AHLAN WA SAHLAN

Puisi adalah jiwa. Luapan perasaan. Dalam puisi ada cinta, nostalgia, ideologi, dan rasa syukur.


Tulislah apa yang ada di pikiranmu. Luapkan dalam coretan-coretan indahmu. Dan sepuluh tahun lagi mungkin kau akan tertawa atau bahkan mungkin coretan itu akan menjadi sebuah memori yang mahal. menjadi sebuah cerita tersendiri yang bisa dikenang. Yups, selagi kita masih bisa menulis, kenapa kita tidak meluapkannya dalam coretan-coretan? Meskipun coretan itu hanya bisa kita nikmati sendiri (hehe... menghibur diri ni?)

Pernah frustasi gara-gara karyamu gak pernah diterima? Nasiiib... nasiiib. Kalo iya, berarti kamu senasib dong ma aku. Asiiik ada temen senasib nih! Ceritanya aku lagi frustasi nih lianna (kan biasanya pake coz, sekarang ganti lianna ja biar lebih..... apa ya? lebih bernuansa kearaban gitu deh! Biar ga English mulu!) puisiku ga diterima di majalah yang pernah kukirim, akhirnya bikin blog sendiri ja deeeh. Yaah, nikmati sendirilah.

Kamis, 10 Desember 2009

Suatu Hari Dalam Bis Sumber Kencono

Ketika itu aku sedang duduk di dalam bis. Yups, bis Sumber Kencono. Salah satu hal yang kusuka di antaranya adalah ketika aku seorang diri berada dalam bis. Baik ketika hendak pulang ke Lamongan, ataupun ketika kembali ke Pondok. (Banyak sih sebenernya. Sama penumpang-penumpang yang lain. Mestinya sih kalau seorang perempuan keluar rumah, harusnya bersama muhrimnya).Ada banyak pemandangan yang bisa kulihat. Melihat sang sopir bis, kondektur, tukang ojek di perempatan jalan yang selalu menyerbu setiap penumpang yang turun dari bis, para pengamen jalanan, penjual asongan (melihat doang, tapi kalo ditawari geleng-geleng terus. Hehee…), melihat orang-orang yang berlalu lalang atau yang hanya duduk-duduk di pinggir pasar Babat. Menatap rumah-rumah di pelosok daerah Padangan. Jalanan yang berliku di atas bukit nan rawan tikungan. Entah bagaimana jadinya kalau tiba-tiba sang sopir lalai, lalu bis yang kutumpangi masuk jurang. Naudzubillah.
Aku duduk di kursi paling depan dekat pintu masuk. Disamping seorang ibu yang belum tua, namun tidak muda juga. Sengaja kupilih tempat duduk paling depan agar aku bisa lebih leluasa melihat jalan depan. Sang ibu mengajakku bicara. Mau kemana dan bla bla….. Sampailah pada suatu pertanyaan “Lulusan ………. Itu kalau sudah selesai gitu, sudah langsung siap kerja?”
Ya, mungkin itulah salah satu gambaran pandangan masyarakat dan orang tua saat ini. Menyekolahkan anak-anaknya dengan harapan kelak setelah sekolah ataupun kuliah, sang anak bisa mendapatkan pekerjaan dengan mudah, gaji yang besar, menjadi ini dan itu. Orang tua rela mengeluarkan uang ratusan juta untuk menyekolahkan anaknya di kedokteran, dengan harapan kelak anaknya bias hidup mapan dengan gaji yang besar sebagai seorang dokter. Semua bermotif materi. Bukan karena rasa keterpanggilan untuk sebuah pengabdian. Yups, seakan kehormatan manusia diukur dengan materi dan jabatan. Semakin ia memiliki banyak uang, maka ia semakin terhormat. Semakin tinggi jabatannya, maka orang akan semakin menghormat padanya.
Benarkah kehormatan manusia diukur dengan harta dan jabatan yang dimilikinya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar