Mataku tertuju pada satu sosok yang tergambar dalam dalam album foto di tanganku. My lovely brother. Sosok pemuda yang lincah dan penuh kerja keras.Mungkin pendidikan keluarga sedikit banyak memberikan pengaruh padanya. Tak pernah kulihat ia memegang ataupun menghisap rokok seperti teman-temannya, kecuali sekali saja, ketika istrinya hendak melahirkan anak pertamanya. Ia berjalan bolak-balik sambil merokok menanti kelahiran anak pertamanya. Sejak kapan bisa merokok? kapan belajar merokok? Kurasa waktu itu ia sedang stress berat. Hmm.... bukannya berdo'a malah mondar-mandir.
Aku salut kepadanya. pagi hingga siang, ia kayuh sepeda sambil membunyikan "kliningan" yang dipegangnya, agar orang-orang, khususnya anak-anak tahu bahwa ia menjual es lilin. Siang hingga sore, ia siap dengan seragam dan buku-bukunya untuk belajar di sekolah. Sama sekali tidak merasa gengsi ataupun malu sebagai penjual es lilin. Jauh berbeda dengan pemuda jaman sekarang yang bersikap manja tanpa kemandirian.
Masih teringat jelas olehku kala aku mendapat hadiah uang Rp 100 darinya karena aku menjadi juara pertama lomba cerdas cermat Matematika yang ia adakan. Juga ketika ia mengajakku jalan-jalan sore naik motor, melihat pemandangan sawah, sambil sesekali ngebut.
"Kak, jangan kenceng-kenceng!" Ingatku yang duduk di belakangnya.
"Udah, tenang saja. Tidak usah tegang duduknya." Ujarnya menenagkanku.
"Takuut...." Kembali aku berteriak mengingatkannya.
"Takut kok senyum-senyum." Balasnya. Kurasa ia mengawasiku dari kaca spion.
Tak terlupa olehku kala aku berebut channel televisi dengannya. Dan akulah yang selalu menang. Juga ketika aku tanpa sengaja menjatuhkan jam tangannya ke dalam bak mandi hingga rusak, namun ia sama sekali tidak memarahiku. Atau ketika ia menyambutku saat aku pulang sekolah selesai ujian.
"Bagaimana ujiannya? Kok cepet sekali pulangnya? Bisa ga? kalau ujian ga usah buru-buru keluar. Diperiksa lagi jawabannya. Meskipun sudah selesai, ga usah keluar duluan. Tunggu saja di kelas sampai bel berbunyi. Diteliti lagi jawabannya," Pesannya panjang lebar.
Aku salut kepadanya. pagi hingga siang, ia kayuh sepeda sambil membunyikan "kliningan" yang dipegangnya, agar orang-orang, khususnya anak-anak tahu bahwa ia menjual es lilin. Siang hingga sore, ia siap dengan seragam dan buku-bukunya untuk belajar di sekolah. Sama sekali tidak merasa gengsi ataupun malu sebagai penjual es lilin. Jauh berbeda dengan pemuda jaman sekarang yang bersikap manja tanpa kemandirian.
Masih teringat jelas olehku kala aku mendapat hadiah uang Rp 100 darinya karena aku menjadi juara pertama lomba cerdas cermat Matematika yang ia adakan. Juga ketika ia mengajakku jalan-jalan sore naik motor, melihat pemandangan sawah, sambil sesekali ngebut.
"Kak, jangan kenceng-kenceng!" Ingatku yang duduk di belakangnya.
"Udah, tenang saja. Tidak usah tegang duduknya." Ujarnya menenagkanku.
"Takuut...." Kembali aku berteriak mengingatkannya.
"Takut kok senyum-senyum." Balasnya. Kurasa ia mengawasiku dari kaca spion.
Tak terlupa olehku kala aku berebut channel televisi dengannya. Dan akulah yang selalu menang. Juga ketika aku tanpa sengaja menjatuhkan jam tangannya ke dalam bak mandi hingga rusak, namun ia sama sekali tidak memarahiku. Atau ketika ia menyambutku saat aku pulang sekolah selesai ujian.
"Bagaimana ujiannya? Kok cepet sekali pulangnya? Bisa ga? kalau ujian ga usah buru-buru keluar. Diperiksa lagi jawabannya. Meskipun sudah selesai, ga usah keluar duluan. Tunggu saja di kelas sampai bel berbunyi. Diteliti lagi jawabannya," Pesannya panjang lebar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar