Seorang siswa duduk di kelas dengan kaki menjulur ke atas meja. Lalu datanglah seorang guru memasuki kelas. Sang guru hendak mengajar murid-muridnya. Namun siswa tersebut tak jua menurunkan kakinya dari atas meja. Sang guru pun memperingatkan siswa agar menurunkan kakinya dari atas meja. Namun, alangkah terkejutnya sang guru ketika mendengar ucapan siswa, "Anda berada di sini karena saya yang bayar!", Uuukh..... (heheee..... Itu cuman cerita fiksi doank). Kebayang ga sich kalau hal itu benar-benar terjadi dalam realita. Naudzubillah.
Kalo yang ini realita, "Sejumlah guru bersama keluarganya menginap di gedung DPRD Slawi, Tegal, Jawa Tengah." Ngapain? "Protes dan menuntut agar dilakukan revisi draf RPP pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS 2010" (baca Republika edisi Senin, 11 januari 2010).
Jadi inget liburan yang lalu. Aku sempat berdiskusi dengan ibuku di rumah tentang guru. Kubilang "'guru' sekarang seakan dijadikan suatu pekerjaan. Tempat mencari uang."
"Terus guru-guru itu mau makan apa kalau ga dibayar? Kalau mereka sudah kaya, pasti ga mau dibayar" Jawab beliau. Hehee.... membela guru nich ceritanya.
Melihat realita yang terjadi di sekolah-sekolah saat ini, semakin banyaknya lembaga pendidikan, menuntut mereka untuk bersaing, baik dalam hal prestasi maupun kuantitas murid. Setiap sekolah berlomba-lomba untuk mendapatkan murid. Seakan memberi kesan bahwa sekolahlah yang membutuhkan murid, bukan murid yang butuh sekolah ataupun guru. Dengan jumlah murid yang banyak, otomatis dana BOS akan banyak pula. Banyaknya dana BOS yang mengalir di sekolah, mungkin juga berpengaruh bagi jumlah uang yang masuk ke kantong guru.
Persaingan antara sekolah memang haruslah ada. Namun persaingan dalam hal yang positif tentunya, dan dengan cara-cara yang benar dan sportif. Jika kualitas sekolah baik, kemungkinan besar masyarakat pun akan memberikan kepercayaan yang besar. Begitu pula sebaliknya. Jika memang kualitas sekolah tidak baik, lama-lama masyarakat pun akan meninggalkannya. Persaingan antar sekolah, baik dalam hal kualitas maupun kuantitas, jangan sampai berdampak atau memberikan kesan seolah-olah sekolah dan gurulah yang membutuhkan murid. Bagaimanapun, sekolah harus tetap mempunyai haibah dan wibawa, bahwa muridlah yang membutuhkan guru. Murid yang membutuhkan sekolah. Sekolah harus tetap menjaga prinsip dan identitasnya. Jangan sampai sekolah kehilangan prinsip hanya karena ada wali murid yang memberikan bantuan lebih banyak, kemudian sekolah tidak berani bertindak tegas terhadap anaknya. Sekolah juga harus tegas dalam menerapkan disiplinnya. Jangan sampai takut kehilangan murid.
Dan yang paling penting, jangan sampai ada kesan guru membutuhkan bayaran dari murid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar