Ia berdiri di pinggir jalan seorang diri dengan tas punggung hitam tergantung di pundaknya. Jilbab putihnya berkibar tertiup angin.
Sebuah bis Sumber Kencono tampak di ujung jalan. Ia segera melambaikan tangan memberi isyarat kepada sopir atau mungkin kondektur bis bahwa ia ingin menjadi penumpang bis. Ia naiki tangga di pintu bis. Penuh. Mau tidak mau, ia harus berdiri sampai di terminal Ngawi. Suasana bis menjelang hari Raya Idul Fitri memang selalu penuh. Ia terdiam dan tak ingin bicara. Seorang laki-laki menawarkannya untuk duduk di atas tas ranselnya. Katanya, ransel itu hanya berisi pakaian, jadi tidak apa-apa kalau dijadikan tempat duduk. namun, ia sama sekali tidak berminat. Ia lebih memilih untuk berdiri di tengah bis sambil menatap pemandangan di luar bis. Jilbab putihnya masih terus berkibar tertiup angin yang masuk lewat jendela bis.
Ia kini berubah. Ia bukan lagi ia yang dulu polos. Keras perjalanan hidup memberikan warna dalam cara pandangnya, cara berpikirnya. Membuatnya menjadi keras. Ia yang dulu iba melihat para pengamen ..... kini rasa iba itu lenyap entah kemana. Ia yang dulu punya rasa kasihan melihat keringat para kondektur dan sopir bis, tukang becak, tukang ojek ...... kini rasa itu menguap. Ia yang dulu suka bertanya kepada sesama penumpang bis yang duduk di sebelahnya, kini menjadi patung dalam bis. Ia kini lebih suka bicara dengan alam, lewat tatapan matanya.
Belum terhapus dari memorinya, ketika ia menumpangi sebuah bis. Dan kondektur bis tampak sengaja tidak memberikan uang kembalian padanya. Dalam hati ia menunggu melihat reaksi sang kondektur bis. Hingga beberapa menit kemudian ia protes kepada sang kondektur. "Pak, mana uang kembaliannya?" Mungkin sang kondektur mengira ia tidak pernah naik bis. Atau entah apa yang dipikirkan sang kondektur tersebut. Sang kondektur memberikannya dua lembar dua ribuan. Ia tahu waktu itu tarif kendaraan umum memang naik. Ia juga tahu berapa tarif yang harus ia bayar. Dan Ia tahu pasti kembaliannya masih kurang. Ia masih setia menunggu. Namun, sang kondektur tampak santai berdiri di sampingnya. Kali ini kesabarannya telah pupus. Kembali ia protes, "Kurang ini pak!". Lalu sang kondektur kembali memberikannya selembar seribuan. Dan lagi-lagi ia protes, "Masih kurang ini Pak!", Kali ini ia benar-benar jengkel. Namun tanpa bicara.... sang kodektur akhirnya melengkapi seluruh kekurangan uang kembaliannya. Apakah sang kondektur hendak melakukan tindakan penipuan?
Ah, sangat disesalkan, sang kondektur tersebut telah menghapus rasa kasihannya kepada seluruh kondektur. Kini tak ada lagi do'a untuk setiap kondektur yang ia lihat dalam setiap perjalanannya. Rasa kasihan telah mati.
Sebuah bis Sumber Kencono tampak di ujung jalan. Ia segera melambaikan tangan memberi isyarat kepada sopir atau mungkin kondektur bis bahwa ia ingin menjadi penumpang bis. Ia naiki tangga di pintu bis. Penuh. Mau tidak mau, ia harus berdiri sampai di terminal Ngawi. Suasana bis menjelang hari Raya Idul Fitri memang selalu penuh. Ia terdiam dan tak ingin bicara. Seorang laki-laki menawarkannya untuk duduk di atas tas ranselnya. Katanya, ransel itu hanya berisi pakaian, jadi tidak apa-apa kalau dijadikan tempat duduk. namun, ia sama sekali tidak berminat. Ia lebih memilih untuk berdiri di tengah bis sambil menatap pemandangan di luar bis. Jilbab putihnya masih terus berkibar tertiup angin yang masuk lewat jendela bis.
Ia kini berubah. Ia bukan lagi ia yang dulu polos. Keras perjalanan hidup memberikan warna dalam cara pandangnya, cara berpikirnya. Membuatnya menjadi keras. Ia yang dulu iba melihat para pengamen ..... kini rasa iba itu lenyap entah kemana. Ia yang dulu punya rasa kasihan melihat keringat para kondektur dan sopir bis, tukang becak, tukang ojek ...... kini rasa itu menguap. Ia yang dulu suka bertanya kepada sesama penumpang bis yang duduk di sebelahnya, kini menjadi patung dalam bis. Ia kini lebih suka bicara dengan alam, lewat tatapan matanya.
Belum terhapus dari memorinya, ketika ia menumpangi sebuah bis. Dan kondektur bis tampak sengaja tidak memberikan uang kembalian padanya. Dalam hati ia menunggu melihat reaksi sang kondektur bis. Hingga beberapa menit kemudian ia protes kepada sang kondektur. "Pak, mana uang kembaliannya?" Mungkin sang kondektur mengira ia tidak pernah naik bis. Atau entah apa yang dipikirkan sang kondektur tersebut. Sang kondektur memberikannya dua lembar dua ribuan. Ia tahu waktu itu tarif kendaraan umum memang naik. Ia juga tahu berapa tarif yang harus ia bayar. Dan Ia tahu pasti kembaliannya masih kurang. Ia masih setia menunggu. Namun, sang kondektur tampak santai berdiri di sampingnya. Kali ini kesabarannya telah pupus. Kembali ia protes, "Kurang ini pak!". Lalu sang kondektur kembali memberikannya selembar seribuan. Dan lagi-lagi ia protes, "Masih kurang ini Pak!", Kali ini ia benar-benar jengkel. Namun tanpa bicara.... sang kodektur akhirnya melengkapi seluruh kekurangan uang kembaliannya. Apakah sang kondektur hendak melakukan tindakan penipuan?
Ah, sangat disesalkan, sang kondektur tersebut telah menghapus rasa kasihannya kepada seluruh kondektur. Kini tak ada lagi do'a untuk setiap kondektur yang ia lihat dalam setiap perjalanannya. Rasa kasihan telah mati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar