanapun kamu berada dengan tetap mentaati Allah, menahan hawa nafsu, juga menghindari pergaulan yang tidak jelas dan terlalu dekat dengan non muhrim. Heheeeee.... kok jadi banyak omong gini ya! '-'



Tidak ada komentar:

Posting Komentar