AHLAN WA SAHLAN

Puisi adalah jiwa. Luapan perasaan. Dalam puisi ada cinta, nostalgia, ideologi, dan rasa syukur.


Tulislah apa yang ada di pikiranmu. Luapkan dalam coretan-coretan indahmu. Dan sepuluh tahun lagi mungkin kau akan tertawa atau bahkan mungkin coretan itu akan menjadi sebuah memori yang mahal. menjadi sebuah cerita tersendiri yang bisa dikenang. Yups, selagi kita masih bisa menulis, kenapa kita tidak meluapkannya dalam coretan-coretan? Meskipun coretan itu hanya bisa kita nikmati sendiri (hehe... menghibur diri ni?)

Pernah frustasi gara-gara karyamu gak pernah diterima? Nasiiib... nasiiib. Kalo iya, berarti kamu senasib dong ma aku. Asiiik ada temen senasib nih! Ceritanya aku lagi frustasi nih lianna (kan biasanya pake coz, sekarang ganti lianna ja biar lebih..... apa ya? lebih bernuansa kearaban gitu deh! Biar ga English mulu!) puisiku ga diterima di majalah yang pernah kukirim, akhirnya bikin blog sendiri ja deeeh. Yaah, nikmati sendirilah.

Minggu, 17 Januari 2010

Rosyidah

Yups, In this moment I will try to write what is in my mind. And I want to try and study to write an unfact story. Here is................



Namanya Rosyidah

Jarum jam dinding menunjuk ke angka 11. Namun, malam ini Ia tak jua terpejam. Ia masih merenung membaca lembaran-lembaran data yang dipegangnya. Belakangan ini ia sibuk dengan tugas rahasianya. Bahkan ibunya sendiri pun tak diizinkan untuk mengetahui apa kegiatannya di luar rumah selain kuliah.
Rosyidah, begitu ia dipanggil. Mahasiswi semester 7 fakultas Tarbiyah di salah satu universitas Indonesia. Tepatnya di Lamongan. Sengaja ia mendaftarkan diri di fakultas Tarbiyah. Bukan karena tertarik dengan pekerjaan yang menjanjikan setelah kuliah, namun ia ingin mengetahui lebih jauh tentang dunia pendidikan, mengingat ia sebagai seorang wanita yang cenderung mempunyai fitroh untuk mendidik dibandingkan dengan laki-laki, yang kelak bertanggungjawab akan anak- anak dan generasi-generasi penerusnya.
Masih teringat di memorinya moment awal pertama ia masuk kuliah. “Mahasiswa?” Tanya seorang pria kepadanya. Mungkin mahasiswa juga. Ia sendiri juga baru kali ini melihatnya.“Ya?”, jawabnya seolah bertanya adakah sesuatu yang salah dengan dirinya. “Kampungan sekali”, ucap pria tersebut kepadanya, lantas melangkah pergi entah kemana.
Mungkin penampilan Rosyidah tampak kampungan di mata orang-orang. Ia tak pernah lepas dengan jilbab lebar dan bajunya yang kaffah, menutup seluruh auratnya dan tidak memperlihatkan lekuk tubuhnya sedikitpun.. Kala mayoritas mahasiswi mengenakan jeans dan berbagai fashion-fashion yang baru, Ia sama sekali tidak tertarik dan tetap tampil beda dengan busananya.
Rosyidah, anak bungsu dari enam bersaudara. Namun ia merasa seperti hidup sebatangkara tanpa saudara. Meski ia memiliki lima orang kakak, namun ia tak merasa dekat dengan kakak-kakaknya. Bahkan cenderung seperti orang asing. Mungkin karena jarak usia antara dia dengan kakak-kakaknya terpaut jauh. Ya, jarak antara ia dengan kakaknya yang paling muda saja terpaut 12 tahun. Atau mungkin salah satu penyebabnya karena ia dengan kakak-kakaknya memang bukanlah saudara kandung. Ia dengan tiga kakaknya berbeda ibu satu ayah. Sedang dengan dua kakaknya yang lain berbeda ayah satu ibu. Terkadang ia merasa seakan seperti nabi Yusuf. Apalagi ia tahu dan merasa paling diperhatikan dan disayang oleh kedua orang tuanya sejak kecil dibanding saudara-saudaranya yang lain. Kadang ia merasa iri melihat teman-temannya yang begitu akrab bercanda dan bermain dengan kakak atau adiknya. Ia juga ingin merasakan indahnya bercanda dengan kakak-kakaknya.
Kini seluruh saudaranya telah berkeluarga. Tinggal ia sendiri yang masih setia menemani Ibunya sebatangkara di rumah. Meski kadang ia harus keluar rumah, meninggalkan ibunya seorang diri karena tugas kuliah maupun untuk tugas lainnya.
Untungnya ia mempunyai seorang sepupu yang seumuran dengannya. Temannya bermain dan bercanda sejak kecil. Dek wahyu, begitu ia biasa memanggilnya. Lengkapnya Wahyu Kurniawan. Namun, kini semua memiliki kehidupan masing-masing. Setelah lulus SD, orangtua Wahyu bercerai. Dan ia memilih ikut ibunya tinggal di Surabaya. Sejak itu Rosyidah dan Wahyu, saudara sepupunya tak pernah lagi berkomunikasi, karena jarak yang jauh.
Kini Ia sendiri tidak tahu dimana saudara sepupunya itu berada. Bahkan orangtua Wahyu sendiri pun tak mengetahui keberadaanya dan tak ingin tahu, seakan telah merelakan kepergiannya.
Terakhir kali ia melihatnya empat tahun yang lalu di sebuah Lembaga Pemasyarakatan karena kasus Narkoba.

Di Sebuah Lembaga Pemasyarakatan, Empat tahun Silam

Ia benar-benar terkejut mendengar saudara sepupunya ditahan di sebuah Lembaga Pemasyarakatan karena kasus Narkoba.
Pukul delapan pagi Rosyidah sampai di Lembaga Pemasyarakatan tersebut. Ia membaca jadwal jam kunjungan tahanan yang tertempel di tembok depan Lapas. Pukul sembilan baru dibuka. Sambil menunggu waktu, ia duduk di atas bangku yang tersedia di halaman Lapas. Beberapa narapidana tampak keluar membersihkan halaman Lapas di bawah komando salah seorang aparat keamanan yang berseragam lengkap. Rosyidah menyaksikan pemandangan tersebut. Berharap mungkin salah satu di antara narapidana tersebut adalah Wahyu, saudara sepupunya. Ia juga melihat beberapa orang berseragam sama dengan aparat keamanan tersebut baru datang memasuki halaman Lapas.
Rosyidah mendekati sang Aparat keamanan tersebut.
“Pagi Pak” Salam Rosyidah.
“Ya”
“Bukanya jam sembilan ya pak?” Sebuah pertanyaan keluar dari mulut Rosyidah. Pertanyaan basa-basi, karena sebenarnya ia telah tahu jawabannya.
“Ya. Satu jam lagi”
Sejenak suasana kembali hening.
“Kalau jam segini biasanya para narapidana kegiatannya apa ya Pak?” Kembali Rosyidah melontarkan pertanyaan. Kali ini memang ia belum tahu. “Bapak sendiri disini dari jam berapa sampai jam berapa?” Rosyidah masih terus bertanya.
Satu jam berlalu. Pintu loket pembelian karcis kunjungan terbuka. Tiap orang dikenai biaya Rp.5.000. Sejenak terdetik di pikiran Rosyidah. Kasihan sekali jika keluarga narapidana hanya mampu membeli makanan sehari sekali dan tak punya uang untuk membayar karcis. Mereka tidak bisa menjenguk keluarganya yang ditahan. Kenapa ada system pembayaran karcis semacam ini? Apakah hal semacam ini juga telah ditetapkan oleh Undang-Undang? Ah, kok kayak di bioskop aja. Kayak di tempat pariwisata juga harus bayar karcis.
Rosyidah menunggu beberapa menit di ruang penerimaan tamu yang cukup ramai. Ia duduk di atas lantai bersama beberapa pengunjung lainnya, karena bangku-bangku yang disediakan tidak mencukupi.
Ia melihat sosok pemuda yang tak asing baginya memasuki ruang penerimaan tamu. Ya, ia benar-benar Wahyu, saudara sepupunya. Pemuda tersebut tampak mencari-cari sekeliling. Mungkin ia mencari siapa gerangan yang datang menjenguknya.
“Wahyu?” Rosyidah menghampirinya.
Pemuda itu menoleh. Ia tampak terkejut melihat kedantangan Rosyidah.
“Mbak?” Ucapnya.
Rosyidah hanya bisa mematung menatap saudara sepupunya. Ia tak mampu membendung air matanya. Sebuah kebahagiaan bisa kembali menatap saudara sepupunya, teman bermainnya di masa kecil yang sudah ia anggap seperti adiknya sendiri setelah bertahun-tahun tak pernah bertemu.
Lebih terkejut lagi ketika ia memperhatikan penampilan saudara sepupunya tersebut. Wahyu yang dulu kecil jauh berbeda dengan Wahyu yang ada di hadapannya saat ini. Postur tubuhnya kini jauh lebih tinggi darinya. Padahal dulu tinggi badan mereka hampir sama. Rambutnya cukup panjang dengan cat keemasan di ujungnya. Sebuah anting terpasang di telinga kirinya. Dan entah gambar apa yang terukir di bahu kirinya.
Wahyu mengulurkan tangan mengajaknya bersalaman. Rosyidah sempat bingung juga, mengingat saudara sepupunya tersebut bukanlah muhrimnya. Rosyidah menjulurkan kedua tangannya.
“Bukan muhrim dek” Ujar Rosyidah.
Wahyu tampak terkejut melihat sikap Rosyidah.
“Emang kenapa mbak? Segitunya…. Sejak kapan jadi kayak gitu? Masa sama adek sendiri kok ga boleh jabat tangan?”, tanya Wahyu. “Ga usah grogi gitulah mbak sama aku”, lanjutnya.
“Grogi-grogi, sembarangan.”Jawab Rosyidah. “Kita ga muhrim dek”, lanjutnya. Wahyu masih belum berubah. Dia masih seperti dulu. Masih tetap bisa bercanda meski dalam keadaan menyedihkan.
Sejenak tiada yang bicara.
“Wahyu minta maaf Mbak, sudah mencoreng nama keluarga”.
Rosyidah hanya terdiam menatap Wahyu. Membuat Wahyu sedikit salah tingkah.
“Eh, gimana kabar Ibu? Sehat kan Mbak?” Wahyu mencoba mencairkan suasana.
“Kok pakai anting segala sih dek?” Tanya Rosyidah seakan tak menanggapi ucapan Wahyu.
“Oh, ini” Wahyu segera melepas antingnya. “Biasa mbak, anak muda”, lanjutnya.
“Rambutnya juga. Ngapain dicat kayak gitu?” Kembali Rosyidah bertanya.
Wahyu hanya menyeringai.
“Coba mbak lihat gambar apa di bahu kamu itu” Pinta Rosyidah.
“Apa sih mbak” Wahyu mencoba mengelak menutupi tato di bahu kirinya dengan lengan kaos pendeknya.
“Masih sholat ga dek?” Rosyidah memberondong wahyu dengan pertanyaan-pertanyaannya.
Wahyu hanya terdiam.
“Kok diam?” Rosyidah bisa menebak. Wahyu telah meninggalkan sholat. Kasihan, inilah contoh korban orangtua yang tidak memperhatikan anaknya.
“Kamu itu sebenarnya ganteng Dek, tapi sayang, bertato, pakai anting-anting, disemir lagi rambutnya. Ga jadi deh gantengnya.” Ujar Rosyidah.
“Sejak kapan mbak bisa ngomong kayak gitu?” Wahyu hanya nyengir. “Emang tahu ganteng itu gimana?” Candanya.
“Menurut kamu?” Rosyidah balik bertanya.
“Ah, mbak ini…. Ditanya kok malah balik nanya”.
“Lha, kan mbak mau tahu pendapat kamu”
“Kalau menurutku yaa…. Seperti aku…..?”
“Yeh, Grnyaa…..” Protes Rosyidah.
“Bukan GR Mbak, kenyataan”Wahyu membela diri. Sementara itu, Rosyidah hanya terdiam. Ia tak ingin berdebat panjang.
“Mbak udah selesai belum sih sekolahnya?” Tanya Wahyu
“Belum” Jawab Rosyidah singkat.
“Berapa tahun lagi?”
“Berapa tahun lagi ya? Empat tahun lagi kayaknya”
“Hah? Empat tahun? Ya elaa…. Lama banget” Wahyu menertawakan Rosyidah. “Terus kapan nikahnya Mbak? Awas lho, entar jadi perawan tua aja!” Goda Wahyu.
“Enak aja!”Protes Rosyidah. “Itu sih udah ditentukan. Kalau udah waktunya juga pasti datang kok.”
“Iya-iya… becanda doang…..”
@@@@

“Rosyidah, hp kamu berbunyi tu dari tadi!” Panggil Ibunya dari ruang tengah menyadarkannya dari lamunan.
Ia segera meraih hp yang tergeletak di atas ranjang tempat tidurnya.
“Assalamu’alaikum”, salam Rosyidah.
“Iya Pak.” Lanjut Rosyidah. “Besok pagi Pak?”, “Baik Pak”, “Sudah semua Pak”, “Amin”, “Wa’alaikumussalam”. Rosyidah kembali menutup telepon genggamnya.
Rosyidah merebahkan diri di atas ranjang. Memejamkan mata sambil merenung. Belakangan ini ia tampak tegang.

@@@@

Sebuah Penyergapan

“Jangan bergerak! Anda sudah terkepung!”, teriak salah seorang dengan kaos penutup muka yang hanya menyisakan lubang untuk penglihatannya, dengan pakaian serba hitam sambil menodongkan pistol ke arah seorang Pria.
Namun Pria tersebut tak kalah gesit. Ia keluarkan pistol dari balik jasnya dan dalam hitungan detik menekan pelatuknya tepat mengenai tubuh pria berpakaian serba hitam tersebut. Tapi, sungguh malang nasib Pria tersebut, Baru berlari beberapa langkah sebuah peluru menembus punggungnya. Ia segera menoleh ke belakang, namun tubuhnya tak kuat untuk berdiri. Ia pun roboh di tempat.
Seorang dengan pakaian dan penutup muka serba hitam yang lain, penembak pria tersebut berlari menghampirinya, lalu memegang dan mengangkat kepala pria tersebut di bahunya.
“Rosyidah, hati-hati! Jangan mendekatinya!” Teriak rekannya memperingatinya. Namun teriakan itu tak dihiraukannya.

@@@@

‘Seorang Gembong Mafia Pengedar Narkotika dan Obat-Obat Terlarang Tewas ditembak Anggota Laskar Jihad’, Rosyidah membaca judul besar yang menjadi headline harian pagi itu. “Setelah beberapa kali lolos dari kejaran Aparat hukum, akhirnya Wahyu Kurniawan, seorang gembong mafia dan bos besar pengedar narkotika dan obat-obat terlarang tewas ditembak oleh anggota Laskar Jihad”, lanjut Rosyidah membaca Koran yang dibacanya.
“Kenapa kamu merahasiakan kepada Ibu kalau kamu ikut menjadi anggota Laskar Jihad?”Tanya Ibu Rosyidah yang duduk di sampingnya, “Kenapa baru bilang sekarang?”
Rosyidah hanya terdiam. Dalam hati ia merasa bersalah kepada ibunya. Ia tidak tahu harus bilang apa kepada ibunya.
“Ibu minta kamu keluar dari kelompok itu!”Lanjut ibunya. “Ibu takut kalau terjadi apa-apa dengan kamu”. Ibu Rosyidah tak mampu membendung air matanya. “Ibu tidak mau kehilangan kamu.”
“Ya Bu. Saya minta maaf. Saya tahu Ibu pasti tidak akan mengizinkan saya untuk ikut bergabung bersama Laskar Jihad, makanya saya sengaja merahasiakannya. Saya sudah bilang kepada teman-teman kalau saya mau keluar.”Ucap Rosyidah kepada ibunya. “Maaf Bu, masih ada lagi satu rahasia yang kusembunyikan dari Ibu. Akulah yang menembak Dek Wahyu”, Lanjut Rosyidah dalam hatinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar