AHLAN WA SAHLAN

Puisi adalah jiwa. Luapan perasaan. Dalam puisi ada cinta, nostalgia, ideologi, dan rasa syukur.


Tulislah apa yang ada di pikiranmu. Luapkan dalam coretan-coretan indahmu. Dan sepuluh tahun lagi mungkin kau akan tertawa atau bahkan mungkin coretan itu akan menjadi sebuah memori yang mahal. menjadi sebuah cerita tersendiri yang bisa dikenang. Yups, selagi kita masih bisa menulis, kenapa kita tidak meluapkannya dalam coretan-coretan? Meskipun coretan itu hanya bisa kita nikmati sendiri (hehe... menghibur diri ni?)

Pernah frustasi gara-gara karyamu gak pernah diterima? Nasiiib... nasiiib. Kalo iya, berarti kamu senasib dong ma aku. Asiiik ada temen senasib nih! Ceritanya aku lagi frustasi nih lianna (kan biasanya pake coz, sekarang ganti lianna ja biar lebih..... apa ya? lebih bernuansa kearaban gitu deh! Biar ga English mulu!) puisiku ga diterima di majalah yang pernah kukirim, akhirnya bikin blog sendiri ja deeeh. Yaah, nikmati sendirilah.

Senin, 25 Januari 2010

Sebuah Perjalanan di Grobogan, Lumajang.

"Klaka", Begitu kulihat tulisan itu, aku dan Bapak segera siap-siap untuk turun dari bis.

Kuturuni bis. Bis apa ya namanya waktu itu? Entahlah. Lupa. Gerimis belum juga berhenti. Aku pun berteduh bersama Bapak di sebuah Gardu. Tak lama kami berteduh karena hujan segera reda.

Tepat ketika kami membutuhkan bantuan untuk menanyakan alamat yang kami tuju, seseorang lewat dan menunjukkan tempat yang hendak kami tuju.

Kami memasuki desa, lewati rumah demi rumah. Kami melihat sebuah masjid kecil dengan lantai semen yang tampak tak terurus. Ketika itu telah masuk waktu ashar, namun tak seorang pun datang ke situ. Entah kemana dan sedang apa penduduk desa itu. Aku dan Bapak berdua melaksanakan sholat Ashar, lalu beristirahat di masjid itu sejenak.

Terlintas di pikiranku, kenapa tidak ada muadzin? Mana para jamaah? Apakah tidak ada ta'mir masjid?

Yups, itulah sekilas perjalananku menuju rumah Kakakku di Grobogan, Lumajang.

Mungkin masih banyak daerah-daerah yang belum tersentuh oleh Islam dengan benar. Juga daerah-daerah dengan kondisi pendidikan yang masih minim sekali.

Ya, kebanyakan orang lebih memilih mengajar di sekolah-sekolah maupun universitas-universitas besar di kota daripada berjuang di pelosok-pelosok desa.

Entah kenapa kala itu terbersit di pikiranku untuk berjuang di tempat semacam itu. mambangun sebuah lembaga pendidikan gratis di pelosok desa untuk anak-anak desa dan anak-anak miskin. membangun sebuah perpustakaan umum di situ. Menciptakan generasi-generasi militan yang tak kalah dengan anak-anak yang tinggal di kota, dengan tetap memiliki idealisme yang kuat, namun juga tidak gaptek. Ets, bukan maksudnya membedakan anak desa dengan anak kota lho!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar