AHLAN WA SAHLAN

Puisi adalah jiwa. Luapan perasaan. Dalam puisi ada cinta, nostalgia, ideologi, dan rasa syukur.


Tulislah apa yang ada di pikiranmu. Luapkan dalam coretan-coretan indahmu. Dan sepuluh tahun lagi mungkin kau akan tertawa atau bahkan mungkin coretan itu akan menjadi sebuah memori yang mahal. menjadi sebuah cerita tersendiri yang bisa dikenang. Yups, selagi kita masih bisa menulis, kenapa kita tidak meluapkannya dalam coretan-coretan? Meskipun coretan itu hanya bisa kita nikmati sendiri (hehe... menghibur diri ni?)

Pernah frustasi gara-gara karyamu gak pernah diterima? Nasiiib... nasiiib. Kalo iya, berarti kamu senasib dong ma aku. Asiiik ada temen senasib nih! Ceritanya aku lagi frustasi nih lianna (kan biasanya pake coz, sekarang ganti lianna ja biar lebih..... apa ya? lebih bernuansa kearaban gitu deh! Biar ga English mulu!) puisiku ga diterima di majalah yang pernah kukirim, akhirnya bikin blog sendiri ja deeeh. Yaah, nikmati sendirilah.

Minggu, 31 Januari 2010

Zaid

“Assalamu’alaikum”, Salam Zaid sambil membuka pintu rumah kost yang ia tinggali.
“Salam”, Jawab seorang temannya, Rois yang tengah duduk santai di sofa ruang tamu sambil memainkan senar gitar yang ia pegang. Kost tampak sepi. Seluruh penghuninya sibuk dengan aktifitas mereka masing-masing. Ada yang kuliah, ada juga yang main entah kemana. Hanya Rois yang tersisa, karena memang hari ini ia tidak ada jam kuliah. “Lho, kok udah pulang?”, Tanyanya. “Bukan tanggal merah kan?”
“Bukan.” Jawab Zaid singkat sambil duduk di samping Rois.
“Terus?”
“Aku dipecat.” Jawab Zaid.
“Masa baru sebulan udah dipecat?” Tanya Rois. “Bikin ulah apa di sekolah?” Jangan-jangan kamu pacaran ya sama murid yang kamu ajar?” Ledek Rois. “Hahaha…”
“Enak aja kamu! Itu kalau kamu yang jadi gurunya!” Balas Zaid.
“Terus? Kamu dipecat gara-gara menolak cinta murid-muridmu?” Rois masih saja meledek.
“Emm… kalau itu mungkin…..” Jawab Zaid sok cool.
“Belagu kamu! Adanya juga Bu kantin yang naksir kamu!”
Kali ini Zaid hanya bias tersenyum.
“Kenapa dipecat?” Kembali Rois bertanya. Kali ini dengan nada serius. “Aku tahu siapa kamu fren. Pasti bukan karena kamu yang salah.” Lanjutnya dalam hati.
“Biasa. Uang bicara.” Ucap Zaid. “Selama kau berkuasa, kaulah sang pemenang. Semua bisa dibeli dengan uang.”Lanjutnya.
“Gara-gara kamu menghukum muridmu yang menyontek kemarin itu ya? Yang anaknya Direktur Bank itu ya? Siapa namanya? Jerry?”
“Kok tahu?”
“Ya tahulah. Aku tahu kamu itu siapa fren. Kayak kamu kenal dua hari aja.”
“Zaid teringat pesan ayahnya ketika ia meminta maaf kepada ayahnya karena ia belum bisa membalas jasa-jasa orangtuanya. Ia belum bisa menjadi anak yang dibanggakan. “Ayah tidak meminta kamu menjadi presiden, menteri, pengusaha dll. Ayah hanya meminta agar kamu menjadi orang yang benar. Benar menurut Allah. Benar menurut Islam.”
“Udah, ga usah dipikirin!” Tegur Rois menyadarkan Zaid dari lamunannya. “Hmmm… dunia memang gila. Kalau kita tidak ikutan gila, kita bisa tergilas.” Lanjutnya.
“Orang akan menghormat kepada mereka yang punya banyak uang dan punya jabatan. Bukan kepada kebenaran. Hukum hanya berlaku bagi mereka yang tidak punya uang.” Ujar Zaid.
“Udah, ga usah diambil hati! Di luar sana masih banyak yang nasibnya lebih parah darimu. Entar kamu bangun sekolah aja sendiri. Tanamkan kejujuran di situ!” Ucap Rois.
“Siii…p, kamu yang jadi KEPSEKnya.”
“Lho, kok aku?”
“Ya iyalah, aku kan pemilik yayasannya.”
“Ok, ok, tapi awas aja kalau pemilik yayasan korupsi!”
“Lho, kok do’anya jelek gitu?!”
“Bukan do’a. Peringatan.”
“Miris, bagaimana Indonesia akan mencetak generasi yang unggul, kalau sekolah saja justru memberikan pendidikan ketidakjujuran? Pantas saja banyak pejabat negara dan pemerintah yang korupsi, jangan-jangan sejak kecil mereka sudah dididik untuk menyontek.” Gumam Zaid dalam hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar