Hari apa ya? Entahlah. Mungkin sekitar tiga harian yang lalu. Ketika itu aku sedang sarapan pagi. Sambil makan, biasanya televisi di dapur dinyalakan. Yups, berita pagi pastinya.
Ada satu berita yang menarik, entah benar atau tidak. Media massa memberitakan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berniat menaikkan gaji para menteri dan kabinetnya mendatang. Satu kata terdetik di hati, "lucu", belum apa-apa sudah kepikiran tentang kenaikan gaji. Atau mungkin rencana selanjutnya adalah bagaimana agar modal selama kampanye kemaren cepat terbayar. Ets, ga boleh suudzon Luk......! Apa gaji yang selama ini mereka terima masih kurang? Kalau gaji berjuta-juta tiap bulan dirasa masih belum cukup, lalu bagaimana dengan rakyat yang hanya makan sehari sekali? Juga dengan mereka yang untuk mendapatkan sesuap nasi buat hari ini saja masih kesusahan?
Bencana gempa di Padang belum teratasi, pendidikan rakyat masih miris, kemiskinan..... apalagi, moral bangsa yang kian rusak, dan entah apalagi yang melanda Indonesia. Semuanya belum terselesaikan, ee......... sempat-sempatnya memikirkan kenaikan gaji.
Jadi ingat masa-masa kampanye dulu. Melihat bagaimana para calon pemimpin tersebut mempresentasikan proker-proker dan iming-iming janjinya yang super manis. Eh, setelah menjadi pemimpin, ternyata proker utama adalah kenaikan gaji kabinet. Semoga janji-janji dulu benar-benar akan dilaksanakan. Atau..... mungkin untuk melaksanakan proker-proker demi kemajuan bangsa Indonesia, langkah awalnya adalah menaikkan gaji kabinetnya dulu? Emmm.... Beginikah sosok pemimpin dan pemerintah kita saat ini?
Berbeda sekali dengan sosok-sosok pemimpin Islam pada zaman kekhalifahan dulu. Tak ada khalifah yang mau dan suka cita menerima jabatannya. Mereka merayakan jabatan baru itu dengan menangis di sepertiga malam terakhir seraya berdo'a memohon tuntunan dari Sang Kholiq. Sebab, di jiwa mereka, prinsip pembalasan itu masih bersemayam, bahkan meraung-raung meneriakkan slogan sejati, "Pemimpin itu hisabnya lebih berat di akhirat kelak!".
Bayangkan, betapa paniknya Umar bin Khottob ketika ia (tidak sengaja) memakan makanan dari Baitul Mal (Umar baru tahu dari asistennya setelah termakan habis) hinggabeliau harus mengorek-orek kerongkongan untuk mengeluarkan makanan yang sudah ditelannya. Walau sesungguhnya beliau berhak menerima jatah dari Baitul Mal dalam kapasitasnya sebagai khalifah, namun beliau tak mau mengkonsumsi sesuatu yang belum dikonfirmasikan kepada masyarakat yang dipimpinnya.
Begitu pula seorang Umar bin Abdul Aziz yang memilih untuk meniup mati lampu apinya, saat sang anak datang meminta nasihat pribadi. Umar akan menyalakannya kembali jika pertanyyaan sang anak, atau pekerjaannya berkaitan langsung dengan kepentingan negara.
Mampukah Indonesia memiliki sosok pemimpin seperti Umar bin Khottob, Umar bin Abdul Aziz, atau seperti Rasulullah SAW? Bisakah pemerintah meninggalkan budaya korupsi yang merupakan life style warisan ORBA yang sudah mendarah daging di jajaran birokrasi pusat dan daerah selama ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar